Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menanti Ganjaran Apa Bagi Deklarator "KAMI" di Bawah Rezim Jokowi

Jakarta, law-justice.co - Sekelompok tokoh masyarakat mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di kawasan Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa, (18/8/2020). Dalam acara tersebut mereka mendeklarasikan 10 jati diri yang dibacakan oleh Ahmad Yani yang didapuk sebagai Ketua Komite KAMI.

"Saya akan memulai membacakan jati diri Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. Dengan nama Tuhan yang Maha Esa" ujar mantan politikus PPP itu. Acara deklarasi ini dihadiri oleh mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin dan sejumlah tokoh lainnya diantaranya Gatot Nurmantyo, Rochmad Wahab, Meutia Farida Hatta, dan MS Kaban. Hadir pula Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, dan Ichsanuddin Noorsy.

Baca juga : Tokoh Din Syamsuddin Bantah Ambruk di Lokasi Demo: Saya Sehat Walafiat

Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya oleh Din Syamsudin bahwa KAMI adalah gerakan moral seluruh rakyat Indonesia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sosial.

"Sebagai gerakan moral, mengandung arti kita bergerak berdasarkan nilai-nilai moral dan kebenaran yang kita yakini, berdasarkan keadilan dan menegakkan kejujuran, menegakkan kemaslahatan itu namanya nilai-nilai moral," kata Din dalam acara deklarasi KAMI, Selasa (18/8/2020).

Baca juga : Projo Jagokan Ridwan Kamil dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo

Inisiator KAMI, Din Syamsuddin mengatakan, deklarasi ini bukan saja dilakukan di Jakarta, namun beberapa kota besar di Indonesia yang juga kini telah menyatakan bergabung. Bahkan bukan saja di Indonesia, beberapa warga di luar negeri juga telah bergabung.

"Alhamdulillah, sudah terbentuk KAMI di berbagai daerah, bahkan di luar negeri. Yang pada hari ini juga mereka melakukan deklarasi bersama, di Solo, di Surabya, di Jogjakarta, di Medan, di Semarang di Bandung, Palembang, Makassar, dan bahkan di luar negeri, baik di Amerika Serikat, di Australia, di Qatar, di Swiss dan beberapa negara lainya. Mereka telah menyatakan diri bergabung dengan KAMI," ujar Din Syamsuddin di lokasi deklarasi.

Baca juga : Habib Rizieq Shihab dan Din Syamsudin Ajukan Amicus Curiae

Lazimnya acara acara deklarasi yang mengkritisi penguasa, acara deklarasi KAMI itupun memunculkan tanggapan pro dan kontra. Selain menyulut aksi pro dan kontra, para pelaku deklarasi mulai mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya.

Perlakuan-perlakuan itu mengingatkan kita pada nasib para oposan di periode pemerintah sebelumnya. Seperti apa reaksi pro dan kontra yang terjadi dalam menyikapi gerakan KAMI yang dipelopori oleh tokoh tokoh bangsa ?, Bagaimana nasib para oposan (berkaca pada peristiwa peristiwa sebelumnya ) ? Apakah peristiwa itu kembali berulang ? Bagaimana sebaiknya menyikapinya ?

Menuai Pro Kontra

Aksi deklarasi KAMI mendapatkan dukungan dari sejumlah ormas di Indonesia dan juga elemen elemen masyarakat lainnya. Dukungan dari ormas antara lain berasal FPI (Front Pembela Islam). Sekretaris Umum FPI Munarman mengatakan bahwa pihaknya mendukung penuh deklarasi gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/8). Pasalnya, menurut Munarman, KAMI memiliki pemikiran yang sama seperti yang selama ini diperjuangkan FPI dan Habib Rizieq Shihab.

"Menurut saya, itu bagus-bagus saja (deklarasi KAMI)," kata Munarman, Selasa seperti dikutip jpnn.com (18/8). Sementara itu, salah satu kuasa hukum Habib Rizieq Damai Hari Lubis mengaku hadir langsung di lokasi deklarasi tersebut. "Kami dari anggota PA 212 sangat mendukung KAMI, dan di antara yang hadir tentunya saya salah satunya selaku anggota mujahid 212 dan mewakili barisan pengikut Habib Rizieq," ujar Damai.

Dukungan juga datang dari organisasi sayap Partai Demokrat Bintang Muda Indonesia (BMI). Ketua Umum BMI, Farkhan Evendi, menilai hal semacam ini justru bagus bagi iklim demokrasi di Indonesia.

