Media Australia Sebut Indonesia Siaga Tinggi Cegah China Soal Laut Natuna

[INTRO]

Soal konflik Laut China Selatan, media asal Australia, News.com.au, baru-baru ini menyoroti Indonesia yang disebutnya mulai terseret dalam konflik. Dilansir Intisari.id, Selasa, (22/9/2020) News.com.au mengatakan, Indonesia dalam kondisi siaga tinggi setelah China menyengolnya dengan lakukan aksi provokasi.

Laporan yang dibuat pada Minggu (20/9/20), menyoroti tindakan kapal China yang menerobos masuk ke wilayah perairan Indonesia, sekitar 1.500 km dari daratan China.

Baca juga : Reuni UII, Ketua MA Baca Puisi

China bersikeras bahwa daerah tersebut adalah milik mereka, membuat Indonesia geram dan memobilisasi lebih banyak patroli untuk melakukan pengusiran.

Selama ini, Natuna memang menjadi kawasan yang disengketakan oleh Indonesia dan China, sejak Januari lalu.

Baca juga : Permainan Mengagumkan, Timnas Indonesia U-23 Dapat Bonus Rp23 Miliar

Awal pekan lalu, China Coast Guard 5201 juga memasuki Zona Ekonomi Eklsusif (ZEE) sepanjang 320 km Indonesia.

China melakukan klaim atas wilayah laut tersebut berdasarkan sembilan garis putus-putus. Namun, Indonesia mengatakan teritorial China bersifat sepihak, tanpa dasar hukum yang jelas.

Baca juga : Bobby Nasution Resmi Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Medan

Pengadilan Arbritase Permanen pada tahun 2016, menemukan Hukum Laut PBB (UNCLOS), klaim sembilan garis putus-putus  China tidak valid.

News.com.au juga melaporkan, kantor berita yang dikendalikan oleh Partai Komunis China, Global Times menuduh Indonesia melakukan tipu muslihat kecil di Laut China Selatan.

Semua berawal sejak awal tahun ini, kapal penangkap ikan Tiongkok terus melakukan aksi penyelonongan berulang kali memasuki wilayah Vietnam dan Indonesia, di Laut Natuna bagian utara.

Jakarta menanggapinya dengan mengirim delapan kapal patroli, dan melacaknya dengan jet tempur F-16, serta mengatur armada penangkap ikannya untuk melakukan pengawasan.

Pada Mei Indonesia mengirim catatan resmi pengaduan ke Sekretaris Jenderal PBB, yang menyatakan Beijing tidak menghormati keputusan pengadilan.

China bereaksi, menyebut penandatanganan perjanjian UNCLOS tidak berlaku lagi dan keputusan itu bersifat ilegal.

Global Times, mengatakan, "Proposal sengketa laut harus diselesaikan sesuai dengan  UNCLOS dianggap tidak masuk akal."

Kementerian Luar Negeri China, mengatakan mereka `tidak` mengklaim pulau Natuna, tetapi hanya mengklaim tempat penangkap ikan di utara dan timur Natuna.

Indonesia bersikeras bahwa wilayah itu juga masih bagian miliknya di bawah ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif UNCLOS berdasarkan kepemilikan Natuna.

Di tengah kebuntuan tersebut, Global Times Beijing secara tajam merujuk pada kemampuan Indonesia yang terbatas untuk mempertahankan wilayahnya.

"Pemotongan anggaran pertahanan telah melemahkan kemampuan militer negara di Laut Cina Selatan termasuk Kepulauan Natuna," bunyi artikel itu.

"Ini akan mengurangi jumlah dan frekuensi kapal pesiar angkatan laut Indonesia, patroli, dan latihan militer. Sistem militer dan polisi Indonesia khawatir bahwa negara akan kehilangan kekuatan sebelumnya untuk melindungi hak-haknya di laut."

Kementerian luar negeri Beijing memperjelas niatnya pada bulan Januari, "Apakah pihak Indonesia menerimanya atau tidak, tidak ada yang akan mengubah fakta bahwa China memiliki hak dan kepentingan atas perairan yang relevan."

Minggu lalu, China Coast Guard 5201 juga memasuki Zona Ekonomi Eklsusif (ZEE) sepanjang 320 km Indonesia.

China Coast Guard bukanlah badan penegakan polisi sipil, sebaliknya, itu dikendalikan oleh Angkatan Laut PLA.

Dan analis internasional mengatakan armada penangkapan ikan China juga bukan perusahaan sipil.

Ini adalah milisi yang dikendalikan Negara yang dikoordinasikan oleh komisaris politik dan dilatih untuk beroperasi bersama dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).

"Di banyak lokasi, Angkatan Laut CCG/Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) mencoba menormalkan keberadaan kapal mereka dan kemudian menerapkan hak penangkapan ikan dan sembilan garis putus-putus," kata seorang analis angkatan laut kepada Asia Times.

Jakarta, pada bagiannya, menolak bahkan untuk menerima perdebatan, bersikeras bahwa pendiriannya sepenuhnya ditentukan oleh hukum internasional.

Indonesia juga berulang kali meminta China dan Amerika Serikat untuk berhenti mencoba memihak dalam perselisihan mereka.

"Perkembangan terbaru ini hanya menyoroti masalah terus-menerus yang dihadapi Indonesia dengan China yang menolak untuk mengalah pada klaim irredentistnya di Laut China Selatan," kata peneliti Institute of Defense and Strategic Studies yang berbasis di Singapura, Collin Koh.

"Daripada melihat China lebih agresif, mungkin lebih akurat untuk menggambarkan China sebagai `masih agresif` meskipun ada kebuntuan terakhir."