Ketum PBNU: Kategori Kafir Tidak Relevan di Negara Bangsa Modern

Jakarta, law-justice.co - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU), Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa kategori kafir atau non muslim merupakan istilah yang tidak relevan dalam negara bangsa modern.

Kata dia, gagasan tersebut merupakan kesimpulan yang disepakati ulama PBNU. Hal ini berkaitan dengan upaya mengurangi permusuhan antar umat beragama.

Baca juga : Respons PBNU soal PP Muhammadiyah Usul Sidang Isbat Dihapus

"Kami pada waktu itu dengan membuat kesimpulan bahwa kategori non muslim atau kafir sesungguhnya tidak relevan dalam konteks negara bangsa modern," kata Yahya dalam webinar Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rabu (30/3).

Menurut Yahya, hal semacam ini juga dilakukan umat beragama lain seperti pemimpin agama di Vatikan dan kelompok dalam umat Yahudi.

Baca juga : Respons Anies soal Ketum PBNU Bercanda Sebut Cak Imin Tak Menang

Pada 2016 lalu, kata Yahya, muncul kelompok yang menamakan diri sebagai Yahudi Konservatif. Kelompok ini mengaku masih memegang Taurat namun membuka peluang penafsiran baru.

Kelompok ini berbeda dengan Yahudi Ortodoks yang memegang Taurat dan tidak mau membuat interpretasi sama sekali serta Yahudi Reformis yang membangun nilai baru tanpa melihat teks Taurat.

Baca juga : Ketum PBNU: Boikot Produk Israel jadi Upaya Penting Dukung Palestina!

Yahya mengungkapkan, Yahudi Konservatif kemudian mengumumkan dokumen pertobatan. Mereka menyebut secara terang-terangan bahwa dalam wacana Yahudi klasik terdapat wawasan agama yang merendahkan kelompok di luar Yahudi.

"Dalam wacana Yahudi klasik memang ada wawasan keagamaan yang misalnya merendahkan kelompok di luar Yahudi, menganggap ras di luar Yahudi yang inferior," ujarnya.

Kelompok tersebut kemudian menuntut pembentukan wawasan alternatif sehingga orang Yahudi lebih siap hidup berdampingan dengan damai dan setara dengan kelompok lain.

Lebih lanjut, Yahya mengatakan bahwa upaya semacam ini penting dilakukan untuk mengurangi mindset permusuhan dan kebencian satu sama lain.

"Saya kira ini merupakan PR kita bersama, bukan hanya PR umat Islam saja tapi juga PR seluruh kelompok agama-agama di belahan mana pun," tutur alumni Universitas Gajah Mada (UGM) itu.