Menkes Digugat Atas Syarat Wajib Vaksin Booster untuk Mudik 2022

Jakarta, law-justice.co - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin digugat ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) atas kebijakan wajib vaksin booster sebagai syarat wajib mudik lebaran 2022. Gugatan tersebut Bernomor Perkara 61/G/TF/2022/PTUN.JKT.

Berikut Petikan isi Gugatanya:

Baca juga : Batalkan NIK & SK P3K D4 Bidan Pendidik, Jokowi Didesak Copot Menkes


Bersama dengan kuasa hukumnya Viktor Santoso Tandiasa S.H., M.H., Muhamad Hasan Muaziz, S.H., M.H., Nurhidayat, S.H., dan Eliadi Hulu, S.H, PARA PENGGUGAT (Ted Hilbert dan Muhammad Fatoni Rachman) dalam Perkara Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige Overheidsdaad) terhadap TERGUGAT yakni Menteri
Kesehatan dan TERGUGAT II yakni Presiden Republik Indonesia dengan Nomor Perkara 61/G/TF/2022/PTUN.JKT.

Dengan sedang berjalannya proses persidangan terhadap Perbuatan mewajibkan Covid 19 dimasa penanggulangan Pandemi tanpa adanya informasi yang pasti tentang Efektivitas, Manfaat Serta Resiko bagi penerima vaksin, serta tidak adanya kejelasan berapa banyak dosis yang dapat membuat penerima vaksin dapat terhindar dari penularan Covid 19. Selain itu pula adanya kebijakan baru terkait dengan syarat wajib vaksin Booster bagi warga masyarakat yang akan melakukan mudik pada saat perayaan lebaran idul fitri Tahun 2022 sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran Nomor 16 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi Covid-19.

Baca juga : Ini Respons Menteri Kesehatan Budi Gunadi Soal Program Makan Siang

Maka bersama ini kami mengajukan permohonan penetapan penundaan pelaksanaan objek gugatan perkara 61/G/TF/2022/PTUN.JKT, dengan
alasan sebagai berikut:


1. Bahwa Dasar Hukum Penundaan Pelaskanaan Keputusan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU PTUN):

Baca juga : Usai ICJ Perintahkan Hentikan Genosida, Israel Malah Bunuh 174 Orang

Pasal 67 ayat (2), menyatakan: Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.


Pasal 67 ayat (4), yang menyatakan: Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2):


a. Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;
b. Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.”


2. Bahwa terhadap alasan kepentingan Para Penggugat yang dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap
dilaksanakan, sebagai berikut:


2.1. Bahwa tujuan awal kebijakan Wajib Vaksin Covid-19 adalah untuk mencegah terjadinya penularan, sebagaimana disampaikan dalam dialog Produktif bertema “Vaksin Sebagai Percencanaan Preventif Kesehatan” yang diselenggarakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasionnal (vide. https://kominfo.go.id/content/detail/30997/vaksin-palingefektif-cegah-penyakit-menular/0/virus_corona).


2.2. Bahwa dalam perjalanannya efektivitas vaksin menjadi dipertanyakan publik, dan pemerintah pun mengakui ternyata
vaksinasi tidak dapat mencegah penularan Covid-19 (vide: https://republika.co.id/berita/r4hki6380/satgas-vaksinasidosis-lengkap-tak-bisa-cegah-penularan-kasus).

Bahkan Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 mengatakan bahwa vaksinasi bukan untuk mencegah kemungkinan penularan virus Covid19 (Vide: https://republika.co.id/berita/qnorqe328/vaksinasi-bukanuntuk-mencegah-penularan-covid19).


2.3. Bahwa dari Dosis Lengkap (Vaksin 1 dan Vaksin 2), kemudian bertambah menjadi Vaksin Booster (dosis ketiga), pemerintah tidak memberikan penjelasan kepada masyarkat termasuk ke PARA PENGGUGAT terkait efektivitas vaksin dan Manfaat serta Resiko terhadap bertambahnya dosis vaksinasi Covid-19 dari Dosis Lengkap (Vaksin 1 dan Vaksin 2) bertambah dosis Vaksin ke-3 (Booster).


