Tolak Reklamasi Makassar, 3 Nelayan Ditangkap & Kapalnya Dikaramkan

Jakarta, law-justice.co - Nelayan pejuang lingkungan penolak tambang pasir untuk proyek reklamasi Makassar New Port, Sulawesi Selatan, yang didukung oleh kepolisian dikabarkan dikriminalisasi.

Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) mengatakan tiga nelayan ditangkap polisi dalam aksi terbaru guna memprotes pengerukan pasir pada Minggu (23/8).

"Minggu, 23 Agustus 2020, tiga nelayan ditangkap polisi dari polairud Polda Sulawesi Selatan dan kapal patroli dari Mabes Polri saat melakukan aktivitas mencari ikan di wilayah tangkapnya," ujar Ahad, perwakilan dari ASP, seperti melansir cnnindonesia.com, Senin 24 Agustus 2020.

Mulanya, Faisal, salah satu nelayan yang ditangkap, hendak memancing sekitar pukul 03.00 WITA, bersama nelayan lainnya. Pada 10.00 WITA, kapal penambang pasir milik PT Boskalis melakukan pengerukan pasir di sekitar lokasi pemancingan.

Kapal tersebut kemudian semakin mendekat ke lokasi nelayan tengah memancing. Namun, nelayan masih bertahan di lokasi mereka hingga berhadapan langsung dengan kapal tambang pasir.

Alhasil, alat tangkap berupa pancing milik nelayan terhisap kapal tambang pasir. Nelayan kemudian melakukan aksi protes dan menuntut kapal penambang tidak melakukan pengerukan pasir di lokasi pancing.

Aparat dari Dit Polairud Polda Sulsel dan kapal patroli Mabes Polri yang mengawal penambangan pasir meminta nelayan bubar dan menghentikan aksi. Mereka mendatangi lokasi aksi dengan satu kapal perang dan empat speedboat sekitar pukul 14.00 WITA.

"Saat nelayan melakukan protes, terjadi adu mulut dengan anggota kepolisian dari Polair Polda Sulsel. Salah satu nelayan didatangi dan diancam diborgol namun menolak," cerita Ahmad.

Beberapa peluru pun diklaim sempat dilepaskan ketika aparat memaksa ingin menangkap nelayan namun mendapatkan penolakan.

"Dua perahu cadik (lepa-Lepa) nelayan ditenggelamkan dan satunya lagi dirusak oleh Pihak Dit Polairud Polda Sulsel," menurut Ahmad.

Empat nelayan kemudian ditangkap aparat. Satu orang nelayan berhasil lompat dari perahu polisi dan berenang menuju perahu nelayan lain. Ketiga nelayan tersebut langsung dibawa ke kantor Dit Polairud Polda Sulsel.

Ketika pihak keluarga hendak menemui nelayan yang ditangkap bersama tim penasihat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, ASP mengatakan, polisi tidak mengizinkan.

"Hal ini tentu merupakan bentuk tindakan menghalang-halangi hak untuk mendapatkan bantuan hukum yang seharusnya menjadi hak dari ketiga nelayan yang ditangkap," tambah mereka.

Untuk itu, ASP menuntut aparat kepolisian berhenti mengkriminalisasi nelayan dan membebaskan mereka. Dit Polairud Polda Sulsel juga diminta bertanggung jawab atas penenggelaman tiga kapal milik nelayan.

"Penangkapan nelayan yang menolak penambangan pasir di wilayah tangkap nelayan sangat berlebihan, apalagi penambangan tersebut dikawal oleh polisi, bahkan didatangkan dari Mabes Polri. Ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap nelayan," tuturnya.

Sobek Amplop

Sebelumnya, kasus kriminalisasi terhadap penolak penambangan pasir juga terjadi terhadap salah satu nelayan, Manre, yang ditahan dengan sangkaan tindak pidana perusakan mata uang yang pasal 35 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan penangkapan ini bermula ketika Menre menerima amplop dari perusahaan penambang pasir.

Ternyata didalam amplop tersebut terdapat uang. Namun ia merobek amplop tersebut sebagai simbol perlawanan terhadap penambang pasir.

"Kami menilai proses hukum dan penahanan terhadap Pak Manre tidak tepat dan berlebihan, merujuk rumusan pasal 35 ayat (1) UU Mata Uang dan kasus yang berhubungan dengan lingkungan, maka harusnya polisi melakukan penyelidikan lebih dalam kasus ini," kata Manre, melalui keterangan tertulis.

ICJR menjelaskan pasal tersebut mengharuskan ada unsur kesengajaan dalam aksi yang dilakukan tersangka. Dalam hal ini, aparat harus membuktikan unsur kesengajaan dalam aksi Menre.

Dalam hal ini, Menre mengaku tidak tahu bahwa di dalam amplop yang diterima berisi uang. Ia juga tidak bertujuan merendahkan kehormatan rupiah dengan merobek amplop tersebut.

Erasmus menilai aksi yang dilakukan nelayan seharusnya dilindungi hak kebebasan berpendapat dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal 66 UU tersebut mengatakan bahwa orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana atau digugat secara perdata.

Hal ini pun, katanya, semakin diperkuat dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/5K/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (SK KMA 36/2013).

"Kami menilai bahwa pihak Kepolisian tidak peka dan hati-hati dalam menggunakan upaya paksa penahanan di masa pandemic saat ini, hal ini harus menjadi atensi langsung dari Kepala Kepolisian RI dan Presiden Joko Widodo," lanjutnya.

Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan, Kombes Pol Ibrahim Tompo sudah dicoba dihubungi untuk mengonfirmasi terkait kasus-kasus di atas namun belum mendapat jawaban.

Diketahui, Pemerintah menetapkan Makassar New Port sebagai salah satu proyek strategis nasional untuk mengembangkan Indonesia bagian timur. Pembangunannya dilakukan dengan reklamasi. Dalam prosesnya, perlu ada penggalian pasir.

Walhi Sulsel izin tambang pasir itu merambah daerah-daerah tangkapan ikan nelayan di perairan Copong Lompo, Bone Ma`lonjo, Ponto-pontoang, Lambe-lambere, yang masuk kawasan Pulau Sangkarrang dan Pulau Kodingareng. Para nelayan pun melakukan perlawanan.