Hampir Pailit Tiba-tiba Evergarande Lolos dari Gagal Bayar, Kok Bisa?

Jakarta, law-justice.co - Evergrande dikabarkan berhasil melakukan pembayaran bunga setidaknya untuk dua obligasinya pada Rabu lalu (10/11/2021).


Hal ini disampaikan seorang pemegang obligasi perusahaan, yang mensinyalkan bahwa perusahaan lagi-lagi berhasil menghindari gagal bayar (default).

Baca juga : OJK Dalami Indikasi Fraud Terkait iGrow dan TaniFund

Dilansir Reuters, Jumat ini (12/11/2021), juru bicara Clearstream, perusahaan penyedia layanan pasca-perdagangan yang dimiliki oleh Deutsche Börse AG, mengatakan bahwa pelanggan perusahaan kliring internasional ini sudah menerima pembayaran bunga jatuh tempo atas obligasi yang diterbitkan oleh Evergrande.


Evergrande berutang pembayaran bunga kepada investor dengan total hampir US$ 150 juta atau setara dengan Rp 2,15 triliun (kurs Rp 14.300/US$) pada tiga obligasi, dengan masa tenggang untuk pembayaran tersebut akan berakhir pada hari Rabu lalu.

Baca juga : Ngeri Berdampak Global, Batas Akhir Bayar Utang AS Diperpanjang

Jika tenggat waktu tersebut terlewati maka akan memicu default yang dapat menjalar melalui ekonomi China.

Dengan utang menembus sekitar US$ 300 miliar atau setara dengan Rp 4.290 triliun, ketidakmampuan perusahaan untuk membayar utangnya berpotensi merugikan bank, pengembang properti, dan bahkan pembeli rumah di Tiongkok.

Baca juga : Dunia Kena Imbas, Joe Biden Bersikeras AS Tak Akan Gagal Bayar Utang

Sebaliknya, perusahaan berhasil melewati dari satu tenggat waktu ke tenggat waktu berikutnya, mampu memenuhi kewajibannya pada menit terakhir.

Sayangnya, seringkali informasi ini mengemuka tanpa menjelaskan bagaimana mereka mampu melakukannya atau bahkan tidak mengungkapkan sama sekali keterbukaan informasi bahwa mereka telah melakukan pembayaran, atau sumber dananya dari mana.

Sebelumnya diketahui bahwa perusahaan telah mencoba menjual sebagian aset `kerajaan` bisnisnya untuk mengumpulkan cukup uang.

Pada Oktober lalu, ketika Evergrande membatalkan rencana menjual saham senilai US$ 2,6 miliar atau setara Rp 37 triliun di perusahaan layanan properti kepada pengembang lain, Evergrande pun memperingatkan dalam pengajuan ke otoritas sekuritas di Hong Kong bahwa "tidak ada jaminan" bahwa mereka akan dapat memenuhi kewajiban keuangan atau menegosiasikan perpanjangan tenor utang dengan para kreditornya.

Meskipun sejauh ini Evergrande telah berhasil menghindari gagal bayar, krisis properti sudah mulai membebani pengembang China lainnya, dengan satu per satu perusahaan lain mulai melewatkan pembayaran atau sama sekali gagal membayar utang.

Pemerintah China pun semakin memperketat kontrol pada pinjaman dan banyaknya investor yang mulai hengkang dari sektor ini.


Setidaknya enam pengembang properti China telah gagal membayar obligasi mata uang asing dalam beberapa pekan terakhir.

Kondisi ini mengguncang pasar keuangan domestik dan meningkatkan biaya pinjaman untuk semua perusahaan China.

Harga properti melambat dan lebih sedikit orang yang membeli apartemen, memperburuk prospek real estat.

Analisis Reuters melihat, tantangan Evergrande juga dapat menyebar ke luar China, karena dapat bergejolak melalui pasar keuangan global.

Pada hari Senin, Federal Reserve (the Fed), bank sentral AS, mengatakan masalah di sektor properti China dapat mengancam Amerika Serikat.

Fokus regulasi atas utang korporasi yang diluncurkan Beijing, kata The Fed, "memiliki potensi untuk menekan beberapa perusahaan yang berutang banyak, terutama di sektor real estat, seperti yang dicontohkan oleh kekhawatiran baru-baru ini atas China Evergrande Group."


Tekanan-tekanan ini, pada gilirannya, dapat meluas ke ekonomi yang lebih luas.

"Mengingat ukuran ekonomi dan sistem keuangan Tiongkok serta hubungan perdagangannya yang luas dengan seluruh dunia, tekanan keuangan di Tiongkok dapat membebani pasar keuangan global melalui penurunan sentimen risiko, menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi global, dan mempengaruhi Amerika Serikat," kata The Fed.

Dikutip dari CNBCIndonesia, Setidaknya enam pengembang properti China telah gagal membayar obligasi asing dalam beberapa pekan terakhir, mengguncang pasar keuangan domestik dan meningkatkan biaya pinjaman untuk semua perusahaan China.