Begini Kronologi Status Kepemilikan Lahan Pesantren Markaz Syariah

Jakarta, law-justice.co - Kuasa Hukum Front Pembela Islam (FPI), Ichwan Tuankotta tak menampik jika lahan Markaz Syariah (MS) memang berasal dari HGU PTPN VIII.

Meski begitu kata dia, pihak PTPN yang melepaskan lahan itu pada masyarakat sejak puluhan tahun lalu, dinilainya mengubah kepemilikan lahan menjadi hak petani.

Baca juga : Indonesia Kalah dari Uzbekistan 0-2, Pertandingan Penuh Drama

"Sehingga, Habib (Rizieq Shihab) membeli lahan itu dari petani,’’ ujarnya seperti melansir republika.co.id, Kamis 24 Desember 2020.

Dia menjelaskan, jauh sebelum berdirinya Pesantren Markaz Syariah, lahan itu memang terbengkalai dan dikelola oleh masyarakat sekitar.

Baca juga : Gol Bunuh Diri Arhan, Indonesia Tertinggal 0-2

Hingga akhirnya, HRS dan FPI, dia sebut, yang melanjutkan mengelola lahan itu pada 2013 untuk mendirikan pesantren, dan membeli lahan yang disebut hak garap tanah.

Ketika ditanya bukti pembelian lahan pada warga sekitar, dia membenarkan adanya.

Baca juga : Ini Susunan Pemain Indonesia vs Uzbekistan: Sananta Gantikan Struick

Bukti itu, kata dia, akan dibuka beserta bukti pendukung lainnya untuk membalas surat somasi dari PTPN VIII.

"Untuk bukti pembelian ada," ujarnya.

Hal serupa mengenai kronologi lahan sengketa itu juga sempat ditegaskan oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) setelah tiba di Indonesia beberapa waktu lalu.

Dalam penjelasannya saat mengunjungi pesantren itu, HRS tak menampik ada pihak yang ingin menggusur lahan pesantren yang dibelinya menggunakan dana pribadi, keluarga, sahabat, dan umat.

Menurutnya, sertifikat HGU di lahan itu memang milik PTPN. Namun, dalam 30 tahun lebih, lahan itu, dia sebut, tidak dirawat oleh pihak terkait dan malah dikelola masyarakat selama puluhan tahun untuk bertani.

"Dan ini Hak Guna Usaha (HGU), bukan hak milik," ucapnya.

Dikatakannya, dalam UU Agraria, jika satu lahan kosong dan terlantar, dan digarap oleh masyarakat selama 20 tahun, maka, masyarakat berhak mendapat sertifikat. Sehingga, lahan itu ia tegaskan bukan rampasan.

Menjelang 2013 saat ada rencana pembangunan pesantren, para penggarap lahan, kata HRS, datang berbondong-bondong ingin menjual lahan. Hal itu dilakukan, karena ada dukungan untuk membangun pesantren.

Pada saat itu, pemilik lahan yang menggarap lokasi itu, membawa surat hak garap dan ditandatangani oleh RT/RW dan lurah. Sehingga, lahan itu, ia klaim, ada surat.

"Itu artinya, saya beli over garapnya. Saya tidak beli SHM, itu bukan hak milik saya. Dan tidak ada yang punya SHM di sini. Hanya HGU dengan masa berlaku 20 tahun," jelasnya.

Semua surat jual beli hak garap saat transaksi terjadi, kata dia, masih ada. Bahkan, bukti foto serah terima uang juga masih ada.

Tak hanya itu, surat setelah terjadinya jual- beli juga dilaporkan pihaknya ke camat serta bupati saat itu, Rahmat Yasin. Lebih jauh, dirinya juga melaporkannya ke Gubernur Jawa Barat saat itu, yang kemudian menghasilkan bukti sah rekomendasi.

"Gubernur bikin rekomendasi. Sekali lagi, HGU memang milik PTPN, masyarakat tidak merampas, tapi menggarap," ungkapnya.

HRS menjelaskan, dana pembelian lahan juga berasal dari dirinya, keluarga, kerabat, sahabat, dan umat. Sehingga, lahan itu diputuskan bersama untuk wakaf keperluan umat.

"Tidak ada lahan pribadi di sini," ucapnya.

HRS menegaskan, ke depan, jika ada yang ingin mengambil lahan itu, pihak FPI dan MS akan mempertahankannya. Mengingat lahan itu merupakan wakaf umat.

"Tetapi, kalau pemerintah mau ambil lahan ini, silahkan ambil. Tapi tolong, kembalikan semua uang milik umat untuk membangun pesantren di lahan lain. Termasuk, lahan yang telah digarap rakyat," ucapnya.

Fakta itu ia sebut penting disampaikan, mengingat pada 2017 PTPN sempat didatangi oleh oknum dari Polda. Dalam kunjungan oknum itu, PTPN dijelaskannya, diminta untuk membuat laporan seolah MS merupakan lahan rampasan.

"Alhamdulillah PTPN tidak mau (saat itu), dan mereka juga menghormati kami," katanya.

Tak berhenti di sana, pihak kepolisian, ia sebut, meminta laporan kepada warga sekitar, jika MS merupakan lahan rampasan. Tetapi, saat ada panggilan, warga menyebut salah satu saksi yang membuat laporan itu adalah mafia tanah, dan bukan HRS yang merampas tanah tersebut.

Laporan kepemilikan lahan ketiga, diklaimnya muncul sebelum dirinya pulang ke Indonesia. Dirinya mengaku, akan menyerahkan lahan dan gedung MS, asal ada ganti rugi dan hitungan pembangunan pesantren itu.

Hingga akhirnya baru-baru ini, pihak PTPN VIII membenarkan adanya surat somasi untuk lahan MS yang beredar di media sosial. Surat tersebut, menurut PTPN, dilayangkan terhadap seluruh okupan di wilayah perkebunan Gunung Mas, Puncak, Kabupaten Bogor. Salah satunya adalah lahan milik Markaz Syariah milik pimpinan FPI.

Dalam surat somasi yang tersebar itu, PTPN VIII menegaskan, hal yang dilakukan Markaz Syariah dengan menempati lahan HGU PTPN adalah tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak. Termasuk, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu No. 51 Tahun 1960 dan atau Pasal 480 KUHP.