Banyak Kejanggalan,

Vonis Bebas Bos KSP Indosurya, Jaksa Agung Perintahkan JPU Kasasi (2)

Jakarta, law-justice.co - Seperti diketahui, bos besar Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya, Henry Surya, divonis lepas dari dakwaan pidana dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana nasabah. Hal ini diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar).

"Mengadili, menyatakan Terdakwa Henry Surya tersebut di atas terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana, melainkan perkara perdata," kata Hakim Ketua Syafrudin Ainor di PN Jakbar, Selasa (24/1/2023).

Baca juga : Tangani Kasus Kakap, Jaksa Agung Ungkap Perspektif Kerugian

Majelis Hakim menyatakan, Henry terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan hanya saja sebagai tindak perkara perdata dan bukan pidana. Alhasil, ia bebas dari segala tuntutan hukum pidana.

Putusan ini seolah menjadi hantaman bertubi-tubi bagi para korban Indosurya. Bagaimana tidak, pekan lalu terdakwa lainnya, June Indira, juga dinyatakan tidak bersalah dan divonis bebas dari segala tuntutan hukum. Hakim juga turut memulihkan hak-hak June.

Baca juga : Yusril Ungkit Putusan MK usai Didoakan Hotman Jadi Jaksa Agung

Padahal sebelumnya, para tersangka dikenakan Pasal 46 UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

June Indria dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan, sementara Henry Surya dituntut 20 tahun bui dan denda Rp 200 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Baca juga : Kejagung Geledah Rumah Harvey Moeis di Pakubuwono, Ini yang Dicari

Ditemukan Sederet Kejanggalan

Jaksa Penuntut Umum dalam Sidang Indosurya, Syahnan Tanjung mengatakan, banyak kejanggalan yang terjadi selama kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana ini diproses di pengadilan.

Salah satunya, soal putusan yang menyatakan pelanggaran Henry masuk ke ranah perdata dan bukan pidana.

"Awalnya, ini adalah bagian dari pidana. Kok pengadilan niaga putusan perdata. Aneh ini putusan, nggak masuk akal," ujarnya kepada media.

Syahnan mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah 62 saksi yang dibawanya mayoritas mengaku bukan anggota koperasi melainkan hanya nasabah penyerta modal yang memberikan uang sekian ratus juta lalu mendapat bunga 9-12%.

Dengan demikian, menurutnya transaksi yang dijalankan Indosurya termasuk ilegal.

"Yang paling lucu, koperasi liar, koperasi ilegal, yang dia menyebut ada izin. Mana ada izin dikomandoi koperasi sendiri? Masuk ke kantongnya sendiri, keluar uangnya dari dia sendiri. Namanya tertulis Henry Surya, yang lain hanya sebagai pelengkap," katanya.

Tidak hanya itu, skema pembayaran utangnya pun dipandang tidak masuk akal. Indosurya sempat menjanjikan untuk mencicil utangnya kepada beberapa nasabah sebesar Rp 100 ribu per bulan selama 11 bulan. Dapat dibayangkan sampai kapan cicilan tersebut dibayarkan hingga utangnya lunas.

"Ini kan akal-akalan cicil. Mana ada uangnya sampai Rp 300 miliar dicicil Rp 100 ribu sebulan? Tahun berapa terbayar, bayangkan sampai tahun baru kuda tidak akan terbayar Rp 300 miliar," kata Syahnan.

Hal serupa juga diutarakan oleh Ricky. dia menyebut, beberapa korban lainnya yang utangnya menyentuh Rp 500 juta baru dilunasi Rp 1,1 juta dengan skema pembayaran Rp 100 ribu per bulan dalam 11 bulan.

"Secara homologasinya, dia berjanji akan melunasi cicilan sesuai persentase. Ada yang 20%, namu ada yang 25% per tahun. Namun kenyataannya, itu tidak pernah terjadi. Yang dia bayarkan hanya 0,01%. Yang tagihan Rp 500 juta hanya bayar Rp 1,1 juta. Bayangkan, Rp 100 ribu per bulan. Dia berhenti di bulan 11 dengan alasan blablabla padahal dia terima pembayaran dari settlement asset," ujar Ricky.

Lewat skema homologasi itu, pengadilan menyebut, Indosurya telah membayarkan utangnya sekitar Rp 2 triliun kepada para korbannya. Ricky beserta beberapa korban lainnya pun menolak keras skema tersebut. Pasalnya, disebutkannya demi bisa dibayarkan utangnya, ia harus top up sejumlah uang terlebih dulu.

"Itu dibayarkannya begini modelnya. Aset yang harga pasarnya sekitar Rp 1 miliar katakanlah, dia akan up menjadi Rp 2 miliar. Lalu dia tawarkan kita untuk beli itu aset, tukar dengan utangnya kita ke dia, itu setengah-setengah. Setengah kita (simpanan di koperasi), setengah uang cash lagi ke dia. Sudah harganya dilipet, kita suruh setor lagi. Siapa yang mau? Kalaupun mau, uangnya dari mana?," terangnya.

Menurut Ricky, skema tersebut seolah merampok nasabah 2 kali. Ia juga mempertanyakan, kalau memang ada settlement asset, mengapa hingga saat ini utang-utang para korban lainnya tak kunjung dilunasi.

"Kalau mau dicicil harus top up. Jadi dirampok 2 kali. Terus asetnya itu aset yang bermasalah, sudah di-mark up sama dia. Saya nggak mau top up, saya nggak mau dicicil karena suruh bikin pernyataan tidak bisa menuntut pidana perdata. Jadi cicilan itu adalah penipuan," ujarnya.

Oleh karena itu, Ricky sama sekali tidak menyetujui homologasi dan hanya mengandalkan sidang putusan pidana. Namun sayangnya, hari ini majelis hakim memutuskan melepas Henry Surya dari semua dakwaan pidananya.

Sebagai tambahan informasi, kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana oleh KSP Indosurya ini disebut-sebut menelan korban hingga 23 ribu orang, dengan kerugian berdasarkan LHA PPATK mencapai Rp 106 triliun. Karena itulah, kasus ini menarik perhatian publik.