Legislator Soroti Substansi dan Penegakan Hukum dalam SKB UU ITE

law-justice.co - Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai UU ITE. Surat tersebut diteken oleh Menteri Kominfo Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengapresiasi langkah pemerintah untuk membenahi penegakan hukum dari UU ITE.

Baca juga : Respons PKS soal Ditolak Partai Gelora Masuk Koalisi Prabowo

"Tapi, ada 2 hal yang kami soroti dengan terbitnya SKB, yaitu soal substansi hukum dan penegakan hukum," kata Sukamta kepada Law-Justice, Jumat, 25 Juni 2021.

Pertama, ia menuturkan, dari segi substansi ia mempertanyakan bagaimana nasib revisi UU ITE, sementara hulu persoalan ada di level undang-undang. Adanya SKB ini menurut dia jangan dijadikan alasan bagi pemerintah untuk tidak merevisi UU ITE.

Baca juga : DPR RI Tolak Normalisasi Indonesia-Israel

Wakil Ketua Fraksi PKS ini juga mempertanyakan kedudukan SKB tersebut dalam hukum positif. Memang pemerintah punya diskresi, tapi ia ragu apakah hal itu berlaku untuk kasus yang sudah ada aturan perundang-undangannya.

"Tidak ada bridging dari UU ITE dengan pembuatan SKB UU ITE ini, karena UU ITE tidak mengamanatkannya," ujarnya.

Baca juga : Dibanding Ngemis Gabung Pemerintah, PKS Lebih Baik Oposisi Bareng PDIP

Oleh karena itu, Sukamta menegaskan revisi UU ITE tetap wajib dilakukan. Baik dengan memperjelas delik yang ada dengan menambah pasal di UU ITE maupun mengharmoniskannya dengan ketentuan delik dalam Rancangan revisi KUHP.

Supaya tidak ada lagi penafsiran yang berbeda-beda untuk diterapkan kepada obyek hukum yang berbeda atau yang sering disebut pasal karet.

Kedua, Sukamta menyoroti aspek penegakan hukumnya, seperti akumulasi (gabungan) pidana yang dilakukan pada kasus tertentu di lapangan. Soal gabungan pidana ini terdapat 3 pandangan, yaitu Concursus idealis (gabungan satu perbuatan), Voortgezette handelling (perbuatan berkelanjutan), dan Concursus realis (gabungan beberapa perbuatan).

Soal Concursus idealis, KUHP pasal 63 mengatur bahwa sanksi yang diberikan kepada seseorang adalah yang paling memenuhi prinsip lex specialis.

Prinsip hukumnya, satu tindak pidana hanya dapat dihukum dengan satu sanksi, tidak bisa akumulatif. Jika terdapat beberapa peraturan yang mengatur sanksi untuk satu tindak pidana, maka yang berlaku adalah peraturan yang paling khusus atau spesialis.

Akumulasi pidana hanya berlaku dalam tindak kejahatan berlanjut (satu perbuatan diikuti / mengakibatkan perbuatan lainnya) dan gabungan perbuatan kejahatan (berlapis).

Sukamta menyoroti dalam hal ini batasan dan itikad penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan merupakan akibat ikutan (lanjutan) dari suatu perbuatan lainnya. Penegak hukum harus bisa membuktikan hal tersebut dengan cermat, tidak bisa gegabah.

Misalnya, suatu perbuatan menyebarkan hoaks, tidak serta merta mengakibatkan suatu perbuatan membuat keonaran dengan sengaja.

Di sini penegak hukum harus berpijak pada ultimum remedium dan restorative justice, yang spiritnya tidak mudah untuk menjatuhkan hukuman, bahwa hukuman adalah jalan terakhir.

"Ke depannya kita berharap jagat maya terpelihara baik dengan penegakan hukum yang tegak lurus demi hukum, bukan demi kepentingan, baik kepentingan politik maupun material," pungkasnya.