Abdurrahman Syebubakar, Kritikus Sospol

Saat Indonesia Sekarat, Karena Sistem atau Pemimpin? SBY vs Jokowi

Jakarta, law-justice.co - Jatuh bangunnya sebuah bangsa dipengaruhi banyak faktor. Sebut saja kondisi geografis, jumlah penduduk dan luas wilayah, agama dan budaya, faktor eskternal dan sejarah kolonialisme, jebakan utang, sistem politik dan kelembagaan, kepemimpinan, serta relasi intelektual dan kekuasaan. Semuanya telah diteorikan dan dikaji para ilmuan sosial di sembarang waktu dan tempat.

Merujuk sejumlah studi dan literatur mutakhir, diantara berbagai faktor tersebut, tiga yang terakhir, yaitu kelembagaan, kepemimpinan dan relasi intelektual-negara, dianggap paling menentukan.

Dalam buku “Why Nations Fail” (2012), Daron Acemoglu dan James A. Robinson mengonfirmasi bahwa kelembagaan politik merupakan variabel yang paling bertanggungjawab atas jatuh bangunnya sebuah bangsa. Berdasarkan analisis data time-series di sejumlah negara, mereka menyimpulkan negara gagal lahir dari rahim_lembaga politik & ekonomi ekstraktif_ yang menghisap sumberdaya negara untuk kepentingan kekuasaan dan keuntungan ekonomi segelintir orang di atas penderitaan rakyat banyak.

Hipotesis kelembagaan (institutional hypothesis) Acemoglu dan Robinson sejalan dengan analisis dua intelektual terkemuka AS - Noam Chomsky dan Francis Fukuyama - tentang negara gagal.

Dalam buku “Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy (2006)”, Chomsky mendeskripsikan negara gagal (failed state), yaitu Amerika Serikat, sebagai negara yang tidak mampu memberi jaminan keamanan bagi warganya, serta tidak menghargai dan tidak menjamin hak-hak dasar rakyat.

Yang tidak kalah pentingnya, menurut Chomsky, adalah kegagalan negara dalam menjaga keberfungsian lembaga-lembaga demokrasi. Sementara Fukuyama dalam tulisannya “America: the Failed State” (2017), menekankan pada kekuatan oligarki yang mendikte dan membajak pilihan kebijakan demi keuntungan mereka dengan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.

Namun, peran sentral pemimpin yang menjalankan sistem atau kelembagaan politik tidak dapat diabaikan. Ibarat pepatah, the man behind the gun yang secara kontekstual bermakna efektivitas suatu tugas tergantung pada orang yang mengembannya, tidak semata ditentukan seberapa hebat perangkat yang tersedia untuk tugas tersebut.

Sehebat apapun sebuah sistem, efektivitasnya sangat ditentukan oleh orang yang menjalankan sistem tersebut. Telah banyak literatur yang mengungkap pengaruh penting kepemimpinan terhadap maju tidaknya suatu negara.

Kebangkitan Malaysia dan kemajuan Singapore, misalnya, tidak lepas dari sosok Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew, kendati oleh sebagian ahli politik, mereka dicap sebagai benevolent dictators.

Atribut benevolent ini yang membedakan mereka dari pemimpin diktator lainnya seperti President Soeharto dan Marcos yang ditandai politik represif dan korup (malevolent dictators).

Masih banyak contoh peran determinan pemimpin dalam kemajuan, atau sebaliknya keterbelakangan, suatu negara, baik negara kecil maupun besar, minus atau surplus SDA.

Selain itu, kondisi suatu negara, bahkan peradaban manusia, tidak lepas dari peran dan tanggungjawab kaum intelektual, terutama dalam hubungannya dengan kekuasaan.

Seperti terungkap dalam riset sejarah komparatif oleh Ahmet T. Kuru (2019), dari San Diego State University, bahwa aliansi ulama dan intelektual dengan negara menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam sejak abad ke-12.

Sebaliknya, menurut Kuru, Eropa Barat mencatat kemajuan pesat dalam berbagai bidang hingga sekarang, karena kaum intelektual di Benua Biru ini mampu menjaga jarak dari otoritas politik.

Padahal, sebelum abad ke-12, ia tertinggal jauh dari dunia Islam yang identik dengan ulama, intelektual progresif dan filsuf besar. Sebut saja, Ibnu Sina, al-Biruni, al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Khaytham, Miskawayh, al-Razi, al-Khawarizmi (Algoritmi, juga penemu aljabar dan angka nol), dan masih banyak yang lain.

Bagaimana dengan Indonesia?

