Banjir Kritik Pembahasan Super Cepat RUU Ibu Kota Negara

Jakarta, law-justice.co - LSM Pencinta Lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) yang super cepat terkesan dipaksakan dan mengulang inkonstitusionalitas pembentukan UU Cipta Kerja.

Alih-alih belajar dari proses pembentukan UU Cipta Kerja yang diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, Walhi menganggap pemerintah justru berpotensi mengulangi kesalahan yang sama di RUU IKN.

Baca juga : Nisa Ratu Narkoba Aceh Dituntut Vonis Mati, Ini Detilnya

"Proses dipaksakannya pembahasan RUU IKN dengan proses super cepat justru mereplikasi kembali proses yang salah," ujar Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi Wahyu Perdana dalam keterangan tertulis, Rabu (12/1).

Wahyu mengatakan penetapan lokasi IKN juga dilakukan secara politik tanpa adanya dasar hukum yang jelas. Proses penentuan lokasi, pun tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Baca juga : Kapolresta Manado Diperiksa Propam soal Bunuh Diri Brigadir RA

Setidaknya ada tiga hal yang membuat proses pembentukan RUU IKN harus dibatalkan menurut catatan Walhi.

Pertama, proses pembahasan RUU IKN yang super cepat di parlemen. Wahyu mengatakan proses pembentukan RUU IKN ini ditargetkan pemerintah dan DPR akan selesai dalam waktu 40 hari.

Baca juga : Diduga Gelembungkan Suara, Crazy Rich Surabaya Digugat di MK

Perhitungan tersebut dilakukan sejak pertama kali anggota Panitia Khusus RUU IKN ditetapkan pada 7 Desember 2021 hingga direncanakan mendapat persetujuan tingkat II atau rapat paripurna DPR, pada 18 Januari mendatang.

Walhi menilai pembahasan RUU IKN sangat terburu-buru dan terkesan dipaksakan. Berpotensi memunculkan pertanyaan bagi publik dan tidak masuk akal dari perspektif syarat pembentukan UU yang baik.

"Terlebih, kompleksitas pemindahan ibu kota negara ini tidak hanya melibatkan urusan teknis belaka, seperti anggaran dan infrastruktur, tetapi juga memerlukan kajian mendalam terkait aspek sosial, ekonomi, lingkungan, hingga kultur," kata Wahyu.

Kedua, Walhi menilai, pembentukan RUU IKN juga telah mengabaikan syarat formil. Salah satunya dalam proses pembentukan Pansus RUU IKN.

Dalam rapat paripurna 7 Desember 2021 lalu, DPR membentuk pansus RUU IKN dengan total anggota mencapai 50 orang dan 6 pimpinan pansus. Jumlah anggota ini berlawanan dengan amanat UU MD3 dan tatib DPR, yang mengatur jumlah panitia khusus maksimal 30 orang, dan 4 orang unsur pimpinan.

"Setelah menuai kritik, pada rapat paripurna penutupan masa sidang II 2021/2022, 16 Desember 2021, keputusan itu baru direvisi," tuturnya.

Ketiga, RUU IKN tidak dapat mematuhi prinsip partisipasi publik yang bermakna. Wahyu berpendapat RUU IKN belum melibatkan partisipasi publik yang bermakna dengan tidak melibatkan semua unsur masyarakat, baik petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan organisasi masyarakat sipil.

Padahal jika berkaca dari pengalaman UU Cipta kerja, pansus RUU IKN harusnya dapat lebih berhati-hati agar produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan asas-asas pembentukan UU yang baik.

"Mengingat dalam putusannya, MK menyoroti pembentukan UU agar melibatkan partisipasi publik yang bermakna," tegasnya.