Indosterling Tak Terdaftar, OJK: Investasi Itu Harus Masuk Akal

Jakarta, law-justice.co - Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sekar Putih Djarot menegaskan PT Indosterling Optima Investa (IOI), salah satu entitas di bawah Grup Indosterling ternyata tidak memiliki izin usaha dan terdaftar sebagai lembaga keuangan yang boleh mengelola dana nasabah di OJK.

Hal ini ditegaskan Sekar di tengah merebaknya kasus gagal bayar PT IOI senilai Rp 1,9 triliun yang diduga dari produk Indosterling High Yield Promissory Notes (HYPN). Produk investasi tersebut menjanjikan imbal hasil atau return investasi 9% hingga 12% setiap tahun.

Baca juga : Ada 3 Bank Bangkrut Bulan April dari Total 12 yang Tutup Tahun ini

"PT IOI tidak terdaftar/berizin OJK, penanganannya melalui Satgas Waspada Investasi. Masyarakat untuk waspada agar terhindari dari modus penipuan investasi khususnya di pasar modal," kata Sekar, saat dilansir dari CNBC Indonesia, Senin (16/11/2020).

Sekar mengingatkan agar nasabah mempertimbangkan lagi pilihan investasinya dengan lebih berhati-hati, terlebih jika menawarkan imbal hasil yang di luar kewajaran.

Baca juga : OJK Blokir 5.000 Rekening Buntut Judi Online

"Perlu diingat, kuncinya adalah logis dan legal, logis dinilai dari tawaran imbal hasil investasi, kalau tidak masuk akal maka berhati hati, dan legal harus dicek izin usaha dari OJK," imbuhnya.

Kasus gagal bayar PT IOI, perusahaan yang dibangun oleh Sean William Hanley ini bermula setelah adanya laporan dari banyaknya nasabah yang mulai dirugikan.

Baca juga : PT Indika Energy Tbk Melaporkan ke BEI Akan Ada Tender Surat Utang

Menurut kuasa hukum nasabah IOI, Andreas dari Global Eternity Law Firm, PT IOI menghimpun dana sejak 2018/2019 dengan menjual produk High Yield Promissory Note (HYPN) dengan bunga mulai 9%-12%.

Namun, sejak April 2020 mulai terjadi gagal bayar. Para nasabah juga baru mengetahui bahwa produk HYPN tersebut tidak memiliki ijin menghimpun dana dari OJK maupun Bank Indonesia.

"Padahal di dalam perjanjiannya pada pasal 6 huruf e dikatakan, mereka memiliki segala jenis ijin yang diperlukan termasuk dari lembaga keuangan," terang Andreas, kepada CNBC Indonesia, Senin (16/11/2020).

Dengan dasar tersebut, sebanyak 58 nasabah dengan nilai kerugian mencapai Rp 95 miliar melapor ke Bareskrim dengan nomor laporan LP 0364/VII/2020/Bareskrim pada 6 Juli 2020.

Ada 3 pihak yang dilaporkan yakni PT IOI, SWH (Sean William Hanley) selaku direktur dan JBP (Juli Berliana Posman) selaku komisaris. Klien Andreas memilih menempuh jalur pidana ketimbang PKPU di Pengadilan karena, PKPU menawarkan pencairan selama 4-7 tahun ini, hal inilah yang kemudian ditolak oleh klien.

SWH kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 30 September 2020 karena diduga melanggar pasal 46 mengenai Undang-undang Perbankan jo pasal 3,4,5 mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.

Andreas menuturkan, dana nasabah yang disimpan di PT IOI juga beragam, mulai dari Rp 250 juta sampai Rp 11 miliar per orang.

"Para nasabah mempertanyakan kenapa beum ditahan? Hingga Jumat kemarin para nasabah datang lagi ke Bareskrim mendatangi Irwasum dan Propam untuk meminta perlindungan hukum," kata Andreas.

Ada tiga permintaan nasabah dalam laporan tersebut, yakni Gelar Perkara Khusus kenapa tersangka tidak ditahan, kedua penyitaan terhadap aset tersangka dan pencekalan keimigrasian.

Kuasa hukum William Henley, Hardodi dari HD Law Firm memang membenarkan kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri Cq Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus pada 30 September 2020 lalu.

Informasi ini juga disampaikan di keterbukaan informasi dengan Nomor: S-06953/BEI.PP1/11-2020. Hal ini mengingat William Henley adalah Komisaris dari PT Indosterling Technomedia Tbk (TECH), anak usaha dari PT Indosterling Sarana Investa. Saat ini, perkembangan proses hukum tersebut telah memasuki tahap penyidikan.

Namun, penetapan tersangka tersebut bukan berarti kliennya telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilaporkan oleh pelapor.

Sebab, menurutnya, dalam penegakan hukum di Indonesia, ada asas praduga tidak bersalah yang diatur dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf c dan di dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Adapun, upaya hukum yang saat ini sedang ditempuh tim kuasa hukum adalah menyelesaikan kewajiban melalui putusan homologasi kepada nasabah melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.174/PDT-SUS/PKPU/2020/PN.NIAGA.JKT.PST pada 2 Agustus 2020.

Selanjutnya, langkah lainnya ialah mengikuti proses hukum sesuai hukum acara pidana dan melakukan pendekatan dengan nasabah yang tidak terkait dengan putusan PKPU secara persuasif.

"Kami juga menyiapkan langkah hukum praperadilan," kata Hardodi.