"Sudah seharusnya pemerintah menyambut baik hal semacam ini, agar pemerintahan tetap berjalan di jalur yang lurus karena mendapatkan koreksi dari publik secara subtansial," ujar Farkhan.

Lebih lanjut Farkhan menyebut bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari deklarasi KAMI. Namun demikian, menurut Farkhan, lebih bagus lagi kalau para tokoh dan elemen organisasi yang tergabung di dalam KAMI mampu membawa suaranya lebih konstruktif lagi yaitu melalui partai politik.

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan, memang seharusnya ada semacam sungai yang menjadi tempat aliran aspirasi bagi pemerintah dan KAMI adalah sungai itu. Tetapi lebih bagus lagi kalau suara yang ada itu ditampung melalui partai politik," terang Farkhan seperti dikutip republika,co.id (18/8/2020).

Dukungan deklarasi KAMI juga disuarakan oleh netizen di media sosial.Netizen menyuarakan dukungan dengan menyertakan hastag #BergerakBersamaKAMI.

"Siapa yang peduli Bangsa ini, siapa yang ingin anak cucu merasakan indahnya Indonesia di depan mari #BergerakBersamaKAMI," cuit akun @yayikemal.https://twitter.com/yayikemal/status/1295569683320459264. "Kita siap dukung demi kebaikan bangsa yg sedang merosot #BergerakBersamaKAMI," cuit akun @jibuthilal.

"Para pelopor KAMI bersatu demi mnju Indonesia menjd lebih baik lagi, biarkan yg tdk setuju, biarkan yg tdk sepemikiran, semua mempunyai hak dan kebebasan dlm menentukan sikap. Silahkan yg ingin berpartisipasi dlm mndkung gerakan KAMI," cuit akun @Z4_P3jalan. https://twitter.com/Z4_P3jalan/status/1295567451732578309

Meskipun banyak yang mendukung namun tak sedikit juga yang menolak bahkan mengecamnya. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menyindir deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Gerakan yang dimotori Din Syamsuddin, Rocky Gerung, dan kawan-kawan itu dianggap dendam lama Pilpres 2019 yang tak tuntas.

"Deklarasi KAMI oleh tokoh-tokoh yang notabene sebenarnya sejak awal sudah berbeda dengan Pemerintahan Jokowi (Joko Widodo), tepatnya pada saat pilpres, menunjukkan bahwa beliau-beliau itu tidak siap kalah dan tidak siap menang," kata Karding di Jakarta, Selasa (18/8/2020) seperti dikutip iNews.id.

Sementara itu Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily menilai deklarasi KAMI sebagai manuver sebagian elite politik yang mencari panggung di tengah pandemi. Dia menyayangkan para elite tersebut memanfaatkan pandemi sebagai panggung, alih-alih menyebarkan energi positif untuk rakyat. Apalagi dilakukan dengan berkumpul di tempat terbuka di masa pandemi.

"Malu kepada rakyat. Rakyat saja saat ini yang biasanya merayakan kemeriahan HUT Kemerdekaan RI dengan berkumpul dan mengadakan berbagai kegiatan, mereka menahan diri untuk tidak menggelarnya karena mereka sangat menyadari bahwa saat ini dihindari untuk mengadakan kegiatan yang dapat menimbulkan kerumunan yang berakibat pada penularan COVID-19," ujar Ace sebagaimana dikutip news.detik.com, (18/8/2020).

Kritik pedas juga disampaikan oleh Denny Siregar penggiat media sosial yang sekaligus pendukung pemerintahan Jokowi. Denny menyindir dengan menyebut cari perhatian dan usia para tokoh yang membentuk gerakan tersebut.

"Udah tua gak usah pake deklarasian di tempat panas deh. Entar mau caper, malah stroke. Ngerepotin orang aja," sentil Denny Siregar melalui akun Twitternya, (18/8/2020).

Pada hari yang sama dilokasi acara muncul juga penolakan terhadap deklarasi KAMI. Puluhan massa tandingan menggelar aksi unjuk rasa menolak acara deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (18/8) siang.

Mereka menilai Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia merupakan sebuah perkumpulan yang akan mengganggu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Jangan tulari rakyat dengan virus kebencian pada pemerintah," demikian tulisan yang ada di poster yang dibawa massa aksi tandingan seperti dikutip law-justice.co, (18/8/2020).

