Menko Mahfud Ungkap Penyebab Kasus Satelit Kemhan Baru Diusut 2022

Jakarta, law-justice.co - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengungkapkan sejumlah alasan mengapa proyek pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 baru diusut saat ini meski dugaan pelanggaran hukumnya sudah dibahas sejak 2018 saat sidang kabinet.

Seperti diketahui, proyek pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 kini tengah diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Baca juga : Eksaminasi Hukum Atas Vonis MK Pada Kasus Sengketa Hasil Pilpres 2024

"Tahun 2018 saya belum jadi Menko, jadi saya tak ikut dan tak tahu persis masalahnya. Saat saya diangkat jadi Menko, saya jadi tahu karena pada awal pendemi COVID-19 ada laporan bahwa pemerintah harus hadir lagi ke sidang Arbitrase di Singapura karena digugat Navayo untuk membayar kontrak dan barang yang telah diterima oleh Kemhan," kata Mahfud seperti melansir detik.com.

Mahfud menuturkan setelah menjabat sebagai Menko Polhukam, dirinya beberapa kali mengundang pihak terkait untuk rapat.

Baca juga : Mahfud MD Menyesal Tak Hadir Penetapan Prabowo-Gibran Pemenang Pilpres

Merasa ada yang menghambat, Mahfud kemudian meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit hingga akhirnya ditemukan adanya dugaan pelanggaran hukum yang bisa merugikan negara.

"Saya undang rapat pihak terkait sampai bekali-kali, tetapi ada yang aneh. Sepertinya ada yang menghambat untuk dibuka secara jelas masalahnya. Akhirnya saya putuskan untuk minta BPKP melakukan audit dengan tujuan tertentu. Hasilnya ternyata ya seperti itu, ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dan negara telah dan bisa terus dirugikan," tuturnya.

Baca juga : Mahfud: Baru Kali Ini Ada Dissenting Opinion Putusan Sengketa Pilpres!

Mahfud kemudian memutuskan untuk tidak melakukan rapat dan memproses persoalan tersebut melalui jalur hukum. Dia mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga meminta persoalan tersebut diselesaikan secara pidana.

"Makanya, saya putuskan untuk segera berhenti rapat melulu dan mengarahkan agar diproses secara hukum. Presiden juga meminta agar segera dibawa ke ranah peradilan pidana," ucapnya.

Lebih lanjut Mahfud menyampaikan langkah hukum itu juga didukung oleh sejumlah Menteri dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Sejalan dengan itu, dia menyebut Jaksa Agung ST Burhanuddin juga menyatakan siap memproses persoalan tersebut.

"Menkominfo setuju, Menkeu bersemangat. Menhan Prabowo dan Panglima TNI Andika juga tegas bahwa ini harus dipidanakan. Bahkan Menhan dan Panglima tegas mengatakan tak boleh ada pengistimewaan kepada korupsi dari institusi apa pun, semua harus tunduk pada hukum. Saya berbicara dengan Jaksa Agung yang ternyata juga menyatakan kesiapannya dengan mantap, itu lah," imbuhnya.

Seperti diketahui Kemhan meneken kontrak dengan Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat meskipun belum tersedia anggaran untuk pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur yang merugikan negara hampir Rp 1 triliun. Akhirnya Indonesia digugat oleh dua perusahaan Avanti dan Navayo karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai biaya sewa dalam kontrak.

Pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015, meskipun persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016. Namun pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.

Pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.

Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia. Sedangkan di tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.

Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.

Pihak Navayo yang juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017. Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemhan, namun Pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo.