Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE

Gelar Sir dari Inggris, Kritik Program Menteri Nadiem & Gugat UU IKN

[INTRO]

Selain sebagai Guru Besar, selama ini publik mengenal Azyumardi Azra sebagai salah satu cendekiawan muslim yang sangat kritis dan independen.  
 
Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung Padang Pariaman Sumatera Barat pada tanggal 4 Maret 1955, yang tidak pernah menyangka akan menjadi salah satu tokoh cendekiawan Islam di Indonesia.  
 
Namun karena dorongan dari Ayahnya, Azyumardi masuk ke IAIN (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) dan sampai hari ini ia dikenal sebagai salah satu tokoh intelektual Islam Indonesia.  
 
Azyumardi juga pernah menjadi seorang wartawan pada masa mudanya, menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika salah satu jurnal studi Islam di Indonesia. “Ya itu sekitar hampir 20 tahunan yang lalu saya pernah di profesi itu,” kata Azyumardi kepada Law-Justice.co. 
 
Selain sebagai tokoh intelektual Islam, Azyumardi juga dikenal masyarakat sebagai pakar sejarah dan politik. Azyumardi hingga kini menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Adab dan tarbiyah dan juga menjadi guru besar di UIN.  
 
Hingga puncaknya pada tahun 1998 ia terpilih menjadi Rektor di UIN Syarif Hidayatullah hingga tahun 2006.  Salah satu terobosan yang ia lakukan selama menjadi rektor adalah melakukan revolusi kepada IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah.  
 
Memang, pada awalnya ide tersebut tercetus ketika Rektor UIN masih dijabat oleh Harun Nasution. Meski begitu Azyumardi berhasil merevolusi kampus tersebut. “Tentu lulusan dari UIN harus menjadi orang yang berpikir rasional, modern, demokratis dan toleran,” imbuhnya.
 
Gelar `Sir` dari Kerajaan Inggris
 
Dikenal sebagai cendekiawan islam nasional, membuat Azyumardi tidak luput juga dari perhatian internasional. Bahkan Kerajaan Inggris memberikan gelar `Sir` untuk Azyumardi Azra, dan gelar kehormatan dari bangsawan inggris membuat Azyumardi menjadi orang pertama dari Indonesia yang mendapatkan gelar tersebut.
 
Awal mula Azyumardi mendapatkan gelar tersebut, lantaran memiliki sumbangsih besar dalam pembentukan UK-Indonesia Islamic Advisory Group (UK-Indonesia AIG) yakni memiliki tugas untuk meningkatkan pemahaman Islam di antara kedua negara tersebut.
 
Ayah empat orang anak ini menceritakan kalau gelar tersebut memiliki nama Commander of the Order of British Empire (CBE) adalah sebagai gelar kehormatan yang diberikan oleh Ratu Inggris.
 
"Ya, itu gelar kehormatan dari Ratu Inggris dan berhak pakai gelar sir di depan namanya selain itu bisa bebas keluar-masuk Inggris tanpa visa," paparnya. Detik-detik sebelum mendapatkan gelar tersebut, Azyumardi bahkan mengakui kalau ia tidak tahu gelar apa yang akan diberi oleh bangsawan Inggris.

Ternyata setelah diketahui kalau gelar CBE tersebut merupakan gelar yang sangat prestise. Bahkan gelarnya yang diterimanya itu lebih elite ketimbang gelar yang dimiliki oleh David Beckham. Seperti diketahui kalau Pesepakbola legendaris Inggris tersebut hanya mendapatkan gelar Officer of the Order of British Empire (OBE).
 
Selain itu dengan gelar tersebut ia telah diakui sebagai Anggota Keluarga Bangsawan Inggris dan ia juga berhak untuk dimakamkan di Inggris Raya. "Jujur pada awalnya saya gak tau itu gelar apa," ungkapnya.
 
Hal tersebut semakin menegaskan bila selain dikenal sebagai tokoh cendekiawan muslim nasional, ia juga dikenal dalam skala internasional.
 
Kerap Kritik Program Mendikbud Nadiem Makarim
 
Azyumardi Azra saat ini juga dikenal sangat kritis terhadap Pemerintahan Jokowi terutama kepada Mendikbud Nadiem Makarim. Bahkan Guru Besar UIN tersebut tidak ragu untuk memberikan rapor merah kepada kinerja Mendikbud.
 
Azyumardi mengatakan terdapat banyak program Kemendikbud, salah satunya adalah polemik beberapa waktu lalu terkait kurikulum wajib Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
 
Meskipun pada akhirnya regulasi tersebut direvisi, namun bagi Azyumardi ini menjadi catatan kritis kepada Nadiem Makarim sebagai Mendikbud.
 