Nasib Kaum Oposan

Dalam setiap masa pemerintahan sejak jaman orde lama, orde baru bahkan orde reformasi dan orde pemerintahan yang dipilih langsung, yang namanya kaum oposan yang suka berseberangan dengan sikap pemerintahan yang berkuasa akan selalu ada. Hanya kadarnya saja yang berbeda beda tergantung pada situasi politik yang mengiringinya. Semakin otoriter suatu pemerintahan biasanya akan semakin kencang pula suara suara diluar pemerintahan yang menyikapinya.

Pada masa orde lama di awal kemerdekaan, ketika Presiden Sukarno (1945-1967) memimpin, peran oposisi dalam kontestasi politik Indonesia sudah nampak. Kala itu, Partai Masyumi yang dipimpin oleh M Natsir memposisikan dirinya sebagai oposisi pemerintah.

Hal ini terjadi karena pada masa itu, pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh sosialis, seperti Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin. Sedangkan Soekarno sendiri juga punya kecenderungan pada haluan politik sosialis-kiri. Beberapa kebijakan yang menjadi sumber perlawanan oposisi adalah sejumlah perjanjian dengan Belanda yang dirasa justru merugikan Indonesia.

Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), peran oposisi meredup karena dimandulkan. Pasalnya partai oposisi seperti Masyumi dan Partai Murba bikinan Tan Malaka dibubarkan oleh Sukarno. Alhasil, Sukarno pada saat itu dikesankan sebagai rezim otoriter.

Selain oposisi di parlemen, banyak juga tokoh jaman Orde lama yang berseberangan dengan pemerintah dan berakhir di penjara. Nama nama tokoh itu diantaranya Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, Subadio Sastrosatomo, dan Mr Mohamad Roem, Mr Anak Agung Gde Agung, Mochtar Gozali, K.H.M. Isa Anshary, Imron Rosjadi, Hasan Sastraatmadja, Kiai Mukti, E.Z. Muttaqien, Mochtar Lubis, J. Princen, Sultan Hamid II, dan Sholeh Iskandar.

Ada juga nama nama terkenal seperti Buya Hamka, AM. Fatwa, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toerdan lain lainnya. Pada masa Orde Baru ternyata peran oposisi juga sama mandulnya dengan masa Orde Lama. Padahal, mulanya tidak sedikt kalangan kritis, mahasiswa, cendikiawan dan juga aktivis prodemokrasi yang menaruh harapan pada Soeharto. Namun, kala itu Soeharto justru mengontrol sejumlah kelompok kritis yang melawan.

Soeharto berhasil melanggengkan kepemimpinan melalui partai Golongan Rakyat (Golkar). Golkar selalu menjadi partai pemenang Pemilu. Pemerintah Soeharto juga kerap melakukan seleksi kepemimpinan di beberapa parpol. Salah satunya yang paling kontroversial ialah ketika Orde Baru mengintervensi Kongres PDI.

Orde Baru saat itu mendukung Soerjadi sebagai Ketum. Padahal saat itu, Megawati juga terpilih menjadi Ketum. Dualisme kepimimpinan ini akhirnya memicu tragedi penyerangan kantor PDI, yang dikenal sebagai peristiwa 27 Juli 1996.

Namun, kepemimpinan Soeharto berakhir juga setelah ia gagal mengatasi krisis ekonomi dan peristiwa kerusuhan tahun 1998. Lengsernya Soeharto ini juga tak terlepas dari para mahasiswa dan aktivis pro demokrasi, yang saat itu menjadi oposisi ekstra parlementer.

Selama masa pemerintahan Orba, mereka yang berseberangan dengan pemerintah akan berakhir di penjara. Kalau mau disebutkan banyak sekali tokoh yang masuk penjara ketika orba berkuasa mulai tokoh politik, aktifis, jurnalis, tokoh agama dan sebagainya. Oposisi diluar parlemen yang paling fenomenal adalah lahirnya petisi 50 dengan tokoh tokoh bangsa yang membidaninya.

