Pegiat Golput, Haris Azhar—Tulisan-3

Mereka Panik dan Akhirnya Jadi Ngawur

Jakarta, law-justice.co - Ia pembela demokrasi dan HAM yang setia  di jalurnya sejak lama. Saat ini ia juga pegiat golput yang lantang berbicara. Apa sesungguhnya argumen Harris Azhar sehingga ia menolak baik kubu 01 maupun 02? Berikut ini tuturannya kepada Winna Wijaya dari Law-justice.co.

Ada survei yang menyebut potensi kaum milenial untuk golput dalam pemilu 2019 sekitar 40 persen. Mengapa angka itu begitu tinggi?

Baca juga : Angka Golput Tinggi, Kredibilitas Pemilu Meragukan

Saya pikir ada banyak faktor. Pertama, orang lelah dengan model kampanye yang dilakukan kedua belah pihak. Karena dijejali dengan informasi yang tidak berkualitas dan sangat kuat aroma identitas dan aroma permusuhannya. Saling serang. Kedua belah pihak tidak menunjukkan kapasitas yang berkoneksi dengan masyarakat.

Mungkin mereka menunjukkan rekam jejak, kapasitas, janji-janji. Tapi yang namanya janji, program kerja atau janjinya itu selalu umum, retorika kosong. Mereka tidak menggunakan bahasa masyarakat seperti: kerugian, penderitaan, kesengsaraan, atau tantangan hidup masyarakat. Mereka itu hanya menonjolkan apa yang mereka punya, bukan berupaya membangun kapasitas, kemampuan, dan rencana yang jelas perihal problem masyarakat. Lalu mereka tidak mempertanyakan dan tidak menguji satu sama lain mengenai substansi dari masing-masing kubu kalau mereka nanti berkuasa. Jadi hanya saling sindir dan saling ganggu.

Baca juga : PP Muhammadiyah: Golput Makruh, Ajak Orang Golput Hukumnya Haram

Contohnya begini: ketika di diskusi pertama bertanya soal perempuan,  Jokowi tanya kenapa di Gerindra tidak ada perempuan. Lalu Jokowi menjelaskan di kabinetnya banyak perempuan. Topiknya ini perempuan di masing-masing kubu atau apa... Saya menganggap topiknya mengenai kondisi perempuan di Indonesia. Kalau memang topiknya soal kondisi perempuan di Indonesia saya pikir ada banyak hal soal perempuan yang patut dibahas. Bukan berapa jumlah di Partai Gerindra dan berapa jumlah di kabinet. Yang harus dibahas misalnya mengapa jumlah perempuan meninggal dalam melahirkan itu tinggi. Itu masalah publik. Kenapa misalnya janda-janda di Aceh akibat konflik darurat militer itu nggak dikasih hak-haknya. Bagaimana perempuan mendapatkan akses pinjaman untuk usahanya.

Nggak kurang-kurang masalah perempuan.  Cuma satu topik saja yang harusnya dibahas. Bahasa kampanye atau public appearance cukup jelek di masing-masing kubu. Ditambah lagi isu identitas:  menyerang satu sama lain. Itu satu hal mengapa orang capek ya… kayak gitu dan nggak tertarik. Masing-masing kubu tidak menjelaskan apa yang mereka lakukan terhadap 260 juta rakyat Indonesia.

Baca juga : MUI: Golput di Pemilu 2024 Haram

Kedua, golput tinggi karena masyarakat melihat lebih luas lagi. Pemerintah ini gunanya apa buat mereka. Dalam arti, kita ini hidup sendiri, berjuang sendiri. Justru kita yang dikejar negara, disuruh bayar pajak. Jadi mereka melihat yang namanya pemerintah sebagai representasi negara itu justru lebih menakutkan. Mereka tidak mau ikut memilih pemerintah yang justru ikut melukai tetangganya, orangtuanya, dan warga lain.

Ketiga, anak-anak muda ini kan lucu ya….Mereka [kedua kubu] tahun lalu menargetkan anak muda. Tapi bahasa mereka tidak terkoneksi dengan anak muda. Memilih Ma’ruf Amin, figur Prabowo… Jokowi agak dipaksain bergaya anak muda. Kan ada tiga: bahasanya, konten bahasanya, dan tindakannya. Ketiganya tidak ada yang merepresentasikan semangat jiwa anak muda yang gesit, tangkas.

