UU Cipta Kerja dan Klaim Investasi yang Menjadi Alasan Pembuatannya

Jakarta, law-justice.co - Undang-undang Cipta Kerja mengalami banyak polemik dan penolakan dari berbagai kalangan akademisi, pengamat, pakar hukum, mahasiswa dan buruh. Hal ini terjadi karena banyaknya suatu keanehan baik dari tata cara pengusulan oleh Pemerintah maupun proses di legislasinya.

Alasan yang selalu dikemukakan oleh Eksekutif maupun Legislatif adalah perlu suatu alat singkronisasi peraturan dan perundang undangan untuk dapat mengundang investasi dari luar ke dalam Indonesia.

Baca juga : Ketika Bu Mega PDIP Bertanggung Jawab Penuh Untuk Hentikan Jokowi

Jika dilihat dari data dan fakta sebenarnya nilai investasi di Indonesia tidak terlalu banyak masalah. Pada jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono sudah ada yang namanya Perijinan Satu Pintu atau satu atap di setiap Provinsi maupun Kabupaten. Hal ini dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang pernah mencapai 6,5%.

Pemerintahan Jokowi di era sebelum corona dapat dikatakan nilai investasi di Indonesia relatif bertumbuh. Hal ini terlihat dari pertumbuhan investasi yang tinggi melebihi Tiongkok, Thailand, Brazil, Afrika Selatan. Nilai pertumbuhan investasi kita mendekati India walau dibawah Vietnam, dan jika melihat nilai investasi dari GDP dapat dikatakan investasi kita tertinggi dalam sejarah.

Baca juga : Sebagai Perumus, Tom Lembong Minta Revisi UU Omnibus Law Ciptaker

Hal ini dibuktikan dengan nilai 34% dari GDP, malah Indonesia tertinggi di Asia. Jadi sebenarnya Indonesia tidak mempunyai masalah investasi yang subtantif. Permasalahannya kenapa kok investasi bagus tapi pendapatan kita sangat rendah? Hal ini disebut juga Low ICOR atau disebut Ratio Incremental Capital Output Ratio rendah.

Salah satu investasi yang sangat deras masuk ke Indonesia adalah dari China, yang kerap mendapat protes dari rakyat di daerah karena investasi itu masuk berikut dengan buruh kasar dari China. Ironisnya aparat yang sudah masuk angin membiarkan saja buruh kasar ini masuk Indonesia walau tidak memiliki dokumen kerja yang jelas. 

Baca juga : Sesama Rekan Kerja Kepergok Selingkuh, Bolehkah Dipecat?

Banyak investasi yang dilakukan tidak melalui kajian-kajian dan tahapan yang harusnya dilewati, seperti feasibility study dan pendekatan kebutuhan  Hal ini terlihat dari dibangunnya Bandara-bandara non feasibel seperti Kertajati yang kosong, Pelabuhan yang tidak efisien seperti Pelabuhan Kuala Tanjung.

Jadi sebenarnya jika Pemerintah mengatakan bahwa Undang-undang Cipta Kerja ini mampu untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan menambah investasi itu sangat salah besar, permasalahan sebenarnya dilihat dari fakta dan lapangan adalah soal;
        1.      Besarnya Korupsi di tiap level dan bagian,
        2.      Birokrasi yang tidak efisien dan mengada-ada
        3.      Tidak adanya Jaminan Penyelenggara Investasi dari sisi keamanan investasi berupa pungutan, retribusi, keamanan lingkungan, dll
        4.      Egosentris Kementerian, Daerah dan Lembaga Negara.
        5.      Tidak adanya Lembaga Lintas Sektoral Terkait yang mampu menjembatani kesulitan Investor.

Jadi jika dilihat sebenarnya permasalahan tersebut bukan dari sisi Peraturan atau Perundang-undangan. Hal ini sebenarnya hanya perlu suatu kesungguhan Pemerintah untuk melakukan suatu Kajian yang baik, memanajerialkan birokrasi, penegakan hukum dan perapihan aturan yang lebih efektif.

Terobosan Pemerintah sebelumnya dengan perijinan satu atap atau satu pintu ini sudah sangat baik, hanya diperlukan ketegasan dalam menjalankan setiap fungsinya dimana punishment dan reward yang harus diberlakukan dengan tegas.

Program pemerintah yang tidak konsisten seperti Toll Laut, tidak lagi terdengar, seandainya gagal apa yang menyebakannya? Bagaimana perbaikannya? Hal itu yang harusnya dilakukan, bukan seolah-olah terlupakan dan menjadi proyek mangkrak.

Hal ini sangat disayangkan karena disana Pemerintah sudah melakukan invetasi besar. Dari sisi Pengusaha sebenarnya sangat terpukul dan hampir tidak dapat bergerak. Hal ini dikarenakan semua Proyek Pemerintah dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara.

Pemerintah lupa bahwa tikus-tikus di BUMN sendiri belum dibersihkan ditambah pengawasannya oleh para komisaris tersebut tidak kompeten karena diisi oleh para relawan dan orang yang punya sumbangsih atas pilpres. Hal ini yang merusak BUMN kita menjadi banyak rugi, walaupun banyak pekerjaan yang dilakukan dan difasilitasi oleh negara.

Jadi dapat dikatakan sebenarnya kebutuhan saat ini bukan adanya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, tapi bagaimana Pemerintah Jokowi ini mampu dan tegas didalam pelaksanaannya. Tidak lagi mimpi sangat tinggi namun dapat menjalankan strategi birokrasi yang efektif, dan efisien, mampu menjembatani permasalahan-permasalahan lintas sektoral yang seharusnya menjadi tugas Kantor Staff Presiden. Seperti dulu ada UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) yang selalu menjadi jembatan jika ada permasalahan lintas sektoral dan lintas kebijakan.


Jika Omnibus Law ini adalah jawaban terhadap kemudahan investasi, terbukanya lapangan pekerjaan, meningkatnya kesejahteraan dan kemudahan dalam pelaksanaan kegiatan dapat dikatakan tidak mejadi jaminan, karena tidak ada satu indikator pun yang dapat menjelaskan secara pasti dari mana angka peningkatan investasi itu ada.

Selain itu tidak ada satupun kajian akademis yang menunjukan dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja ini akan meningkatkan Investasi dan Kesejahteraan Rakyat, jadi jika Undang-undang ini nanti dilakukan uji materi di MK, Pihak Pemerintah harus mampu menyampaikan Kajian Akademis serta kepastian peningkatan yang bukan asumsi penilaian atau klaim semata.