Meminjam hipotesis kelembagaan, empat tahun lalu, saya menulis artikel bertajuk “Nawaduka dan Negara Gagal,” yang menisbatkan Indonesia sebagai negara gagal di tangan presiden Jokowi.

Pasalnya, semua atribut negara gagal seperti uraian di atas dipenuhi Indonesia secara sempurna setelah dipimpin presiden Jokowi.

Memang, sistem dan kelembagaan politik ekstraktif dengan pendekatan pembangunanisme (developmentalism), di bawah kendali oligarki telah lama berlaku di Indonesia, terutama sejak Orde Baru.

Kemudian menemukan karakternya yang sangat brutal di era pemerintahan presiden Jokowi, yang otoriter dan korup, sekaligus. Sebagian ilmuan politik menyebut pemerintahan tipe ini sebagai malevolent authoritarianism, yang berbeda dari benevolent authoritarianism (otoriter namun tidak korup) seperti di Singapore.

Presiden Jokowi sendiri lahir dari rahim sistem politik oligarkis berbaju demokrasi, yang bersenyawa dengan kultur feodal dan primordial masyarakat. Persenyawaan anasir-anasir ini menjadikan realitas politik Indonesia (politik elektoral, khususnya) sebagai ladang transaksi bagi para pemburu kekuasaan dan uang, serta perselingkuhan oligarki parpol dan oligarki ekonomi dalam lautan literasi politik rakyat yang masih rendah.

Tetapi, perlu dicatat, Indonesia pasca reformasi, dengan corak sistem dan kelembagaan politik yang serupa, memperlihatkan perbedaan mencolok atas kondisi bangsa Indonesia saat dipimpin SBY versus Jokowi.

Secara umum, era SBY ditandai keadaan yang cukup baik di berbagai bidang, mulai dari kualitas demokrasi dan kebebasan, tingkat kebahagian, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, kohesi sosial, sampai penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Sebaliknya, sejak Jokowi berkuasa pada 2014, hampir semua sektor mengalami pemburukan, bahkan mencapai tingkat kerusakan yang membuat bangsa Indonesia nyaris kehilangan jejak untuk kembali kepada cita-cita reformasi dan amanat konstitusi.

Di tingkat lokal, banyak contoh yang bisa dilihat terkait peran sentral pemimpin dalam mewarnai kondisi daerah. DKI Jakarta, misalnya, menjadi jauh lebih baik dalam banyak hal di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, dibandingkan Jokowi-Ahok-Djarot.

Tanpa menutup mata atas kekurangannya, selama hampir 5 tahun dipimpin Anies, kondisi fisik DKI Jakarta berubah drastis - makin tertata, megah dan indah, serta nyaman bagi semua kelompok masyarakat, termasuk penyandang disabilitas, lanjut usia, anak-anak dan perempuan.

Yang jauh lebih penting, kondisi demokrasi dan pembangunan manusia Ibu Kota kembali tumbuh positif, kemiskinan dan ketimpangan terus turun, pengelolaan keuangan daerah berkualitas – meraih predikat WTP dari BPK empat kali berturut turut, tingkat kemacetan jauh berkurang, banjir cepat surut, dan kohesi sosial semakin baik. Semua capaian kualitatif dan kuantitatif tersebut terekam dalam data BPS, dan mendapat penghargaan dari berbagai lembaga nasional dan internasional yang kredibel.

Lebih jauh, keberanian politik Anies melawan super-oligarki dengan menghentikan 13 dari 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta patut diacungi jempol. Hal ini menjadi bukti keberanian politik Anies melawan episenter oligarki yang mengorbankan kepentingan dan masa depan rakyat banyak. Sebuah perkecualian dalam realitas politik Indonesia yang dikendalikan para taipan oligarkis.

Sebaliknya, di bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok-Djarot, hampir semua sektor utama pembangunan DKI Jakarta mengalami kemerosotan. Perselingkuhan antara oligarki politik dan oligarki ekonomi juga makin dalam, yang menghambat kemajuan dan kesejahteraan rakyat serta mempertaruhkan masa depan Ibukota.

Seandainya Ahok terpilih pada 2017, proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta yang terbukti melanggar banyak aturan, mematikan sumber kehidupan nelayan dan mengancam keselamatan lingkungan dipastikan lanjut, bahkan mungkin meluas. Penggusuran rakyat secara brutal atas nama pembangunan juga akan berulang. Keterbelahan rakyat tidak bisa dihindari akibat pembelahan sosial yang dilakukan oleh Ahok dan buzzer bayarannya.

Tags: Jokowi |