Wamenkumham Kritik soal Kasus Sambo: Jaksa Harus Buka Naskah Asli KUHP

Jakarta, law-justice.co - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej buka suara mengkritisi kasus obstruction of justice eks Kadiv Propam Ferdy Sambo terkait pembunuhan ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Menurutnya untuk penerapan pasal obstruction of justice tersebut, jaksa harus membuka naskah asli Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berbahasa belanda.

Baca juga : Jagoan PDIP dan PKS di Pilkada Bisa Nyungsep Jika Gabung ke Prabowo

Pasalnya menurut dia, ada dua pengertian berbeda mengenai terjemahan obstruction of justice yang jadi acuan.

Setidaknya ada dua tokoh hukum yang menjelaskan perbedaan pengertian obstruction of justice, yakni R Soesilo dan Moeljatno.

Baca juga : Menteri Bahlil Mau Beri Izin Tambang, PBNU: Pak Jokowi Sudah Janjikan

"Obstruction of justice dalam terjemahan Moeljatno melarikan diri. Dalam terjemahannya Soesilo, menghindari penyidikan. Melarikan diri dan menghindari penyidikan kan dua hal yang berbeda," kata dia yang karib disapa Eddy itu dalam dalam dialog RKUHP di kampus Untirta Banten, Kota Serang, Senin (26/9).

Dia mengatakan jika pasal obstruction of justice dikenakan kepada Ferdy Sambo dkk, jaksa dan hakim harus membuka naskah asli KUHP yang sudah berusia ratusan tahun sehingga bisa diterapkan dengan benar sesuai kalimat aslinya.

Baca juga : Resmi, Polisi Tutup Kasus Bunuh Diri Brigadir RA di Mampang Jaksel

Jika tidak membuka naskah aslinya, menurut dia, hakim dan jaksa bakal sulit memastikan kebenaran dari penerapan obstruction of justice kepada Ferdy Sambo dan komplotannya.

"Pak jaksa bisa memastikan mana yang benar? Enggak bisa, kecuali membaca naskah aslinya. Pak hakim bisa memastikan mana yang benar? Enggak ada jaminan mana yang benar," kata Eddy yang sebelumnya juga dikenal sebagai Guru Besar Hukum Pidana UGM tersebut.

Dalam dialog publik tersebut, Eddy mengatakan di dalam RKUHP yang sedang dikejar untuk segera disahkan, tidak semua tersangka dipenjara.

Bisa saja mereka dikenakan hukuman kerja sosial, pengawasan hingga di wajibkan membayar denda.

RKUHP yang ditargetkan selesai pada akhir 2022, dianggapnya sudah sesuai dengan Undang-undang (UU) pemasyarakatan yang telah di sahkan.

"Di situ di atur juga dalam RKUHP, jika ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun maka hakim bukan menjatuhkan pidana penjara, tapi menjatuhkan pengawasan. Kalau ancaman itu tidak lebih dari 3 tahun, hakim tidak menjatuhkan pidana penjara, melainkan kerja sosial," kata dia.

Eddy menilai modernisasi kitab utama hukum pidana mendesak disahkan, karena KUHP warisan kolonialisme Belanda yang masih dipakai hingga kini sudah tak cocok lagi.

"Maaf, orang-orang yang menolak RKUHP itu, suara-suara yang menginginkan kita di status quo ketidakpastian hukum," sindirnya.