Pada masa reformasi, ketika BJ Habibie (1998-1999) menggantikan Soeharto, peran partai oposisi juga belum nampak tegas lagi. Karena pada saat itu kondisi pemerintahan masa ada dalam masa transisi usai lengsernya Soeharto. Sedangkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1999-2001), oposisi juga tidak terlalu bermakna, mengingat seluruh potensi kekuatan politik nasional terserap dalam pemerintahan.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, seluruh partai besar dan menengah (PDIP, Partai Golkar, PAN, PKB, PPP, PBB, PKS, dan PKP) mendapatkan posisi dalam kabinet yang dipimpinnya bersama dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

DPR praktis berisi partai-partai yang mayoritas. Baru ketika Gus Dur kerap mengganti menteri-menterinya dengan orang dekatnya, barulah beberapa partai berdiri sebagai oposisi dan mencoba menggoyang kursi Gus Dur. Hasilnya, Gus Dur pun dicopot usai sidang istimewa MPR.

Saat pemerintah dipegang oleh Megawati peran oposisi kembali meredup. Karena pada saat itu partai-partai juga tidak secara tegas memposisikan dirinya sebagai oposisi. Meskipun, pemerintah Megawati juga kerap panen kritik.

Pada era ketika Pemilu memungkinkan Presien bisa dipilih langsung oleh rakyat, peran oposisi kembali terlihat. Yakni ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Saat itu SBY mengalahkan Megawati. Pada masa kepemimpinan periode pertama, SBY kerap menerima kritik dari partai yang secara tegas memilih menjadi oposisi, yakni PDIP yang dipimpin oleh Megawati.

Kebijakan pemerintahan SBY yang menaikkan tarif harga BBM dan Bantuan Langsung Tunai jadi bahan PDIP untuk mengkritik. Peran oposisi PDIP berlanjut ketika SBY kembali terpilih menjadi Presiden pada tahun 2009.

Era kepemimpinan berganti lagi. Suara partai oposisi menjadi semakin lantang ketika Jokowi yang diusung oleh PDIP menjadi Presiden tahun 2014. Saat itu Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo yang diusung oleh Gerindra. Bahkan kelompok oposisi ini membentuk koalisi yang menamakan dirinya sebagai Koalisi Merah Putih (KMP).

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra menjadi wakil partai koalisi yang paling lantang dan pedas kritiknya terhadap pemerintahan Jokowi. Dari mulai kritik soal kebijakan pangan, tarif listrik, hutang negara dan masih banyak lagi. Pada masa pemerintahan Jokowi, partai-partai oposisi tak pernah kehabisan amunisi untuk pemerintah.

Baik pada masa presiden masa reformasi maupun era presiden dipilih langsung oleh rakyat, karakter oposisi yang dimainkan oleh Parlemen masih belum optimal juga. Diluar itu muncul kaum oposan yang juga berbeda beda tampilannya dan hal itu sangat dipengaruhi oleh karakter pemimpin yang dijadikan lawan politiknya.

Diantara Presiden era reformasi dan era presiden yang dipilih langsung oleh rakyat tersebut, era presiden Habibie dan Gus Dur dianggap yang paling demokratis sehingga tidak banyak tokoh maupun rakyat biasa yang berakhir di penjara karena kritikan kritikannya.Pada hal pada masa masa presiden era reformasi dan era presiden dipilih langsung oleh rakyat cukup banyak kegiatan demonstrasi yang mengharah pada penghinaan terhadap kepala negara.

Meskipun perbuatan demonstran sebenarnya sudah dapat dinilai melanggar pasal penghinaan presiden, Habibie dan Gus Dur tak pernah mengadukan langsung dan meminta Pasal 134 KUHP diterapkan. Langkah aparat menerapkan pasal karet itu memang sangat tergantung pada karakter seorang pemimpin
Kiranya hanya pada masa Habibie dan Gus Dur, Pasal 134 KUHP tidak diterapkan. Pada masa presiden lain, banyak aktivis dijerat dan dipenjarakan dengan tuduhan menghina presiden.

Pada masa Presiden Megawati, Pimred Rakyat Merdeka Karim Paputungan divonis lima buan penjara karena dituduh menghina presiden. Supratman, juga dari Rakyat Merdeka, menghadapi tuntutan serupa.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah melaporkan Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif ke polisi karena tuduhan serupa. Belakangan Eggi Sudjana, seorang advokat, kena getah Pasal 134 KUHP gara-gara pernyataan bernada dugaan tentang seorang pengusaha memberi mobil Jaguar kepada Presiden. Seorang aktivis lain, Monang J Tambunan, dihukum enam bulan karena menghina Presiden SBY saat berdemo. Kasus Eggi adalah contoh betapa Pasal 134 KUHP bisa menjerat siapapun.

