Kinerja Kejaksaan Agung (Tulisan-4)

Penjahatnya Justru Juga Berasal dari Kejaksaan

Jakarta, law-justice.co - Kejaksaan Agung kembali menjadi sorotan, usai Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  terhadap dua oknum jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. Satu orang jaksa telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, dua orang lainnya tengah diproses.

KPK melakukan serangkaian OTT pada Jumat (28/6/2019) dengan menangkap lima orang di beberapa tempat terpisah. OTT kali ini terkait dengan perkara penipuan yang tengah berlangsung di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Perkara tersebut melibatkan seorang pengusaha bernama Sendy Perico, yang menuntut seseorang karena diduga telah menipu dan melarikan uangnya sebesar Rp11 miliar.

Baca juga : IM57+ Khawatir Ada Pihak Tawar Menawar di Ruang Gelap

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam keterangannya kepada media, pada Sabtu (29/6/2019), menuturkan, saat proses persidangan tengah berlangsung, pada tanggal 22 Mei 2019 Sendy dan pihak yang ia tuntut, malah memutuskan berdamai. Keputusan itu menghasilkan kesepakatan bahwa, Sendy hanya akan menuntut pihak yang menipunya itu dengan hukuman penjara selama satu tahun.

Pengacara Sendy, Alvin Suherman, lalu melakukan pendekatan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui seorang perantara. Ia meminta agar tuntutan hanya satu tahun.

Baca juga : Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Tawari D Berdamai dengan Mario Dandy dkk

Sang perantara mengatakan, semula, JPU akan menuntut dua tahun penjara. Tapi ia bersedia memenuhi permintaan tersebut, dengan syarat, Alvin harus menyiapkan uang Rp200 juta dan dokumen perdamaian. Sendy menyanggupi permintaan itu dan akan diserahkan pada Jumat (28/6/2019). Pembacaan tuntutan akan dilakukan pada Senin (1/7/2019).

Jumat pagi, Sendy menuju sebuah bank dan meminta kepada seorang rekannya, Ruskian Suherman, untuk mengantar uang tersebut kepada Alvin. Tempat pertemuan sudah disepakati, yakni di sebuah pusat perbelanjaan yang di Kelapa Gading.

Baca juga : Kasus Pencemaran Nama Baik Luhut, Berkas Perkara Haris-Fatia Lengkap

Pukul 11.00 WIB seorang pengacara lainnya, Sukiman Sugita, mendatangi Alvin di tempat yang sama untuk menyerahkan dokumen perdamaian. Satu jam kemudian, Ruskian datang dan menyerahkan uang Rp 200 juta kepada Alvin.

Masih di lokasi yang sama, Alvin menemui Kasubsi Penuntutan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Yadi Herdianto, untuk menyerahkan uang yang terbungkus dalam kantong plastik hitam.

Setelah menerima uang tersebut, Yadi pergi menggunakan taksi. Ia menuju ke Kejati DKI Jakarta untuk menyerahkan uang tersebut kepada Agus Winoto, Asisten Bidang Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati DKI Jakarta.

“Agus yang memiliki kewenangan untuk menyetujui rencana penuntutan dalam kasus ini,” kata Laode.

Tim KPK yang telah mengintai pertemuan tersebut, menangkap Ruskian dan Sukiman pada pukul 12.00 WIB. Keduanya dibawa ke Gedung Merah Putih untuk diperiksa lebih lanjut.

Pukul 14.00 WIB, tim KPK menuju Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk mengangkap Yadi dan mengamankan uang sebesar SGD 8.100. Namun, Yadi justru dibawa ke Gedung Kejaksaan Agung. Satu jam kemudian, Alvin diciduk oleh KPK di daerah Senayan, dan langsung dibawa ke Gedung KPK.

Selanjutnya tim secara paralel mendapatkan informasi bahwa oknum jaksa lainnya yang diduga terlibat, yakni Kasi Kamnegtibum TPUL Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Yuniar Sinar Pamungkas, sedang menuju Bandara Halim Perdana Kusuma.

“KPK bekerja sama dengan tim Kejagung menuju Bandara Halim Perdana Kusuma untuk mengamankan YSP (Yuniar) sekitar pukul 16.00 WIB. Kemudian YSP dibawa ke Kejaksaan Agung. Setelah itu, YSP bersama YHE (Yadi) dibawa ke Gedung Merah Putih KPK pada pukul 17.00 WIB,” ujar Laode.

Dari tangan Yadi dan Yuniar, KPK mengamankan uang sebesar SGD 20.874 dan USD700.

Pada pukul 01.00 WIB, Jaksa Agung Muda Intelijen Jan Samuel Maringka datang ke Gedung KPK untuk mengantar Agus Winoto. Agus bersama tim KPK menuju Kejati DKI Jakarta untuk mengambil uang Rp200 juta di ruangannya. Setelah itu, ia dibawa kembali ke KPK untuk diperiksa.

Usai melakukan proses pemeriksaan selama kurang lebih 24 jam, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah Sendy Perico, Alvin Suherman, dan Agus Winoto. Sempat buron, Sendy akhirnya menyerahkan diri ke KPK pada Minggu (30/6/2019).

Sendy dan Alvin sebagai pihak pemberi suap, disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara Agus winoto sebagai penerima suap, disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor.

Untuk dua oknum jaksa lainnya yang diduga terlibat, Yadi Herdianto dan Yuniar Sinar Pamungkas, KPK menyerahkan penangan perkaranya kepada Kejaksaan Agung. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri mengatakan, lembaganya memastikan bahwa dua oknum jaksa tersebut akan diproses. Kejaksaan akan mengeluarkan surat perintah penyidikan.

