Gejolak di Tubuh KPK, Mosi ke Pimpinan Itu Nyata

law-justice.co - Menjelang peringatan dua tahun kasus teror Novel Baswedan, beredar petisi yang ditandatangani 144 penyidik dan penyelidik yang ditujukan kepada pimpinan KPK. Petisi yang diberi judul “Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus” dibuat untuk  mengingatkan bahwa  KPK lahir dari rahim reformasi, yang menginginkan adanya institusi penegak hukum yang merdeka dan terlepas dari kepentingan apapun.

Di awal petisi, pimpinan diingatkan agar KPK  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent, dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Karena setahun belakangan,  jajaran di Kedeputian Penindakan KPK mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara sampai dengan ke level pejabat yang lebih tinggi. Begitu juga pada tingkat kejahatan korporasi, serta tindak pidana pencucian uang.

Baca juga : Ini Isi Pertemuan Jokowi dengan PM Singapura Lee Hsien Loong

Isi petisi tersebut antara lain: 
Pertama, ada penundaan pelaksanaan penanganan perkara dengan alasan yang tidak jelas. Cenderung mengulur-ngulur waktu hingga berbulan-bulan sampai dengan perkara pokoknya selesai. Hal ini dinilai berpotensi menutup kesempatan untuk melakukan pengembangan perkara pada tahapan ke pejabat yang lebih tinggi. Hanya terlokalisir pada tersangka atau jabatan tertentu saja.

Kedua, tingginya tingkat kebocoran saat pelaksanaan penyelidikan tertutup. Indikasi ini dirasakan para penyidik dan penyelidik   beberapa bulan belakangan. Hampir seluruh Satgas di penyelidikan pernah mengalami kegagalan dalam beberapa kali pelaksanaan operasi tangkap tangan (OTT).  Kebocoran ini tidak hanya berefek pada munculnya ketidakpercayaan atau distrust di antara sesama pegawai maupun antara pegawai dengan struktural dan atau pimpinan. Namun hal ini juga dapat mengakibatkan tingginya potensi risiko keselamatan yang dihadapi oleh personil yang sedang bertugas di lapangan. 

Ketiga, para penyidik dan penyelidik mengeluhkan tidak disetujuinya pengajuan saksi-saksi pada tingkat jabatan  atau golongan tertentu. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat bekerja secara optimal dalam mengumpulkan alat bukti. 

Selain itu, penyidik dan penyelidik KPK juga mengungkapkan adanya perlakukan khusus terhadap saksi. Mereka memberi contoh, beberapa waktu yang lalu ada perlakuan istimewa kepada saksi yang bisa masuk ke dalam ruang pemeriksaan melalui pintu Basement, melalui lift pegawai, dan melalui akses pintu masuk pegawai di lantai dua Gedung KPK. Mereka masuk tanpa melewati lobby tamu di lantai satu, dan pendaftaran saksi sebagaimana prosedur yang seharusnya. 

Keempat, penyidik dan penyelidik mengeluhkan pengajuan lokasi penggeledahan pada kasus-kasus tertentu seringkal tidak diizinkan tanpa alasan objektif.  Penyidik dan penyelidik merasakan kesempatan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti semakin sempit. Bahkan hampir tidak ada. Selain itu, pencekalan terhadap orang yang dirasakan perlu  tidak disetujui tanpa argumentasi yang jelas. Hal ini dapat menimbulkan berbagai prasangka.

Baca juga : Heru Budi Sebut Penonaktifan NIK Lindungi Warga dari Kriminalitas

Kelima, adanya pembiaran atas dugaan pelanggaran berat.  Hal ini seringkali menimbulkan pertanyaan di kalangan pegawai, apakah saat ini KPK sudah menerapkan tebang pilih dalam menegakkan kode etik bagi pegawainya. Di satu sisi, kode etik menjadi sangat perkasa sekali. Sedangkan di sisi lain, bisa menjadi sangat senyap dan berjalan lamban. Bahkan kerap kali perkembangan maupun penerapan sanksinya pelan-pelan hilang seiring dengan waktu. 

Penyidik dan penyelidik sudah melakukan berbagai upaya untuk menyampaikan keluhan ini kepada Pimpinan KPK. Baik melalui forum Wadah Pegawai maupun penyampaian langsung secara informal oleh personil-personil yang ada di jajaran Kedeputian Penindakan. Tetapi sampai saat ini semua menemui jalan buntu. 

Jika hal-hal tersebut di atas didiamkan, penyidik dan penyelidik khawatir wibawa KPK sebagai lembaga penegak hukum yang bergerak secara professional dan independen akan hilang. Hal ini tidak hanya akan merusak KPK, namun juga akan merusak bangsa dan negara Indonesia yang selama ini sudah menderita sedemikian rupa akibat kejahatan korupsi yang merajalela.

