Kiprah Anarko-Sindikalisme (Tulisan-3)

Ideologi Anarkisme Global, Pilihan Kaum Anarko Melawan Rezim

Jakarta, law-justice.co - Filsuf pertama dari Prancis yang mendeklarasikan dirinya sebagai Anarko, Pierre-Joseph Proudhon, pada 1849 berkata: “Siapapun yang menggunakan kekerasan untuk memerintah saya adalah seorang perebut kekuasaan dan tiran, saya menganggapnya sebagai musuh hidupku,’’. Ujarannya secara terang-terangan menyerang negara dan elit ekonomi. Sikapnya memberi inspirasi dan dijadikan pemecut pergerakan kaum buruh yang tak kunjung sejahtera padahal beban kerjanya sangat berat.

Anarki sebagai ide sekaligus dambaan, awalnya muncul di Yunani saat negara kota terus saling berperang. Pertumpahan darah untuk saling menguasai memantik kaum pemikir menjawab pertanyan, ‘bisakah anak manusia hidup benar-benar tanpa kekuasaan?’ Jawabannya bisa! Lalu mereka mengenal istilah ‘An’ dan ‘Arkos’, yang artinya ‘Tanpa Penguasa’ atau ‘Hidup yang tak didominasi penguasa’.

Baca juga : Ini Tanggapan Pakar Hukum Soal Isu Mafia Hukum di Polda Metro Jaya

Usai muncul konsep hidup-tanpa-penguasa, ide itu tak pernah benar-benar kokoh di masyarakat karena memang hampir tak ada masyarakat yang tak dikuasai penguasa (kerajaan, kekaisaran, republik). Selama lebih dari dua ribu tahun, anarkisme menjadi utopi di kalangan pendambanya. Namun bagi kaum pemikir di tiap zaman, gagasan tersebut tetap hidup walau hanya wacana belaka.

Ide utama ‘Anarkisme’ adalah anak manusia hidup dan berkembang secara alami tanpa diperintah, dikuasai, diatur oleh otoritas di luar dirinya. Prinsip anarki memandang individu tak boleh dikekang oleh apapun, termasuk hukum negara, ajaran agama, dominasi politik maupun kekerasan kelompok.

Baca juga : Sindiran Pedas Sujanarko ke Ketua KPK Soal Pengkhianat Pancasila

Individu adalah ‘Tuhan’ bagi dirinya sendiri, hubungan sosial dibangun atas dasar persetujuan diri yang diambil secara sadar tanpa paksaan. Tak perlu ada struktur, organisasi, penguasa, aparat, karena tiap orang tak boleh direndahkan. Tiap orang merdeka, setara, tak dibutuhkan guru moral yang dianggap lebih tahu soal kehidupan ketimbang individu.

Gagasan besar anarkisme yang akan mengantarkan individu ke puncak perkembangannya sebagai anak manusia inilah, yang membuat buruh dan pemikir pejuang untuk kaum tertindas, menyerang habis konsep dan praktik kapitalisme yang dilestarikan negara. Wacana anarkisme meledak seiring berkembangnya ide sistem sosialisme di Prancis dan Inggris yang saat itu mulai menjadi raksasa dalam industri pengolahan produk pertanian. Waktu itu anarkisme jadi ‘anak sungai’ dari arus pemberontakan ide komunisme Eropa.

Baca juga : Lantik Pegawai, Eks Direktur KPK Sebut Firli Menang pada Ronde Pertama

Pada  1840 Proudhon menulis esai berjudul Systeme des Contadictions economiques ou La Philosophie de la Misere. (System of Economical Contradictions: or, the Philosophy of Misery). Isinya mengkritik habis komunisme ala Marx. Menurutnya, komunisme tidak lebih baik daripada Kapitalisme,karena mengancam martabat manusia dan mengabaikan hak-hak asasi individu dan masyarakat. Komunisme hanya menyebarkan kemelaratan dan kemiskinan, membuat orang hidup seperti dalam pengasingan.

Proudhon dan Karl Marx sama-sama menginginkan sosialisme jaya di muka bumi. Tapi kedua pemikir termasyur itu beda jalan dalam mencapainya. Karl Marx yakin diperlukan kekuatan dan persatuan internasional dari buruh untuk menghancurkan kapitalisme yang mengisap, Proudhon nirkekerasan dan ingin tiap individu mencapai sosialisme dengan sadar dari-dalam.

Saking bencinya pada kapitalisme, Proudhon berujar ‘milik pribadi adalah pencurian’. Dia percaya, semua yang ada di muka bumi adalah milik semua umat manusia, individu tak bisa menguasainya sendiri dengan melarang orang lain ikut menikmati. Saat itu yang menjadi objek analisanya adalah kaum buruh, kelompok yang sama yang menginspirasi Karl Marx ketika menulis ‘Das Kapital’.