2.4. Bahwa tidak adanya penjelasan secara medis atas Efetivitas, manfaat dan resiko atas vaksin termasuk penambahan vaksin
dengan demikian bagaimana pertanggung jawaban negara terhadap warga negara yang diwajibkan penerima vaksin yang dikemudian hari mengalami dampak negative terhadap kesehatannya.


2.5. Bahwa terlebih lagi tidak adanya kejelasan pembatasan dosis yang harus diterima oleh Penerima Vaksin termasuk PARA
PENGGUGAT agar tidak tertular atau menulari orang lain selama masa Pandemi Covid-19. Apabila kita melihat kebijakan awal Vaksinasi Covid-19, Pemerintah mengatakan dosis yang diwajibkan kepada warga masyarakat adalah dosis lengkap (Vaksin ke-1 dan Vaksin ke-2). Terhadap dosis lengkap Vaksin ini, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 pada tanggal 08 Maret 2021 menegaskan bahwa Vaksin Covid-19 yang saat ini digunakan (dosis lengkap) efektif terhadap mutasi virus Covid19


2.6. Bahwa apabila kita melihat data yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan sebagai berikut:
Data membuktikan bahwa pasien yang terpapar Covid 19 (Omicron) yang dirawat di Rumah Sakit sejumlah 650 pasien dari 854 pasien. 650 pasien tersebut sudah di Vaksin dosis lengkap. Sementara jumlah pasien yang dirawat di Rumah Sakit karena terpapar Covid-19 (Omicron) sejumlah 99 pasien (belum divaksin). Data ini disampaikan oleh Kementerian Kesehatan, dalam Konfrensi pers kesiapan menghadapi Gelombang ketiga Covid-19 pada bulan februari 2022.


2.7. Bahwa namun kemudian, Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan wajib vaksin dosis Booster (dosis ke-3), dengan konsekwensi adanya pembatasan pembatasan hak-hak warga negara termasuk PARA PENGGUGAT.


2.8. Bahwa faktanya, Vaksinasi tidak mencegah penularan, dimana terhadap orang yang telah di vaksin (baik dosis lengkap, ataupun dosis booster) tetap dapat tertular ataupun menularkan covid-19, sebagaimana telah diuraikan pada angka 2.2 tersebut di atas.


2.9. Bahwa Faktanya Vaksinasi tidak juga menjamin penerima vaksin lengkap (Vaksin 1 dan Vaksin 2) apabila terpapar Covid19 hanya akan bergejala ringan. Pada bulan Juni 2021 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengumumkan sebanyak 14 dari 61 dokter yang sudah divaksinasi, meninggal setelah terpapar Covid-19 sepanjang Februari-Mei 2021. Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI dr. Moh. Adib Khumaidi menyebutkan 10 orang telah mendapat dua dosis vaksin Covid-19, sementara 4 lainnya baru menerima satu dosis. (https://www.jawapos.com/nasional/25/06/2021/nakeswafat-meski-sudah-vaksin-menkes-sedih-tapi-juga-lega/ dan
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210707190817-20-664646/anies-sebut-13-nakes-meninggal-sepekanmereka-sudah-vaksin).


2.10. Bahwa artinya, sifat memaksa (wajib) vaksin bagi setiap warga negara termasuk PARA PENGGUGAT adalah tindakan pemerintahan yang SANGAT MERUGIKAN PARA PENGGUGAT karena membuat PARA PENGGUGAT kehilangan hak-haknya untuk dapat mengakses transportasi publik, layanan publik/administrasi umum pemerintah, memasuki tempat-tempat umum, memasuki instansi pemerintahan karena tidak mempunyai Sertifikat Vaksin dan tidak menggunakan Aplikasi Peduli Lindungi. Walaupun PARA PENGGUGAT melakukan swab/antigen ataupun PCR, padahal PARA PENGGUGAT memiliki hak yang dijamin dalam UUD 1945.


