Pengusaha Minta Sistem Jaminan Sosial Tak Menyebar di Beberapa UU

Jakarta, law-justice.co - Pengusaha menilai pengaturan tentang sistem jaminan sosial sebaiknya tidak tersebar di beberapa undang-undang atau omnibus law.

Direktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Research Institute Agung P Pambudhi mengatakan, jika akan menggunakan metode omnibus law, sebaiknya pengaturan tentang sistem jaminan sosial disatukan dalam satu omnibus law tersendiri tentang jaminan sosial.

Baca juga : Ini Respons Pengusaha Usai MK Nyatakan Prabowo Gibran Menang di MK

Bukan tersebar dalam berbagai Omnibus Law seperti Omnibus Law Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Omnibus Law UU nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dan Omnibus Law RUU Kesehatan.

Hal itu agar pengaturan tentang jaminan sosial menjadi satu kesatuan konsep yang utuh dan terintegrasi, meminimalisir kemungkinan distorsi jika tersebar dalam berbagai omnibus law.

Baca juga : Masih Dibuka Lowongan Kerja BPJS Kesehatan, Ini Syaratnya

Agung menjelaskan, metode Omnibus Law secara konseptual semestinya mengatur satu rumpun yang sama dan tidak bercampur dengan rumpun bidang lainnya.

Agung menyebut, pada saat ini yang lebih diperlukan adalah penyesuaian Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dengan UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

Baca juga : BPJS Kesehatan Akan Hapus Rawat Inap, Ini Layanan Penggantinya

“Jika perubahan jaminan sosial tidak sangat fundamental, sebaiknya dilakukan dengan merubah masing masing undang undang jaminan sosial tersebut seperti UU SJSN dan UU BPJS,” ujar Agung kepada dilansir dari Kontan, Kamis (2/3/2023)

Dihubungi secara terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pengaturan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diatur dalam Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Dalam Perppu tersebut, mengatur mengenai jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial. Adapun JKP diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Kemudian, jaminan sosial diatur lagi dalam Omnibus Law UU nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Dalam UU PPSK, mengatur pembagian iuran jaminan hari tua yang dibagi dalam dua akun. Yakni akun utama dan akun tambahan.

Dalam hal terdapat kepentingan mendesak, peserta jaminan hari tua dapat mengambil sebagian atau seluruh manfaat jaminan hari tua pada akun tambahan.

Sementara manfaat pada akun utama hanya bisa dicairkan pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau cacat total tetap.

Belum lagi, lanjut Iqbal, ada rencana menjadikan BPJS Kesehatan tidak mandiri karena pertanggungjawabannya di bawah menteri kesehatan. Hal itu terdapat dalam Omnibus Law RUU Kesehatan.

Lalu, ditambah dengan pengaturan jaminan sosial yang berdiri sendiri yakni UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Tujuan omnibus law gagal untuk menyederhanakan aturan, malah membuat rumit dan membuat orang bingung, UU jaminan sosial tidak perlu di-omnibuslaw-kan,” ujar Iqbal, dikutip dari Kontan.