Pada akhirnya Pasal 134 KUHP itu memang kandas karena dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada Desember 2006 silam, Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal ini bertentangan dengan konstitusi. Pada saat yang sama, Mahkamah juga mencabut ‘nyawa’ Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUH Pidana karena dinilai menyebabkan ketidakpastian hukum.

Meskipun Pasal 134 KUHP telah dicabut namun bukan berarti agenda pengiriman kaum oposan ke penjara berakhir dengan sendirinya. Pada era presiden Jokowi justru cukup banyak kaum oposan yang berseberangan dengan pemerintahannya berakhir dipenjara.

Mereka pada umumnya di jerat dengan Pasal 45a ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) undang-undang 11/2008 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang 19/2016 tentang informasi dan transaksi elektronik dan/atau pasal 208 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Mereka yang ditangkap dan akhirnya dipenjara dengan pasal pasal IT antara lain Jamil Adil karena menghina Presiden dan Kapolri. Dia ditangkap pada 29 Desember 2016, pukul 08.30 WIB . atas tindakannya tersebut. JA sendiri merupakan warga Bantaeng, Jalan Kebon Baru, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara (Jakut).

Ropi Yatsman (36). Ropi ditangkap di Padang, Sumatera Barat, Senin 27 Februari 2017.Dia ditangkap karena diduga mengunggah dan menyebarkan sejumlah konten gambar hasil editan dan tulisan di media sosial bernada ujaran kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah, di antaranya Presiden Joko Widodo.

Nama nama lain yang ditangkap seperti Yulianus Paonganan pemilik akun @ypaonganan, Muhammad Arsyad Assegaf (24), Sri Rahayu, M Said, Faizal Muhamad Tonong dan sebagainya.

Ada juga yang dijerat dengan pasal makar yaitu Pasal 107 juncto Pasal 110 KUHP tentang Makar dan Permufakatan Jahat. Mereka yang dijerat pasal ini antara lain : Sri Bintang, Jamran, dan Rizal Kobar, Eggi Sujana, Kivlan Zein, Muhammad Al-Khaththath, Lieus Sungkharisma, Permadi dan lain lainnya.

Bukan hanya pasal makar, ada juga yang dikenakan pasal pornografi seperti yang dialami oleh Ali Baharsyah.Polisi menjerat Ali Baharsyah, tersangka kasus penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo dengan pasal berlapis. Selain melakukan menghina terhadap penguasa, Ali juga menyimpan beberapa video porno.Atas perbuatannya itu, Ali dijerat Undang Undang ITE, Pasal penghapusan diskriminasi ras dan etnis, Pasal 207 penghinaan terhadap penguasa dan badan umum dan Undang- Undang Pornografi.

"Kemudian juga ditemukan beberapa file yang ini dari hasil forensik digital tentang video-video yang mengandung unsur pornografi. Sehingga yang bersangkutan kita tambahkan pasal berlapis berkaitan dengan undang-undang pornografi," kata Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Himawan saat jumpa pers melalui akun YouTube Divisi Humas Polri pada Senin (6/4/2020).

Menanti Ganjaran

Pada umumnya nasib kaum oposan memang akan berakhir di penjara karena dianggap melawan pemerintah yang sedang berkuasa. Namun ada juga orang yang berseberangan dengan pemerintah nasibnya tidak sampai dipenjara hanya di kecam dan teror saja.

Hal ini sempat dialami oleh Dien Syamsudin dkk. Seperti pengakuannya, jelang deklarasi, sejumlah deklarator mulai mendapatkan gangguan bernada ancaman dan teror dari orang tak dikenal. Hal itu disampaikan langsung salah satu Deklarator KAMI, Din Syamsuddin saat jumpa pers di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Sabtu sore (15/8) seperti dikutip pojoksatu.id.

“Ya kami sesalkan sudah terbukti terlaporkan kepada kami sudah ada mulai operasi-operasi yang mengintimidasi, mengancam, termasuk deklarator, bahkan pihak-pihak tertentu untuk menghalang-halangi,” ungkap Din Syamsuddin.

“Hentikan intimidasi itu, ada yang datang ke tokoh ormas Islam bertanya tentang saya ada yang datang menghalangi jangan hadir, ada acara tandingan ini bentuk-bentuk kediktatoran bentuk tirani, bagi kami siap menghadapinya,” imbuhnya menegaskan.