Kalau saya golput, karena keduanya adalah pelanggar HAM. Jokowi, kasus Novel Baswedan belum ia selesaikan. Kasus Munir dokumennya dihilangkan. Peristiwa penembakan di Paniai [Papua] dan juga pelanggaran HAM itu tidak hanya berkaitan dengan peristiwa. Masuk ke zaman Jokowi dia harus selesaikan. Ketika dia tidak selesaikan, dia melanggar HAM, karena pelanggaran HAM itu urusannya hak asasi. Hak untuk mendapat keadilan, hak untuk mengungkap kebenaran. Dan dia tidak lakukan, maka dia melanggar hak itu.

 Prabowo sendiri? Ia belum diadili terkait pelanggaran HAM?

Sudah ada proses peradilannya, sudah ada proses penyelidikannya. Dan kalau sekarang kubu 01 nuduh-nuduh Prabowo pelanggar HAM, lah aneh. Sekarang berkuasa kenapa nggak bikin pengadilan HAM buat Prabowo?  Lucunya begini: kubu 01 bilang kasus penculikan dan penghilangan orang itu sudah selesai lewat pengadilan militer. Jadi mereka punya argumen: tidak punya kewajiban mengadili Prabowo.

Sejumlah petinggi negara, termasuk Jenderal (purn) Wiranto, mengecam golput. MUI juga mengeluarkan fatwa haram golput. Mengapa sikap mereka begitu keras?

Frans-Magniz Suseno bilang kita golput itu phsyco-freak. Megawati bilang kita dianggapnya pengecut dan pantas keluar dari sini. Oleh Wiranto kita dianggap teroris dan dikenai UU Terorisme. Lalu MUI kita golput dibilang haram.

Menurut saya ini kepanikan mereka saja. Dan mereka confidence banget dan menganggap bahwa yang golput itu suaranya mereka. Iya, mereka yang aktif mengklaim menyerang golput kan rata-rata orang 01 satu. Magnis Suseno kita juga ngga bisa tebak, tapi saya yakin dia nggak mungkin milih Prabowo. Kalau misalnya MUI kan orangnya Ma’ruf. Semua orangnya Jokowi.

Golput menguntungkan siapa? Kubu Prabowo?

Belum tentu juga. Bisa juga merugikan. Kalau dari 100 persen pemilih ada 40 persennya golput, maka yang tersisa 60 persen. Bisa jadi Jokowi tetap menang, bisa jadi Prabowo. Nah, yang ngecam itu merasa bahwa orang golput itu Jokower. Kedua, mereka panik dan akhirnya jadi ngawur. Nuduh golput itu teroris. Terus dikejar dari mana deliknya? Ya pokoknya harus diadili. Nggak bisa pakai UU Teroris, pakai UU yang lain. Lho, itu namanya mau menggunakan hukum untuk jadi sarana balas dendam dari hati mereka yang rapuh karena terancam kehilangan kekuasaan.

Pengecut? Apanya? Kita nggak pernah merampok uang negara seperti oligarki partai politik; dia juga. Kita menjalankan kewajiban yang mungkin saya berani bertaruh kita lebih banyak menjalankan kewajiban dibanding dia. Dia kalau pakai mobil pasti pakai voraider nerobos lampu merah. Kita taat lampu merah, kita bayar pajak, kita berkontribusi buat masyarakat. Kita berperan dalam hidup masyarakat. Jadi kalau dia bilang pengecut, mudah-mudahan dia bilang dengan kaca yang ada di hadapan dia. Dan dia jangan lupa dengan masa lalunya dia.