Dari Rusia, Mikhail Alexandrovich Bakunin yang dipengaruhi Proudhon mengembangkan lebih baik pemikiran anarkisme dalam bidang ekonomi. Pemikirannya yang di kemudian hari jadi kenyataan, “Kediktatoran proletariat Marxis akan memusatkan kekuasaan pemerintah di tangan yang kuat dan membagi masyarakat dalam 2 golongan besar, industri dan agrikultur, akan berada di bawah perintah langsung aparatur-aparatur negara yang terdiri dari kelas intelektual dan politik yang memiliki hak istimewa,”.

Prediksinya ini akhirnya muncul di dalam sistem pemerintahan Uni Soviet, China era Mao, hingga Korea Utara. Di Eropa bagian Timur, seorang lahir dari keluarga Aristokrat, pemikir yang dijuluki ‘Kristus dari Rusia’ Peter Alexeyevich Kropotkin pun menyentak dunia anarkisme dengan gagasannya, “Kita begitu terbenam dalam sistem pendidikan yang bertujuan membunuh jiwa pemberontak kita sejak kecil dan mengembangkan mental tunduk pada otoritas.

Kita tenggelam dalam sistem yang berada di bawah pengaruh hukum-hukum, yang bertujuan mengatur setiap hal dalam hidup kita, kelahiran, pendidikan, pengembangan diri, cinta, persahabatan, sehingga jika hal ini terus berlanjut, kita lama-lama akan kehilangan semua inisiatif dan keinginan untuk berpikir bagi diri kita sendiri.

Masyarakat kita sepertinya sudah lupa bahwa sangat mungkin untuk hidup tanpa berada di bawah kekuasaan hukum, yang dielaborasi oleh pemerintah dan diadministrasi oleh segelintir penguasa. Semua pembelajaran yang telah kita terima adalah dari negara, baik di dalam maupun di luar sekolah. Sistem telah meracuni pikiran kita dengan begitu parahnya sehingga ide-ide tentang kebebasan akhirnya hilang dari diri kita sendiri dan tersamar dalam bentuk mental kepelayanan,”.

Filsuf anarki dari Jerman yang dikagumi sekaligus dibenci banyak orang, Friedrich Nietzsche yang banyak agamawan menuduhnya penulis antituhan, di dalam buku ‘Also sprach Zarathustra’, mengatakan: ‘Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri?

Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan?,’’.

Nietzsche sebenarnya mengkritik cara hidup yang apa-apa disandarkan pada Tuhan. Padahal diri kita sebagai manusia, lebih berkuasa, berdaulat, dan sangat bisa menentukan cara hidup kita sendiri. Saking mampunya individu mengubah kehidupan, dia bisa membunuh tuhan, yang sebenarnya tak ada, hanya khayalan dan dengan melupakan tuhan, kita mematikan eksistensinya.

Sedari awal keberadaan kita di muka bumi, tuhan hanyalah angan yang manusia ciptakan dalam pikiran. Dengan membunuh tuhan, manusia bebas dari belenggu agama dan merdeka menentukan jalan hidup sendiri. Prinsip Nietzsche ini sama dengan ide besar anarki, yaitu hidup tanpa belenggu apapun agar manusia bisa berkembang lebih dan lebih hebat lagi.

Di kaum perempuan, muncul pemikir feminis-anarkis berdarah Yahudi Lithuania, Emma Goldman, lahir pada 1869. Dia menyerang konsep hubungan laki-laki dan perempuan. Saking kerasnya ia mengkritik relasi tak imbang, dia mengatakan ‘Perkawinan adalah sebuah perjanjian ekonomi, pakta asuransi,’’. Pemikiran tersebut berangkat dari kondisi rumah tangga yang diklaim dibangun atas nama cinta, padahal di dalamnya berisi pria yang hanya mengatur, menguasai, dan memberi makan istri yang seolah dipaksa sebagai ‘penyedia jasa seks malam hari’.

Emma melawan dominasi patriarki dan menyentak cara hidup kaum pria yang sewenang-wenang dalam pernikahan. Istri harus izin dulu sebelum keluar rumah, kalau pulang malam di tuduh murahan. Sedangkan suami bebas kemanapun sekehendaknya, bebas main perempuan tanpa bersalah dan minta maaf pada istri. Inilah simbolisasi dan ideologi Anarko yang bagi sebagian orang Indonesia mungkin kontroversial, tetapi pemujanya jelas ada dan eksis.