Selain di intimidasi, para deklarator KAMI juga mulai di tuduh telah melakukan makar terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.Politisi PDIP Kapitra Ampera mempertanyakan gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bentukan Din Syamsuddin cs yang dideklarasikan pada Selasa (18/8/2020).
"Jadi harus jelas, KAMI ini gerakan moral atau gerakan politik, atau gerakan politik yang berbungkus gerakan moral, atau gerakan apa nih?," kata Kapitra dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/8/2020) seperti dikutip netralnews.com.

Kapitra juga menyoroti 8 poin tuntutan KAMI yang dibacakan saat deklarasi. Ia berpendapat, KAMI dalam tuntutannya dengan jelas meminta MPR untuk segera menggelar sidang istimewa melengserkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), meskipun narasinya tersembunyi.

Menurutnya, tuntutan sidang istimewa itu merupakan perbuatan makar. "Nah, kalau ada tuntutan seperti kan namanya kegiatan makar yang berbungkus moral. Kalau begitu, ini sudah nggak bener," ujarnya. Tuntutan sidang istimewa, lanjutnya, merupakan tindakan yang tidak berdasarkan ilmu ketatanegaraan, karena tidak ada dasar yang jelas untuk diadakannya sidang istimewa menurunkan presiden.

Sepertinya hari hari kedepan ini kita bakalan menyaksikan bentuk perlakuan apa yang akan diterima oleh para tokoh deklarator KAMI. Dikalangan para pendukung pemerintah saat ini para deklarator KAMI telah mendapatkan aneka macam bullyan, cacian bahkan hujatan sebagai barisan yang dianggap sakit hati, belum bisa move on dari kekalahan selama pilpres dan sebagainya.

Sementara dari aparat penegak hukum masih dinantikan apakah mereka itu akan mengenakan pasal pasal tertentu untuk menjerat pelaku dan mengirimkannya ke penjara seperti pasal makar misalnya. Yang jelas di negara Indonesia yang katanya menganut system demokrasi ini perbedaan pendapat untuk mengoreksi jalannya pemerintahan biasanya selalu di musuhi.

Padahal kritik dan perbedaan pendapat untuk meluruskan jalannya pemerintah yang telah menyimpang dari cita cita proklamasi sesungguhnya harus dipandang sebagai vitamin demokrasi. Justru pemerintah sejatinya membutuhkan koreksi agar jalannya pemerintahan tidak lepas kontrol tak terkendali. Dengan adanya kritik dan perbedaan pendapat maka bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengoreksi diri.

Tetapi kalau kritik dan perbedaan pendapat dimusuhi maka sama artinya dengan negara otoriter yang tidak memberikan ruang bagi rakyatnya untuk berpikir kritis demi perbaikan perjalanan negeri ini. Pada hal suatu pemerintahan yang hanya mendengarkan puja puji justru hakekatnya akan menjerumuskan pemerintah dan mengancam kursi kekuasaannya karena merasa benar sendiri.

Sebenarnya langkah pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah tempo hari merupakan terobosan yang baik sekali untuk mengembangkan demokrasi. Dimana karena gonggongan gonggongan dan kritikannya, kedua tokoh muda itu dihargai sebagai penjaga demokrasi.
Kalau pemerintah mau konsisten dengan penghargaan yang telah diberikan untuk para pengkritik seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah, harusnya pada deklarator KAMI juga di berikan apresiasi.

Yaitu apresiasi alias ganjaran sebagai wujud kepedulian pada nasib perjalanan bangsa ini sekaligus menghidupan suasana demorasi di negeri ini.
Tetapi kalau yang didapat oleh para deklarator KAMI itu nantinya hanya intimidasi dan caci maki maka berarti penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah tempo hari kepada kedua tokoh muda tersebut hanya sekadar basa basi untuk meredam mereka agar tidak bersuara lagi.

Dengan begitu hilanglah kesempatan bagi pak Jokowi untuk disebut sebagai pemimpin demokratis yang menghargai perbedaan dan menghormati demokrasi. Padahal tempo hari dengan adanya penghargaan kepada “duo FF” itu sempat memunculkan asumsi bahwa pemerintah telah “tobat” untuk tidak lagi memenjarakan para pengkritik dan penghina pemerintah saat ini.

Tetapi kalau kemudian asumsi baik tersebut dirusak sendiri oleh pemerintah karena tiadanya konsistensi terhadap penghormatan nilai-nilai demokrasi, bukankah itu namanya sama dengan mendelegitimasi pemerintahnya sendiri ?