Kalau MUI bilang haram, kenapa mereka nggak pernah bilang haram sama pejabat negara yang merampas uang rakyat, membunuh…Kayak si Rommy [Muhammad Romahumurmuzy, Ketua PPP yang dicekok KPK belum lama ini]   itu. Mana statemen MUI? Kemiskinan di mana-mana. Kenapa tidak mengharamkan investor yang masuk ke tanah-tanah adat. Jadi MUI harusnya berkaca diri jangan dia menghalalkan kepentingan sumbu pendek untuk menggunakan dalil agama. Soal hukum halal/haram itu ada dalam Islam itu sesuatu itu bisa jadi halal/haram/ makruh, itu tergantung kondisinya dan tujuannya dan caranya. Jadi kalau golput dibilang haram, di posisi yang mana? Nggak ada penjelasan, saya pengen debat dengan kuasa hukum MUI.

Menurut saya mereka asal njeplak saja. Kalau kita ngomong kita dikenain UU ITE. Tapi kalau mereka ngomong mereka menggunakan kebebasan berbicara yang sangat tidak bertanggungjawab untuk memuluskan dari pusar atas ke pusar bawah mereka saja.

Sekarang soal golput. Kenapan golput? Apakah fasis? Saya golput. Tapi saya akan datang ke TPS dengan persyaratan administrasi yang saya sudah punya. Kalau nanti tiba-tiba dilarang itu bukan salah saya kan. Golput dalam konteks hari ini golput yang akan datang dan akan mengekspresikan kekecewaan kita. Jadi kalau Anda bilang itu konteksnya apa, kalau saya pribadi akan datang ke TPS dan saya akan memastikan suara saya tidak berpihak pada 01 dan 02.

Ada yang mengaitkan golput dengan perbenturan kubu pendukung negara khilafah dengan kaum Pancasilais. Berdasarkah pengaitan itu?

Nggak ada. Masyarakat nggak terlalu pusing. Pendukung saja masih melihat kubu Jokowi PKI dan kubu Prabowo khilafah. Mereka masih percaya soal itu. Susah juga kita mau jadi khilafah karena ada banyak syarat. Susah juga ada PKI, negara sudah membubarkan. Saya lagi bingung: alam pikir rujukannya dimana. Nggak nyampe. Bagaimana Jokowi PKI dan Prabowo mengakomodir khilafah?

Itulah pentingnya kedua kubu muncul sebagai negara pengelola. Bukan cuma soal koruptor, yang ngambil tanah rakyat, merusak lingkungan, termasuk mau mengganti ideologi negara, dilakukan penegakan hukum. Hukum itu ada syaratnya.

Golput itu datang ke TPS, bukan kita diem-dieman di rumah. Saya pengen datang, saya menganjurkan masyarakat datang ke TPS, ekspresinya di sana. Pastikan suratnya rusak, ngga bisa dipakai. Justru penting ada golput dalam situasi politik yang saling berhadapan seperti ini. Penting ada pihak ketiga. Jadi nanti kalau misalnya dua kubu mau berantem, pihak ketiga bilang ‘ngapain berantem? Malu!’  Ini kan nanti siapa pun yang kalah akan menuding yang menang tidak legitimated karena akan melakukan kecurangan atau akan melakukan intimidasi.

Nah kalau golput, nanti kita akan bilang: “Tanggal 18 April siapa pun yang terpilih ingat ya Anda harus kerja secara substansi menjawab problem hak asasi, problem hukum, problem kesejahteraan.” Dan kita akan kasih kode siapa pun yang milih kan berarti cuma 30 persen, ada 70 persen masyarakat yang nunggu mereka. Berarti ada setengah pemilih dan setengah anak yang nggak memilih. Jadi supaya mereka bekerja yang baik, supaya mereka nggak  jumawa bahwa dipilih oleh mayoritas. Oh, nggak. Ini bukan kaleng-kaleng, jangan anggap remeh.

 Menurut saya paling signifikan hari ini bukan memainkan kekuasaan, tetapi memainkan demokrasi. Kelompok golput begitu. Karena dua kubu ini pertarungan kekuasaan bukan pemaknaan terhadap demokrasi. Apa hasil dari dua kubu? Kita dipaksa memusuhi satu dengan yang lain. Cara pandang cuma seperti ini. Makanya penting membangun aura dan kapasitas. Kita adalah kelompok yang nuntut substansi, bukan gimmick yang 5 tahun sekali.