Paskalis Kossay, tokoh intelektual Papua dan Politisi senior Papua

Keluarkan Dulu Balok dari Mata Lalu Kritisi Militer Myanmar

law-justice.co - Menarik perhatian publik di dalam negeri ketika Presiden Jokowi atas nama rakyat Indonesia mengkritisi tindakan junta militer Myanmar terhadap warga sipil dinegara itu.

Krisis politik Myanmar semakin memanas ketika junta militer negara ini menggunakan tindakan kekerasan terhadap warga sipil.

Baca juga : Apakah Prabowo-Megawati akan Singkirkan Jokowi?

Tindakan kekerasan junta militer Myanmar tersebut mengundang reaksi keras dari para tokoh dunia termasuk Presiden Jokowi.

Presiden secara terbuka atas nama rakyat Indonesia menyatakan pernyataan keras, mengutuk tindakan kekerasan junta militer Myanmar dan memintanya supaya dihentikan tindakan kekerasan militer dan dihadapi dengan langkah demokratis.

Baca juga : Disebut Negara Kanibal oleh Biden, PM Papua Nugini Protes

Sebagai sesama negara anggota Asean, bisa dimaklumi bahwa sikap politik Presiden Jokowi tersebut adalah bentuk keprihatinan bersama terhadap krisis politik Myanmar yang turut mempengaruhi stabilitas politik kawasan Asia Tenggara.

Namun sangat disayangkan, karena kekerasan militer seperti yang dihadapi rakyat Myanmar juga sedang dilakukan militer Indonesia terhadap warga sipil rakyat Papua.

Baca juga : Presiden Jokowi Harus Dimakzulkan Apapun Putusan Hakim MK

Oleh sebab itu seruan Presiden Jokowi terhadap tindakan junta militer Myanmar sesungguhnya berbanding terbalik dengan kebijakannya sendiri dalam menghadapi krisis politik dan militer di Papua.

Di Papua kekerasan militer terhadap warga sipil terus berlangsung sejak 2018 sampai dengan sekarang. Dampak kekerasan militer ini banyak menimbulkan korban. Baik korban jiwa maupun korban harta dan korban pembangunan.

Rakyat Papua didaerah konflik, Nduga, Intan Jaya dan Puncak, kehidupannya sudah sudah diterlantarkan. Mereka hidup terkatung-katung di Camp pengungsian. Korban terus berjatuhan. Jokowi membiarkan krisis kemanusiaan ini terus berlangsung hingga detik ini.

Banyak para tokoh dari berbagai kalangan selalu menyuarakan dan mendesak Jokowi supaya bisa menghentikan konflik dan kekerasan militer di Papua dengan menarik pasukan mikiternya dari daerah konflik tersebut.

Namun tidak pernah direspon dengan bijak, malah sebaliknya Presiden Jokowi semakin menambah kekuatan militer. Kehadiran militer yang berlebihan ini membawa implikasi buruk dalam kehidupan keseharian warga sipil. Rakyat sipil merasa terintimidasi dan menimbulkan keresahan dalam kebebasan beraktivitas.

Memang nuansa konflik dan kekerasan di Papua dan Myanmar berbeda., namun implikasi politik dan keamanannya sama. Konflik dan kekerasan di Papua juga bersumber dari perbedaan ideologi politik sama seperti Myanmar.

Hanya dampaknya berbeda. Kekerasan di Myanmar berdampak luas menyangkut eksistensi negara, sedangkan konflik dan kekerasan di Papua menyangkut separatisme terhadap negara.

Oleh sebab itu seharusnya Presiden Jokowi mengintropeksi diri sejauh mana kebijakan positifnya dalam mengelola konflik dan kekerasan yang dihadapi didalam negerinya sendiri.

Didalam negeri sendiri masih bergejolak politik dan kekerasan militer, tetapi menyoroti kekerasan militer di negara lain terlalu gampang.

Seruan Presiden Jokowi terhadap krisis politik dan militer Myanmar ini seperti Kutipan Injil Mathius berikut ini: 

"Bagaimana engkau dapat berkata kepada saudaramu , Biarlah aku mengeluarkan Selumbar itu dari matamu, padahal ada BALOK didalam matamu. Hai orang munafik , keluarkanlah dahulu Balok dari matamu , maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu ( Mat 7:3) “.

Kutipan Injil Mathius tersebut diatas ini, mengingatkan kita utamanya negara, sebaiknya mengkritisi situasi politik dinegara lain, coba dikoreksi dahulu terhadap kebijakan didalam negerinya dalam konteks penanganan masalah serupa.

Didalam negeri masih diselimuti dengan konflik dan kekerasan politik yang masif dan terstruktur , tetapi tampil dipanggung politik luar negeri seolah tidak ada beban konflik dan kekerasan. Inilah situasi anomali politik Indonesia yang penuh dengan politik berlabel topeng.