Tak Lagi Suntik, Vaksin Covid Booster Semprot Tengah Dikembangkan

Jakarta, law-justice.co - Baru-baru ini, Vaksin NDV-HXP-S yang dikembangkan di Icahn School of Medicine di Mount Sinai di New York City dinilai menjadi sebuah revolusi Vaksin booster yang disemprot melalui hidung, bukan suntikan.


Dengan menggunakan sampel darah dari peserta uji coba, para peneliti menemukan bahwa NDV-HXP-S dapat menginduksi lebih banyak antibodi secara proporsional. Hal tersebut bahkan dapat menetralisir virus dan memiliki lebih sedikit antibodi non-penetral daripada vaksin mRNA, Moderna (MRNA.O) atau Pfizer (PFE.N) dan BioNTech.

Baca juga : Fadel Muhammad Dicecar KPK Soal Kurang Bayar di Kasus APD Covid-19

"Vaksin NDV-HXP-S menginduksi respons antibodi penetralisir terhadap tipe liar (asli) SARS-CoV-2 yang cocok dengan apa yang kita lihat setelah vaksinasi mRNA, tetapi proporsi antibodi penetral dalam respons lebih tinggi untuk NDV-HXP-S ," kata salah satu peneliti, Florian Krammer, dikutip dari Reuters, Sabtu (29/1/2022).


Tidak hanya itu, vaksin tersebut bahkan dapat diproduksi seperti vaksin flu dengan biaya rendah di pabrik pembuatan vaksin influenza di seluruh dunia.

Baca juga : Import MoLis Makin Dipermudah Masuk RI Jalanan Bak Neraka

Saat ini, uji klinis awal dengan versi langsung sedang berlangsung di Meksiko dan Amerika Serikat, sementara versi tidak aktif sedang diuji di Vietnam, Thailand dan Brasil. Sedangkan uji coba tahap menengah dari vaksin yang tidak aktif juga telah diselesaikan dan uji coba acak yang penting sedang direncanakan.

Segala uji coba tersebut menggunakan strategi "Prime and Spike" dengan menguji vaksin semprot tersebut pada tikus dengan kekebalan yang berkurang setelah dua dosis suntikan Pfizer/BioNTech.

Baca juga : Kemenkes Sebut Harga Vaksin Covid-19 Mandiri Tak Ditentukan Pemerintah

NDV-HXP-S yang dimurnikan terbukti secara kuat meningkatkan tanggapan kekebalan lini pertama dan kedua terhadap virus di hidung, paru-paru dan darah dan melindungi dari dosis virus yang mematikan.

Selanjutnya, tikus memiliki viral load yang lebih rendah dari perkiraan, yang kemungkinan akan mengurangi penularan.

"Strategi ini kemungkinan akan memberikan memori yang tahan lama dan lintas-reaktif yang dapat dengan cepat distimulasi kembali untuk mencegah penyebaran virus," kata pemimpin studi Akiko Iwasaki dari Universitas Yale menjelaskan di Twitter.