Soal RUU Pesantren, NU dan Muhammadiyah Beda Pendapat

Jakarta, law-justice.co - Dua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah masih berbeda pendapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren meski pemerintah dan DPR sudah sepakat.

PP Muhammadiyah mewakili 10 ormas dan pesantren meminta agar DPR menunda pengesahan RUU Pesantren.

Baca juga : Terkait Narkoba, Aktor Rio Reifan Kembali Ditangkap Polisi

Sebaliknya, NU justru meminta DPR untuk mempercepat pengesahan RUU ini.

Melansir sindonews.com, Muhammadiyah menilai dalam suratnya ke DPR, masih banyak hal yang perlu didalami khususnya terkait perubahan nama dari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi RUU Pesantren.

Baca juga : Respons Gerindra soal PKS Mau Dikunjungi Prabowo Seperti PKB & NasDem

“Kami berpendapat bahwa RUU Pesantren tidak dapat dipisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dengan demikian pengaturan yang lebih tepat, apabila diperlukan pengaturan lebih terperinci, maka dilakukan dengan memasukkan materi muatan RUU Pesantren dengan revisi Undang-Undang Sisdiknas,” tulis surat yang ditandatangani Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.

Muhammadiyah juga mengkritisi perubahan nama RUU karena perbedaan pandangan antara DPR dan pemerintah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ada persoalan mendasar akibat perbedaan pandangan terhadap RUU ini.

Baca juga : Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, Arsjad Rasjid: Kita Punya Misi Sama

“Perubahan nomenklatur dan penghapusan ratusan pasal dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan mengakibatkan RUU ini kehilangan pijakan naskah akademik yang disusun,” jelas surat itu.

Menurut Muhammadiyah, RUU Pesantren itu masih perlu dilakukan kajian dan pembahasan dengan menyusun ulang naskah akademik yang salah satunya mengkaji pemisahan antara pengaturan Pendidikan Keagamaan Islam dengan Pendidikan Keagamaan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

“Kami berpendapat materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama (13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu’adalah, dan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly) sudah memberikan ruang bagi berkembangnya pesantren,” papar Muhammadiyah.

Karena itu, Muhammadiyah berpandangan bahwa ada beberapa hal yang perlu dikaji secara menyeluruh. Yakni tentang perubahan judul menjadi RUU Pesantren saja karena belum ada dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis terkait pemisahan pengaturan yang berbeda dengan pendidikan keagamaan lain.
Hal ini, dapat menimbulkan persoalan disintegrasi serta diskriminatif dalam pelaksanannya karena ada pendidikan keagamaan yang disubordinatkan.

“Pendidikan keagamaan Islam bahkan berada dalam dua undang-undang yaitu Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Pesantren. sedangkan pendidikan keagamaan selain Islam diatur dalam peraturan pemerintah dan peratauran menteri yang merupakan turunan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. DIM No 1,” tulis Muhammadiyah.

Adapun hal-hal yang perlu dilakukan perbaikan dan penyempumaan pada RUU Pesantren antara lain Pasal 1 angka 1, 2, 3,4, 5 dan 7; Pasal 3 huruf a; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 5 ayat (3) huruf b; Pasal 7 ayat (2); Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 14 dan Pasal 15 yang terkait dengan pola pesantren yang terintegrasi antara pendidikan umum dan pendidikan keagamaan.

Pola pesantren yang didirikan oleh perguruan tinggi umum atau perguruan tinggi keagamaan perlu diatur sebagai bentuk akomodasi terhadap perkembangan pesantren yang telah berkembang dan melakukan penyesuaian dengan pola pendidikan saat ini.

Selain itu, pesantren dan ma’had aly sebagaimana diatur dalam RUU Pesantren ini belum mengakomodasi keberadaan pesantren dan ma’had aly yang dikembangkan baik oleh Muhammadiyah maupun ormas atau lembaga atau yayasan atau bentuk lainnya.

Terutama dalam hal pengembangan pesantren yang terintegrasi baik pendidikan keagamaan maupun pendidikan umum, serta bentuk pesantren yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal.

“Berdasarkan hal-hal tersebut di atas pada akhirnya kami berpendapat DPR dan Presiden perlu menunda pembahasan dan pengesahan RUU Pesantren,” tutup Muhammadiyah.

Sementara Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj justru meminta DPR untuk segera mengesahkan Undang-Undang Pesantren.

“RUU Pesantren yang ada saat ini telah mengakomodasi keragaman pesantren yang ada di Indonesia, namun tetap mencerminkan kepribadian dan jati diri pesantren. Untuk itu, NU mendesak DPR agar mengesahkannya dalam rapat paripurna tahun ini,” tandas Said Aqil saat membuka Rapat Pleno PBNU 2019 di Pesantren Al-Muhajirin II, Purwakarta, Jawa Barat, kemarin.

NU perlu menegaskan bahwa terdapat lima unsur pokok untuk dapat dikategorikan sebagai pesantren. Yaitu kiai, santri, masjid/mushola, pondokan/asrama, dan kitab kuning.

“Kurang satu unsur saja, makna pesantren akan teredusir. Tanpa kitab kuning, pesantren tidak dapat mengemban risalah kenabian,” katanya.

Said juga menjelaskan bahwa pihak yang berkepentingan terhadap UU Pesantren bukan hanya NU saja, tetapi juga ormas lain yang memiliki pesantren. Jadi, UU Pesantren menyangkut hajat hidup pendidikan pesantren ormas Islam di Indonesia.

“Ada Perti, Syarikat Islam, Washliyah, Nahdlatul Wathan yang memiliki pesantren. Kita semua menunggu karena RUU Pesantren tidak hanya untuk pesantren NU, tetapi banyak ormas Islam. Mathla’ul Anwar dan lainnya juga punya pesantren,” kata Said.

Pengasuh Pesantren As-Tsaqafah Ciganjur ini menjelaskan urgensi UU Pesantren. Menurut dia, pesantren selama ini menjadi lembaga pendidikan pinggiran. Padahal, kontribusi pesantren sejak jaman kolonial hingga kini untuk kepentingan Islam dan peradaban bangsa Indonesia tidak perlu diragukan.

“Kita ingin pesantren menjadi pendidikan mainstream, tidak jadi lembaga pendidikan pinggiran dan marjinal. RUU Pesantren sudah saatnya diketok. Ki Hajar Dewantara mengatakan kelebihan pendidikan pesantren dalam membangun karakter bangsa. Ki Hajar Dewantara sebagai santri Syekh Sulaiman Borobudur, Pangeran Diponegoro juga santri yang merepotkan Belanda selama 1825-1830,” ungkap Said.

Sementara itu, Komisi VIII DPR menilai usulan Muhammadiyah itu tidak banyak mengubah isi dari RUU Pesantren.

“Masih terbuka meskipun usulan sudah masuk pagi ini dari Muhammadiyah melalui sekretaris PP Muhammadiyah sudah beberapa poin yang sudah kita terima, dan ini nanti akan kita rapatkan waktu mendapatkan apa namanya persetujuan besama. Meskipun dari usulan-usulan itu sebagian susah ditampung di dalam,” kata Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong.