Mantan Penasihat: Pimpinan Tidak Paham Hakikat Dibentuknya KPK!

Jakarta, law-justice.co - Komisi Pemberantasan Korupsi menuai kritik, usai diterbitkannya Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perjalanan Dinas, di Lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi tertanggal 30 Juli 2021.

Salah satu kritik tersebut dilontarkan mantan penasihat lembaga antirasuah, Abdullah Hehamahua.

Baca juga : Diduga Halangi Proses Pelanggaran Etik, Novel Laporkan Nurul Ghufron

Menurut Abdullah, dengan diterbitkannya aturan tersebut, dia menilai Firli Bahuri Cs tak memahami hakikat dibentuknya lembaga antirasuah. Ini karena menurutnya, KPK merupakan lembaga extra ordinary crime. Sehingga undang-undangnya luar biasa, sanksinya luar biasa, orang-orangnya luar biasa.

“ini jelas kekurangan penguasaan integritas pimpinan KPK. Apalagi pemimpin KPK banyak melakukan pelanggaran. Ketua KPK 2 kali. Wakil ketua juga diperiksa Dewan Pegawas. Memang ini menyangkut soal integritas. Apalagi persoalan 75 orang (pegawai tak lolos TWK), menurut ombudsman malaadminstrasi. Menunjukan kurang berintegritas pimpinan KPK sekarang,” tegas Abdullah seperti melansir JawaPos.com, Minggu (8/8).

Baca juga : Dewas KPK: Nurul Ghufron Urus Pegawai Kementan Dimutasi ke Malang

Terkait permintaan pembiayaan perjalanan dinas pegawai atau pimpinan KPK ditanggung panitia penyelenggara, menurut Abdullah, jika pihak penyelenggara merupakan pihak pemerintah, hal itu bisa menimbulkan konflik kepentingan atau malaadministrasi. Namun jika pihak panitia penyelenggara yang membiayai perjalanan dinas merupakan pihak swasta, itu bisa berpotensi gratifikasi.

“Untuk tutup celah, maka tidak boleh terima bantuan dari pihak manapun. Jadi kalau alasan keterbatasan dana, berarti ini bukan persoalan kinerja KPK, tapi kinerja pemerintah,” tukasnya.

Baca juga : Rutan Pom AL dan Guntur Akhirnya Dinonaktifkan KPK Buntut Kasus Pungli

Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Peraturan Pimpinan KPK (Perpim) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perjalanan Dinas di Lingkungan KPK. Peraturan ini mengatur mengenai perjalanan dinas bagi setiap insan KPK.

Dalam Pasal 2A ayat 1 berbunyi, Pelaksanaan perjalanan dinas di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengikuti rapat, seminar dan sejenisnya ditanggung oleh panitia penyelenggara.

“Dalam hal panitia penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menanggung biayanya, maka biaya perjalanan dinas tersebut dibebankan kepada anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi dan dengan memperhatikan tidak adanya pembiayaan ganda,” sebagaimana bunyi Pasal 2A ayat 2 yang dikutip dalam Perkom 6/2021, Minggu (8/8).

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron membantah Perkom 6/2021 menjadi celah timbulnya suap bagi setiap insan KPK. Ghufron menjelaskan, KPK sejak 1 Juni 2021 merupakan rumpun eksekutif yang para pegawainya merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Maka sistem perjalanan dinas menyesuaikan dan mengakomodir akan adanya kegiatan yang bisa bersama, baik diundang atau KPK mengundang antar ASN dari kementerian dan lembaga,” kata Ghufron kepada JawaPos.com.

Ghufron menyebut, selama KPK memang selalu diajak delegasi seperti dengan Kementerian Luar Negrri RI ke PBB atau luar negeri lainnya, jika ada anggaran dananya di KPK maka diberangkatkan dengan dana KPK, tetapi jika tidak tersedia atau tidak dianggarkan karena bukan dalam program KPK, maka KPK tidak dapat memenuhi atau tidak mengutus delegasi.

Karena dalam peraturan KPK sebelumnya tidak memungkinkan KPK didanai oleh pihak pengundang. Dengan peraturan ini memungkinkan untuk saling memback up, kalau ada dari KPK bisa, jika tidak ada bisa dari pihak pengundang.

Begitupun sebaliknya jika KPK selama kegiatan misalnya dengan BPKP ke daerah, selama ini KPK tidak bisa menanggung biaya untuk mereka padahal ini kegiatan KPK, dengan peraturan ini bisa saling menanggung dengan catatan tidak boleh double anggaran, artinya salah satu yang membiayai,” ungkap Ghufron.

Pimpinan KPK berlatar belakang akademisi ini membantaj jika hal ini dikategorikan sebagai suap. Sebab, suap merupakan memberi sesuatu dengan maksud untuk menggerakkan perbuatan atau perbuatan tersebut melanggar hukum.

“Masyarakat perlu memahami perbedaan suap itu untuk perbuatan agar ASN melanggar kewajiban atau larangan, sementara biaya perjalan dinas adalah biaya yang diperlukan untuk kegiatan yang sah secara hukum,” tegas Ghufron.