“Apabila dari hasil pemeriksaan YSP dan YH itu ditemukan atau terindikasi tindak pidana korupsi, maka akan diserahkan ke Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) untuk proses hukum selanjutnya,” kata Mukri dalam siaran pers nya yang diterima redaksi, Senin (1/7/2019).

Disamping itu, kata Mukri, dua orang tersebut juga akan diperiksa terkait dugaan pelangaran “Kode Etik Perilaku Jaksa” oleh Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung. Pengambilalihan proses hukum dua orang tersebut, ucap Mukri, merupakan bentuk komitmen Kejaksaan terhadap uapaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Kami sangat mengapresiasi serta berterimakasih atas sinergi bersama KPK yang dilakukan saat ini,” kata Mukri.

KPK membantah bahwa ada pelimpahan perkara suap tersebut ke Kejaksaan. Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, lembaga anti rasuah itu menghormati niat Kejaksaan yang ingin melakukan serangkaian proses internal terhadap dua oknum jaksa yang belum ditetapkan sebagai tersangka.

“Kami tegaskan, tidak ada penyerahan atau pelimpahan penyidikan perkara ini kepada Kejaksaan. Perkara masih ditangani KPK,” kata Febri di Gedung KPK, senin (1/7/2019), sebagaimana dilansir dari Antara.

Febri mengatakan, jaksa Yadi dan Yuniar masih berstatus sebagai saksi. Sementara Agus Winoto telah ditetapkan sebagai tersangka, karena sudah memiliki bukti permulaan yang cukup.

Aspidum Agus Winoto, Si Juragan Kontrakan

Sebelum menjabat sebagai Aspidum Kejati DKI Jakarta, Agus Winoto menjadi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bandung. Ia dipromosikan melalui surat Keputusan Jaksa Agung Nomor:KEP-IV-051/C/02/2018 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Dari Dalam Jabatan Struktural di Lingkungan Kejaksaan.

Menurut tetangga di sekitar tempat tinggalnya, ayah Agus dulunya juga seorang jaksa. Ia menurunkan warisannya berupa berhektar-hektar tanah di daerah Jatimekar dan Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Tanah itu, kemudian dimanfaatkan suami dari Endah Sudarwati ini, untuk membangun rumah kontrakan. Semuanya berlokasi di sekitar tempat tinggalnya. Konon, Agus memang punya cita-cita ingin membangun seribu pintu rumah kontrakan.

Salah satu kawasan kontrakan milik Agus Winoto di Jatimekar, Pondok Gede. (law-justice.co)

Agus, alumnus Universitas Pancasila angkatan 1985, memulai bisnis kontrakannya sekitar tahun 2006-2007. Waktu itu jumlahnya masih sekitar 10 pintu, empat rumah petak dan enam rumah dengan tiga kamar. Selang hampir dua tahun kemudian, ia membangun lagi 13 rumah kontrakan tiga kamar, yang berada di satu lokasi dengan sekitar 16 rumah kontrakan petak yang didirikannya bersamaan. Agus sendiri dan keluarganya, tinggal tidak jauh-jauh dari dari `bisnis` kontrakannya yang beralamat di Jalan Wibawa Mukti IV/18 Jatimekar, Bekasi. Persis di depan kantor Kelurahan Jatimekar. 

Rumah kontrakan tingkat dua milik Agus Winoto yang sedang proses dibangun (law-justice.co)

Saat ini, ayah empat anak itu, rupanya sedang mengembangkan usahanya ke kelas yang lebih tinggi. Ia tengah membangun puluhan rumah kontrakan bertingkat dua, untuk kelas menengah; berdekatan dengan sekitar 30 rumah petak miliknya, yang sudah lebih dulu dibangun.

Harga sewa rumah petak berkisar di angka Rp700 ribu hingga Rp750 ribu, belum termasuk listrik. Untuk kontrakan rumah tiga kamar tidur, Agus mematok Rp1,4 juta belum termasuk listrik. Harga sewa tersebut ia naikkan setiap tahun sekali. Berapa banyak fulus yang bisa ia raup per bulannya, silahkan dikalkulasi sendiri. 

Agus Winoto (Facebook)

Seiring dengan itu, garasi di rumahnya pun ibarat show room mobil, masih kata penduduk sekitar. Berbagai jenis sedan hingga SUV mewah macam Alphard, berjejer di garasinya. Warga juga beberapa kali melihat Agus mengendarai motor gede, macam Harley Davidson.

Garasi rumah Agus Winoto yang kini kosong (law-justice.co)

Kelakuan Agus yang terus membangun rumah kontrakan dan bergonta-ganti mobil, sudah lama menjadi pergunjingan warga sekitar. Pertanyaan mereka rata-rata sama, ‘kok jaksa duitnya banyak banget’. Rakyat kecil yang hanya bisa menatap dari jauh.

Sejak ia ditangkap KPK, rumah Agus mendadak sepi. Jejeran mobil mewah di garasinya juga menghilang. Hanya ada satu sedan hitam plat merah parkir di dalamnya.

Kasus Agus Winoto dan kawan-kawan semoga menjadi yang terakhir. Sungguh ironis, mereka yang seharusnya menegakkan hukum, justru menjadi pelaku kejahatan. Kejaksaan Agung seharusnya malu dan tidak menunda waktu lagi untuk membersihkan jajarannya.