Poin-poin inilah yang melatarbelakangi pengajuan petisi kepada pimpinan KPK. Mereka berharap pimpinan komisi antirasuah agar dapat mengambil langkah tegas untuk menghentikan segala bentuk upaya yang menghambat proses penanganan perkara. Hal ini menyangkut integritas dan upaya untuk tetap menjadikan KPK sebagai lembaga independen yang masih bisa dipercaya oleh rakyat sesuai amanah reformasi. 

Petisi Sampai ke Meja Pimpinan KPK

Baca juga : Soal Warung Madura dan Pembangunan Entrepreneurship di Indonesia

Juru bicara KPK, Febri Diansyah yang dikonfirmasi, membenarkan isi dari petisi itu. Ia mengatakan, petisi itu merupakan bagian dari dinamika internal yang akan diselesaikan secara internal sesuai dengan mekanisme yang ada. 

Namun ia tak sepakat jika nantinya petisi itu dijadikan dasar bagi pihak-pihak yang sedang beperkara. “Karena KPK memastikan penanganan perkara yang ada saat ini itu dilakukan secara "prudent" berdasarkan hukum acara yang berlaku,” katanya.


Menurut dia,  di internal, KPK menggunakan  konsep komunikasi yang egaliter sehingga hal-hal seperti ini, dinamika-dinamika seperti ini sangat mungkin bisa terjadi. “Saya kira dulu juga pernah ada ya keberatan pada pimpinan, bahkan ada jalur hukum yang ditempuh oleh pegawai ke PTUN,” imbuhnya. Petisi ini juga menurutnya,  merupakan bentuk checks and balances. 

Febri melanjutkan, dalam waktu dekat para pimpinan  akan mengagendakan pertemuan dengan para pegawai.


Sakaratul Maut KPK dari Internal Sendiri

Mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto ikut merespon petisi dari 84 penyelidik dan 30 penyidik ini. Ia menggambarkan KPK kini sedang diambang kematian. “KPK di tubir jurang. Ngeri,” ujar Bambang,  dalam keterangan resminya, Kamis (11/4). Ia mengatakan jika dikaji lebih teliti, petisi ini   bukan sekedar isu integritas saja karena secara nyata telah terjadi Obstruction of Justice (OoJ).

Sebab menurut dia,  terdapat indikasi kuat suatu upaya yang ditujukan untuk menghambat proses pemeriksaan yang tengah dan akan dilakukan oleh penyelidik dan penyidik KPK.

“Hal ini sangat mengerikan karena KPK bak dihadang sakratul maut dari internal sendiri. Pihak atau pelaku yg disinyalir melakukan tindakan obstruction of justice itu justru diduga pejabat struktural dan juga dari unsur Pimpinan KPK sendiri,” kata BW, sapaan akrabnya.

Lebih jauh menurut BW, semua tindakan yang dikualifikasikan sebagai obstruction of justice atau suatu tindak kejahatan yang dapat dikenakan pasal  tindak pidana korupsi. Obstruction of justice sudah dikenal di hukum Indonesia dan diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor 31/1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

“Pelaku yang dikenakan pasal di atas adalah setiap orang. Itu artinya, Pimpinan KPK dan pejabat struktural juga seperti menjadi obyek UU itu,” kata dia. Menurut dia, Pimpinan KPK harus intropeksi diri dan  segera melakukan review dan assessment atas segala informasi dengan melibatkan pihak  independen.

“Bilamana, Pimpinan KPK dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan, langsung atau tidak langsung, tahapan proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa maka mereka dapat dikenakan pasal OoJ,” lanjut BW.

Polisi Aktif, Kasus Berhenti

Senada dengan BW, mantan pimpinan KPK lain Busyro Muqoddas mengatakan bahwa petisi itu merupakan bukti nyata bahwa komisioner saat ini abai. “Pimpinan sangat abai dalam waktu bertahun-tahun. Bertahun-tahun itu hampir tiga tahun ini. Dari kasus ke kasus itu abai. Tidak soal teror aja sejumlah penyidik, tapi juga komunikasi yang dulu dibangun oleh periode ketiga,” kata Busyro.

Ia mengatakan, saat dirinya masih memimpin terdapat kebijakan paperless, yakni sebuah cara bagi pegawai untuk menyampaikan kritik kepada pimpinan. Namun belakangan, kebijakan mengkritik malah dibungkam.  “Puncaknya petisi itu. Dan itu paling buruk dalam sejarah,” kata Busyro.

Busyro juga menyinggung tentang banyaknya kasus yang mandek dan bocor. Salah satu penyebab menurutnya, banyak unsur penyidik berasal dari institusi kepolisian. “Sudah tau di sini (KPK) lembaga independen, sehingga struktural di penyelidikan penyidikan penindakan itu baiknya orang dalem. Kenapa diisi polisi aktif,” kata Busyro.

Menurutnya,  kehadiran polisi aktif ini sedikit menggangu karena tidak bisa memenuhi loyalitas. “Itu menganggu. Ditunjukkan dengan kebocoran pada kasus tertentu. Lihat saja, kasus reklamasi berhenti, Sumber Waras hilang, Century berhenti pada temenggung (BLBI). Trus kasus Romi, juga kasus Bowo,” tutupnya.