“Pandangan saya saat ini Kemendikbud diserahkan pada orang yang bukan ahlinya. Bukan orang yang paham sejarah pendidikan Indonesia, saya sudah menyatakan bahwa saya memberikan rapor merah pada Mendikbud yang sekarang itu,” cetusnya.
 
Bahkan, ia mendorong pada Presiden untuk melakukan reshuffle Mendikbud karena kinerjanya selama ini tidak ada kemajuan bahkan menurun.
 
Ia menyebut terjadinya dua kali kesalahan mendasar itu sebagai hal yang fatal dan Mendikbud juga tidak menyiapkan pembangunan sumber daya manusia, tapi hanya menyiapkan sistem pendidikan yang merespons secara reaktif naik turunnya dinamika pasar semata.
 
"Mengurus pendidikan nasional itu rumit dan tentu harus orang yang ahli untuk berada disitu (Mendikbud)," katanya. Azyumardi juga mengkritisi salah satu program yang kerap kali didengungkan oleh Nadiem yakni Kampus Merdeka.
 
Azyumardi menilai kalau program Kampus merdeka tersebut masih sebatas jargon dan arahnya masih belum jelas. "Saya memang masih skeptis, kampus merdeka ini jujur saja gagasannya, bagus. Cuma saya melihat itu baru sampai pada jargon saja," ujarnya.
 
Salah satu poin yang dikritisi dalam program tersebut adalah hak untuk membuka prodi baru bagi perguruan tinggi negeri maupun swasta yang terakreditasi A atau B.  Azyumardi menuturkan bila Nadiem belum menyadari bahwa membuka prodi baru hingga saat ini bukan perkara mudah.

"Dalam praktiknya sampai sekarang sejak gagasan ini dipasarkan, untuk mendapatkan izin Prodi itu susahnya bukan main. Jadi, itu yang saya sebut baru sampai pada tingkat jargon," tuturnya.
 
Gugat UU IKN ke MK
 
Baru-baru ini, Azyumardi bersama sejumlah tokoh nasional lain memutuskan untuk menggugat Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
 
Azyumardi mengatakan alasan ia menggugat UU IKN tersebut karena cacat secara formil dan tidak sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, ia juga menyoroti tidak terpenuhinya hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk mendapatkan penjelasan dalam pembentukan UU IKN. 
 
"Tentu itu bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan pembentukan UU harus menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama," paparnya.
 
Mantan Rektor UIN itu juga menyebut bila UU IKN dinilai tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945. 
 
Selain itu, Azyumardi menilai pembentukan UU IKN tidak memenuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait partisipasi masyarakat secara bermakna dalam pembentukan UU. 
 
Partisipasi yang dimaksud adalah hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan. Tiga hak ini telah diabaikan oleh DPR dalam proses pembentukan UU a quo.
 
"Proses yang dilalui untuk disahkannya UU IKN ini tidak mencerminkan legislasi dari negara yang mempraktekkan demokrasi," cetusnya. Selain itu, ia juga menyebutkan bila rancangan undang-undang ini dirahasiakan, dan cenderung sulit untuk diakses dan publik tidak dilibatkan sama sekali.
 
Ia menceritakan pengalamannya ketika menyusun amandemen UUD 1945 tahun 1999 sampai dengan Tahun 2001. Ia menyebut perubahan dibicarakan dengan naskah akademik yang dibicarakan ke kampus-kampus dan kelompok masyarakat.

“Ada aspirasi dan pendapat lah ya menggali kajian dari berbagai aspek. Kalau ini kan nggak ada sama sekali semuanya itu diputuskan oleh oleh oligarki politik itu eksekutif dan legislatif,” ungkapnya.
 
Sekarang malah mau kebablasan lagi menggiring publik untuk Presiden Jokowi lanjut 3 periode atau memperpanjang masa jabatannya. Hasrat kekuasaan orang-orang di sekitar Jokowi dan kroni oligarki yang pasti mensponsorinya, tegasnya.
 
Bahkan, ia juga menjelaskan bahwa proses yang sudah dilalui secara singkat ini adalah hasil dari oligarki politik dan bisnis. Hal tersebut karena kekuatan eksekutif dan legislatif tidak bisa dibendung oleh pihak dari oposisi.

Baca juga : Kejagung Bisa Sita Harta Sandra Dewi, Ini Alasannya

Menurutnya, saat ini legislatif tidak mendengarkan masyarakat ketika sedang dalam pembahasan RUU yang akan berimbas pada masyarakat. Selain itu ia memberikan contoh lain pada pembahasan UU Minerba, UU KPK, dan UU Ciptaker yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha.
 
“Jadi sebetulnya ini hanyalah mencerminkan kemauan ambisi pribadi yang boleh disebut sebagai megalomania untuk meninggalkan warisan yang kontroversial," tutupnya kepada Law-Justice.co sambil mengucapkan selamat menjalankan ibadah Puasa di bulan suci Ramadhan ini.