Epidemiolog UI: Obat Corona Unair Belum Terdaftar di WHO!

Jakarta, law-justice.co - Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono menyatakan kalau pengembangan obat virus corona (Covid-19) hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair) bekerja sama dengan BIN dan TNI Angkatan Darat belum teregistrasi uji klinis di Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Dia menilai obat tersebut belum memenuhi standar ilmiah untuk uji klinis, ditambah laporan hasil penelitian obat belum mendapat review oleh dunia akademis.

Baca juga : KPK Masukkan Eks Kadis PUPR Papua ke Lapas Sukamiskin

"Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman https://www.isrctn.com/, https://www.who.int/ictrp/en/," katanya seperti melansir cnnindonesia.com, Selasa 18 Agustus 2020.

Menurut dia, WHO telah membuat program solidarity trial untuk penanganan dan pengembangan obat maupun vaksin Covid-19 di seluruh dunia.

Baca juga : Bahlil : Realisasi Investasi Kuartal I-2024 Capai Rp 401,5 Triliun

Indonesia sendiri jelas dia, tergabung dalam solidarity trial tersebut sehingga semestinya dalam proses pengembangan obat ini mengikuti prosedur WHO.

"Padahal WHO mensponsori solidarity multi country clinical trials mengikuti semua prosedur," ucapnya.

Baca juga : Ini Isi Pertemuan Jokowi dengan PM Singapura Lee Hsien Loong

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengingatkan seharusnya tim Unair ikut prosedur yang terbuka, dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis prosedur uji klinik.

Kata dia, selama tahapan riset obat harus dipantau oleh tim clinical monitoring yang independen. Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada independent clinical monitor, Data Safety Monitorign Board (DSMB) minimal 3 orang, terdiri dari ahli farmakologi, biostatistik, dan ahli penyakit yang diteliti.

"Dan harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya," tegasnya.

Selain itu dia juga menyebut ada kesalahan prosedur dalam uji klinis tersebut karena memasukkan orang tanpa gejala sebagai subjek riset.

Padahal obat uji klinis lebih tepat diberikan untuk orang yang benar-benar membutuhkan pengobatan seperti pasien dalam kondisi sedang-berat.

"Kesalahan prosedur yang saya duga ada yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subyek riset, karena ambil kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan Secapa. Bukan yang di rumah sakit, yang benar-benar butuh pengobatan," ucapnya.

Dia menambahkan, seharusnya laporan riset obat kombinasi tersebut lebih dulu dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bukan ke TNI atau BIN. Setelah dilaporkan kemudian BPOM mengumumkan ke publik secara terbuka mengenai obat tersebut.

"Ya ini uji klinik pertama obat Covid-19 di dunia yang anomali, dan prosedur riset yang tak terbuka dan klaimnya tidak mengikuti standar uji klinik yang baku. Itu sebabnya akan banyak akademis yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut," tuturnya.

Disisi lain, Ketua Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair, Suko Widodo, menolak memberikan komentar apapun terkait obat tersebut. Ia mengaku masih akan mengomunikasikan hal itu ke Rektor Unair.

"Ini saya masih maju ke Pak Rektor, kalau ada apa-apa nanti tak kabari. Saya minta petunjuk dulu. Nanti saya koordinasi," kata Suko.

Seperti diketahui, pengembangan obat Unair-BIN-TNI AD menggunakan tiga kombinasi obat. Pertama, Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromyci.

Deputi VII Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto menyebut telah menguji pengembangan obat Covid-19 kepada 1.308 orang pasien Covid-19 di Secapa AD, Jawa Barat. Dari hasil penelitian itu, dia mengklaim 85 persen dinyatakan sembuh.

"Sudah tes untuk pasien Covid-19 di Secapa AD, dari 1.308, 85 persen sembuh berdasarkan hasil tes swab, sudah negatif," kata Wawan.

Dia mengklaim, obat Covid-19 tersebut sudah final dan saat ini berada di bawah kendali BPOM untuk langkah selanjutnya.

Sebagai catatan, hingga saat ini WHO belum merekomendasikan satu pun obat untuk mencegah atau mengobati infeksi corona.

Obat dari gabungan Unari-TNI-BIN ini juga belum mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Selain itu, tim Unair-TNI-BIN pun belum mengungkapkan secara rinci hasil serta metode uji klinis.