2.11. Bahwa PARA PENGGUGAT menjadi kehilangan hak-haknya tersebut, karena alasan dapat menularkan dan/atau menjadi
pembawa (carrier) covid-19. Padahal terhadap alasan tersebut telah terbantahkan dengan fakta penerima vaksin pun dapat menularkan dan/atau menjadi pembawa (carrier) Covid-19.


2.12. Bahwa dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 16 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi Covid-19, yang diterbitkan pada tanggal 02 April 2022, sebagai dasar hukum pembatasan perjalanan menghadapi mudik lebaran. Dimana pada bagian Protokol, pada angka 3, huruf c poin 4, diatur sebagai berikut: PPDN dengan kondisi kesehatan khusus atau penyakit komorbid yang menyebabkan pelaku perjalanan tidak dapat menerima vaksinasi wajib menunjukan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3 x 24 jam sebelum keberangkatan sebagai
persyaratan perjalanan dan persyaratan wajib melampirkan surat keterangan dokter dari Rumah Sakit Pemerintah yang menyatakan bahwa yang bersangkutan belum dan/atau tidak dapat mengikuti vaksinasi COVID19; Dalam hal ini PARA PENGGUGAT yang belum melaksanakan Vaksinasi Covid-19 walau dapat menunjukan hasil negative tes RT-PCR, namun apabila tidak dapat melampirkan surat keterangan dokter dari RS Pemerintah karena PARA PENGGUGAT memang belum bersedia di vaksin, mengakibatkan PARA PENGGUGAT tidak dapat melakukan perjalanan dalam negeri dimasa ibadah puasa dan hari raya lebaran. Hal ini tentunya telah melanggar Hak Asasi PARA PENGGUGAT untuk dapat melaksanakan aktivitas keagamaannya.


2.13. Bahwa selain itu mewajibkan vaksinasi tanpa memberikan penjelasan terkait efektifitas, manfaat dan resiko baik jangka
pendek ataupun jangka Panjang kepada para penerima vaksin, sementara vaksin yang diwajibkan faktanya tetap masih dapat tertular atau menularkan, bahkan tidak menjamin pula penerima vaksin dapat terhindar dari kematian akibat Covid19, Hal ini tentunya adalah bentuk tindakan pemerintahan
yang bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Selanjutnya disebut UU 36/2009) serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut UU 39/1999) sebagaimana telah
diuraikan dalam Gugatan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari permohonan ini.


3. Bahwa apabila YANG MULIA MAJELIS HAKIM mengabulkan permohonan penundaan terhadap OBJEK GUGATAN, hal ini tidak akan mengganggu kepentingan umum sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 67 ayat (4) huruf b UU PTUN, bahkan dapat memberikan manfaat tidak hanya terhadap PARA PENGGUGAT tapi juga terhadap seluruh warga negara lainnya. Karena ketidakpastian fungsi kewajiban vaksinasi, memiliki efek jangka panjang yang belum dapat dipertanggungjawabkan baik efektivitasnya, manfaat dan Resikonya, bahkan terdapat fakta maupun penjelasan ilmiah bahwa vaksin tidak mencegah infeksi dan penularan serta tidak menjamin penerima vaksin tidak akan terhindar dari kematian apabila terpapar Covid-19; Berdasarkan seluruh uraian diatas dan untuk menghentikan segala kerugian yang telah PARA PENGGUGAT alami sebagaimana PARA PENGGUGAT jelaskan dalam kerugian pemohon dan alasan gugatan, maka PARA PENGGUGAT memohon kepada YANG MULIA MAJELIS HAKIM untuk:


1) Mengabulkan Permohonan Penundaan PARA PENGGUGAT;
2) Memerintahkan TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk menunda pelaksanaan wajib Vaksinasi Covid-19 dalam Penanggulangan
Pandemi Covid19 sampai adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dalam perkara ini atau terbitnya Keputusan yang mencabut keputusan tersebut.

 


Kuasa Hukum PARA PENGGUGAT
Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H.

 


PENGGUGAT
Ted Hilbert