Tanggapi Wasekjen PA 212, Kapitra: Jokowi Itu Lebih Islami dari Mereka

Jakarta, law-justice.co - Politisi PDI Perjuangan, Kapitra Ampera angkat bicara terkait pernyataan Wakil Sekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212, Novel Bamukmin yang berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Ma`ruf Amin segera menghentikan kriminalisasi terhadap ulama.

Novel Bamukmin meyakini Allah SWT tidak akan menerima ibadah seseorang yang berbuat zalim kepada para ulama dan habaib.

Baca juga : Bulan Depan, Erick Thohir Bakal Rombak Direksi-Komisaris 12 BUMN

Menanggapi pernyataan Novel tersebut, Kapitra Ampera menuding salah satu tokoh Front Persaudaraan Islam atau FPI versi baru itu selalu merasa paling benar.

"Ini orang yang selama ini salah, tetapi selalu mengeklaim kebenaran," kata Kapitra seperti melansir JPNN.com, Minggu (5/9).

Baca juga : Nasib Tragis BUMN Farmasi Indofarma

Alumnus Universitas Muhammadiyah Jakarta itu meminta Novel tidak usah berbicara tentang ibadah seseorang yang dikaitkan dengan urusan hukum.

Terlebih lagi, kata dia, Novel sampai mendiskreditkan ibadah yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin.

Baca juga : MNC Larang Nobar Piala Asia U-23 Ada Sangsi Pidana

"Jokowi itu lebih islami dari mereka. Kiai Maruf, itu ulama besar. Jangan merasa besar dan lebih hebat daripada orang lain," tutur Kapitra.

Sebelumnya, Novel Bamukmin meminta politikus PDI Perjuangan Kapitra Ampera mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Ma`ruf Amin segera menghentikan kriminalisasi terhadap ulama.

Novel meyakini Allah tak akan menerima ibadah seseorang yang berbuat zalim kepada para ulama dan habaib.

"Kapitra sebagai orang yang bersama rezim seharusnya mengingatkan presiden dan wapresnya untuk setop mengkriminalisasi ulama, karena semua ibadahnya percuma, tidak berguna sama sekali," kata Novel Sabtu (4/9).

Novel menyatakan Kapitra sebagai praktisi hukum seharusnya bisa membedah perkara pidana yang menjerat Habib Rizieq Shihab.

Pemilik nama asli Novel Chaidir Hasan Bamukmin itu meyakini Habib Rizieq diadili bukan karena perkara pidana, melainkan akibat kepentingan politik.

"Inilah tanda akhir zaman, orang hukum tidak berbicara hukum, malah berbicara agama yang dia sendiri enggak paham," ujar Novel.