Refly Harun: Ada 6 Kejanggalan Putusan MA soal Sengketa Pilpres 2019!

Jakarta, law-justice.co - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menyebut setidaknya ada sejumlah kejanggalan yang ia lihat dalam putusan Mahkamah Agung (MA) soal gugatan Pilpres 2019 oleh Rachmawati Soekarnoputri dan enam orang tokoh lainnya.

Dia menjabarkan secara rinci soal kejanggalan-kejanggalan putusan MA soal sengketa Pilpres 2019 itu melalui kanal Youtube-nya Kamis 9 Juli 2020.

Baca juga : Hajar Rival Sekota, Arsenal Kian Kokoh Di Puncak Klasemen Liga Inggris

Simak pernyataan lengkapnya:

Baca juga : Bulan Depan, Erick Thohir Bakal Rombak Direksi-Komisaris 12 BUMN

1. Pembacaan Putusan Sangat Terlambat

Menurut Refly MA sangat terlambat dalam membacakan putusan gugatan sengketa Pilpres 2019 lantaran Rachmawati mengajukan gugatan pada 13 Mei lalu, sementara putusan baru diputuskan pada lima bulan kemudian yakni pada 28 Oktober 2019.

Baca juga : Nasib Tragis BUMN Farmasi Indofarma

Padahal menurut dia, perkara sengketa Pilpres 2019 ini tidak sulit untuk dibahas MA. Refly menyebut bahwa MA hanya perlu menginterpretasikan satu pasal saja dalam PKPU tersebut.

Refly berpendapat bahwa seharusnya putusan ini mendapat prioritas utama, karena berkaitan dengan kepentingan Pemilu.

"Putusan itu tidak lagi bisa dipakai untuk proses Pilpres 2019 karena kita tahu bahwa penetapan pemenang dilakukan pada bulan Mei, sengketa Mahkamah Konstitusi (MK) di bulan Juni, pelantikan presiden 20 Oktober, jadi putusan ini tidak memberikan efek dalam mengatur Pilpres 2019," ujarnya.

2. Putusan MA itu Tidak Ada Manfaatnya

Kata dia, secara umum sebuah putusan hukum sedapat mungkin memenuhi tiga aspek yaitu aspek kebermanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum.

Dia menyontohkan, kasus pemecatan mantan Gubernur Lampung, Alzier Dianis Thabranie, oleh DPRD Lampung.

Alzier yang mengajukan gugatan dan menang hingga MA. Namun, kemenangannya tidak bisa dieksekusi karena sudah ada pejabat gubernur yang baru yang sudah terpilih melalui proses pemilihan yang sah.

Hal ini dinilai Refly bahwa putusan tersebut tidak ada kemanfaatan, hampir serupa dengan putusan atas gugatan sengketa Pilpres 2019 ini.

"Bagaimana mungkin bisa adil, kalau putusannya tidak bermanfaat?" tanyanya.

3. Bertentangan dengan Putusan MK Tahun 2014

Kata dia Putusan MA yang mengatakan bahwa aturan KPU tidak ada dasar hukumnya di dalam konstitusi, padahal aturan itu sudah ada dan pernah ditafsirkan oleh MK.

Dia kemudian membacakan tentang tafsir pasal MK yang menyebut bahwa dukungan partai politik kepada pasangan calon yang bertanding sudah cukup menggambarkan bahwa mereka mewakili ketersebaran penduduk di Indonesia.

Menurut Refly, perbedaan tafsir antara MA dan MK tentang PKPU ini seharusnya ketentuan tersebut harus dimasukkan dalam UU Pemilu ke depan,agar tidak kembali masuk dalam Peraturan KPU yang akan memunculkan ketidakpastian hukum.

"Memang putusan MK tersebut dalam konteks pengujian UU 42 tahun 2008 yang menjadi dasar bagi Pilpres 2009 dan Pilpres 2014. Kalau ada dua pasangan calon, maka tidak diperlukan lagi syarat persebaran, cukup suara terbanyak," katanya.

4. Penangguhan Publikasi yang Berbulan-bulan

Kejanggalan lain dalam putusan MA ini kata dia adalah soal keterlambatan untuk mempublikasikan keputusan yang `mahapenting` ini.

Diketahui bahwa putusan tersebut diputuskan pada 28 Oktober, dan baru dipublikasikan delapan bulan kemudian yakni pada bulan Juli 2019.

Padahal jarak antara pengajuan gugatan dan pemberian putusan dinilai Refly sudah sangat terlambat, sehingga dua kali keterlambatan ini juga disebutnya sebagai titik kelemahan dalam putusan MA.

"Sehingga seolah-olah memang sengaja atau bagaimana, kita tidak tahu. Padahal kalau kita bicara soal good governance dan clean governance, asas umum pemerintahan yang baik dan MA harusnya as soon as possible. Apalagi putusan ini adalah putusan yang sangat sangat penting untuk diketahui" ujarnya.

5. MA Tak Gubris Batas Waktu Pengajuan Permohonan

Dalam pasal 76 ayat 3 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa permohonan pengujian diajukan pada MA paling lambat 30 hari kerja sejak PKPU diundangkan.

"PKPU 5 2019 diundangkan pada tanggal 4 Februari, harusnya kira-kira bulan Maret. Sementara ini saja baru diajukan pada 13 Mei. Mengapa perlu ada time frame seperti itu?" tanya Refly.

Mantan staf khusus Mensesneg ini berpendapat bahwa aturan dalam Pemilu ini harus dilakukan dalam waktu yang ketat sehingga harus ada kepastian termasuk kerangka hukum pemilu.

"Maka kemudian kalau ada orang yang mau mengajukan judicial review maka harus dibatasi 30 hari kerja, jangan sampai di tengah jalan ada perubahan peratuan yang memunculkan kekacauan hukum," kata Refly menyarankan.

6. Batas waktu penyelesaian pengujian

Termaktub dalam Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pemilu, MA memutus pengujian PKPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima.

Sedangkan dalam perkara ini, permohonan gugatan diterima MA pada 14 Mei 2019 dan dibuat putusan pada 28 Oktober 2019, lebih dari 30 hari kerja seperti yang seharusnya dilakukan sesuai peraturan UU.

Refly mengungkapkan bahwa eksepsi KPU ternyata tidak diterima. Hal ini lantaran MA mewajarkan kondisi keterlambatan pemohon dengan alasan ketika PKPU dibuat mereka belum memiliki kepastian hukum

"Inilah yang fatal bagi MA, karena kalau konteks Pemilu semua aturan harus on the table, clear, ketika hasil Pemilu belum diketahui. Karena prinsip berpemilu adalah semua aturan harus settled di depan, kompetisi harus fair, dan apapun hasilnya harus dieterima sepanjang dilakukan dengan jujur dan adil," ungkap Refly.

Ia lantas menyimpulkan putusan MA tentang sengketa Pilpres 2019 dengan nasib pemenang Pilplres yaitu Jokowi dan Maruf Amin.

"Bagaimana nasib Jokowi-Maruf? Nasibnya baik-baik saja, kalau kita kaitkan dengan putusan MA tidak ada pengaruhnya sma sekali, legitimasi hukumnya tidak berkurang. Jadi kalau ada orang bilang ada proses delegitimasi hukumnya, tidak ada kaitannya dengan putusan MA," kata Refly memungkasi.