DPR Minta Pemerintah Pertimbangkan Resiko Inflasi Pada Kenaikan PPN

Jakarta, law-justice.co - Kenaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) terutama kebijakan Pajak Penjualan Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPNBM-DTP) masih menjadi perdebatan akibat dipastikan berdampak terhadap ekonomi masyarakat.

Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan untuk mempertimbangkan resiko inflasi yang merupakan efek terburuk dari kenaikan PPN. “Kenaikan tarif PPN akan beresiko terhadap inflasi, itu juga harusnya jadi bahan pertimbangan, karena PPN dikenakan atas barang dan jasa, kemudian diluar tarif PPN barang yang dianggap mewah dikenakan PPNBM,” ujarnya kepada Law-Justice.co di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (14/11/2021).

Baca juga : Airlangga Buka Suara soal Banyak Penolakan Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

Misbakhun juga menuturkan obyek pajak baru beresiko terhadap kenaikan bahan-bahan pokok dan sektor jasa lainnya.”Kenaikan harga baru ini menyangkut dan menyasar kebutuhan pokok, harga baru ini juga menyasar ke perbankan, asuransi, jasa keuangan, Kesehatan dan Pendidikan,” jelas dia,

Kenaikan dan perubahan tarif PPN, diungkapkan Misbakhun juga akan membuat kebutuhan pokok masyarakat makin meroket.”Tentu saja beberapa bahan pangan seperti umbi-umbian, buah dan sayur, beras dan kebutuhan pokok masyarakat semakin mahal,” ungkapnya

Baca juga : Bekas Wamenkeu Ungkap Dampak Kenaikan PPN Jadi 12% di 2025

“Pertimbangan inflasi menyangkut yang pertama Administrated Price Inflation yaitu jenis inflasi yang dipengaruhi oleh kebijakan yang mengatur harga seperti harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan dan lainnya. Dan yang kedua Volatile Food Inflation yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh kejutan dalam kelompok barang seperti bahan makanan. Hal-hal yang dapat membuat harga bergejolak tiba-tiba antara lain musim panen, gangguan alam, dan faktor perkembangan harga pangan domestik dan
internasional,” lanjut Misbakhun.

Misbakhun menyebutkan akibat terparah dari kenaikan tarif PPN, kemampuan masyarakat untuk membeli barang akan menurun, akibatnya pertumbuhan ekonomi akan terhambat. “Apabila konsumsi terpukul akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, ini akan menjadi sebuah pemikiran dan kemungkinan akan jadi perdebatan Panjang terhadap usulan pemerintah soal kenaikan tarif PPN dari 10% ke 12%, tentunya ini tidak akan mudah untuk diputuskan dan dirumuskan begitu saja,” pungkasnya.

Baca juga : Indef Nilai Rencana Kenaikan PPN 12% Bisa Menurunkan Daya Saing

Perlu diketahui, dalam draf RUU HPP tersebut dijelaskan bahwa aturan ini mulai berlaku pada tanggal setelah diundangkan yang belum diketahui. Saat ini prosesnya masih perlu disahkan dalam rapat paripurna DPR RI.

Berikut rinciannya kenaikan tarif PPN:


1. Tarif PPN Naik Jadi 11%

Dalam draf RUU HPP yang diterima detikcom, tarif PPN akan dinaikkan menjadi 11% dari yang saat ini berlaku 10%. Artinya dengan kenaikan itu, maka mulai tahun depan barang yang dikonsumsi masyarakat berpotensi mengalami kenaikan harga. "Tarif pajak pertambahan nilai yaitu 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022," tulis Bab IV Pasal 7 ayat (1) a. Besaran PPN di Indonesia akan terus dinaikkan secara bertahap. Pada 2025 tepatnya 1 Januari, pasal 7 ayat (1)b tertulis bahwa PPN akan sebesar 12%. "PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%," bunyi pasal 7 ayat (3).


2. Pajak Orang Kaya Naik Jadi 35%


Bab III pasal 17 menjelaskan tarif PPh untuk orang kaya atau penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun ditetapkan sebesar 35%. Besaran itu naik 5% dibanding yang berlaku saat ini yang sebesar 30% untuk penghasilan di atas Rp 500 juta per tahun. Artinya, ini adalah aturan baru yang berlaku bagi orang kaya di dalam negeri.
Selain itu, penghasilan kena pajak untuk lapisan pertama yang dikenakan tarif 5% diubah, dari tadinya hingga Rp 50 juta per tahun menjadi Rp 60 juta per tahun.
Dengan penambahan tarif PPh untuk orang kaya ini, maka lapisan penghasilan kena pajak bagi PPh


Orang Pribadi menjadi lima, yakni:
1. Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta kena tarif 5%
2. Penghasilan di atas Rp 60-250 juta kena tarif 15%
3. Penghasilan di atas Rp 250-500 juta kena tarif 25%
4. Penghasilan di atas Rp 500 juta-5 miliar kena tarif 30%
5. Penghasilan di atas Rp 5 miliar kena tarif 35%


3. Sembako Kena Pajak


Dalam draf RUU HPP, barang kebutuhan pokok dihapus dari jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Itu artinya, sembako akan dikenakan pajak. Meski begitu, Hendrawan memastikan barang sembako yang kena pajak adalah produk yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat banyak atau yang harganya mahal karena impor. Ini nantinya diatur lebih rinci dalam peraturan pelaksana. "Yang kelas-kelas atas (sembako yang dikenakan PPN), bukan yang dikonsumsi masyarakat luas," tuturnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan bahwa sembako yang akan dikenakan pajak seperti beras basmati, beras shirataki, hingga daging sapi premium impor seperti Kobe dan Wagyu yang harganya bisa 15 kali lipat harga daging di pasar tradisional. "Itu asas keadilan dalam perpajakan di mana yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi," tegas Sri Mulyani dalam unggahannya di akun Instagram, Senin
(14/6/2021).