Made Supriatna, Peneliti Masalah Sosial dan Politik

Saat Amerika Membara dan Rasisme Sistemik

Jakarta, law-justice.co - Gelombang protes dan kerusuhan di kota-kota besar Amerika sudah berlangsung enam hari. Kematian George Flyod, seorang warga kulit hitam di Minneapolis oleh polisi yang menjadi pemicunya. Dia mati tercekik.

Kematian George Flyod mengulangi kematian Eric Garner pada tahun 2014 di New York. Garner meninggal karena sebab yang sama, polisi mencekiknya hingga dia kehilangan nyawa.

Baca juga : Disebut Negara Kanibal oleh Biden, PM Papua Nugini Protes

Kematian Eric Garner ini menyusul kematian seorang pemuda remaja Trayvon Martin yang meninggal ditembak seorang vigilante kulit putih. Martin yang berjalan pulang dari berbelanja dicegat di jalan. Dia dibunuh karena kulitnya yang hitam dan karena mengenakan jaket berkerudung (hoodie).

Rasisme sangat kuat melekat dalam politik Amerika. Bahkan ada yang mengatakan bahwa rasisme adalah `dosa asal` Amerika. Negara ini memang didirikan diatas dasar bahwa semua manusia diciptakan sama (all men created equal). Itu tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan (Decralation of Independence) Amerika. Namun, pada saat diproklamirkan, `men` ini tidak ditafsirkan mencakup orang-orang berkulit hitam yang pada saat itu diperdagangkan sebagai budak.

Baca juga : Ada 21 Brimob Diperiksa Buntut Bentrok dengan TNI AL di Sorong

Perbudakan menjadi bagian sejarah terpenting Amerika. Perlu ada Perang Saudara (Civil War) yang berlangsung selama lima tahun (1861-65) untuk melarang perbudakan. Namun perbudakan itu tidak hilang.

Di bagian selatan Amerika, pemisahan berdasarkan ras (segregation) masih berlangsung hingga tahun 1964 saat diundangkan Civil Rights Act. Undang-undang ini melarang diskriminasi berdasarkan warna kulit. Sebelumnya, orang kulit hitam dilarang masuk fasilitas-fasilitas publik yang dikhususkan untuk orang kulit putih.

Baca juga : Eskalasi Kekerasan Meningkat Karena Pembiaran Oleh Presiden Jokowi

Namun diskiriminasi tidak hilang. Akibat perbudakan juga tidak hilang. Berdasarkan komposisi rasial, mayoritas orang-orang kulit hitam hidup dalam kemiskinan; secara rata-rata mereka berpendidikan rendah; sebagian besar anak-anak hanya hidup dengan orangtua tunggal (biasanya ibu; dan tanpa bapak). Hampir semua indikator kemiskinan ada pada orang kulit hitam.

40% penghuni penjara di Amerika adalah orang kulit hitam (19% dari penduduk Amerika); dibandingkan 39% orang kulit putih (64% jumlah penduduk) dan 19% Hispanik (19% dari seluruh penduduk).

Artinya adalah penduduk kulit hitam jauh lebih mudah untuk masuk penjara. Penyebabnya sangat kompleks. Namun ada satu hal yang pasti dan itu adalah rasisme sistematik (systemic racism) di dalam sistem masyarakat dan kenegaraan Amerika.

Orang kulit hitam sangat mudah dikriminalisasi. Bahkan orang kulit hitam yang baik-baik tidak bisa berjalan dengan tenang tanpa ditanyai oleh polisi. Brutalitas polisi terhadap orang-orang kulit hitam terjadi dengan intensitas yang tinggi. Polisi sangat mudah menargetkan orang kulit hitam. Dalam banyak kejadian, polisi dengan sangat mudah membunuh orang kulit hitam.

Kematian George Floyd seminggu yang lalu terjadi dalam konteks ini. Dia meninggal karena kebrutalan polisi setelah polisi penerima pengaduan ada orang membeli rokok dengan uang pecahan $20 palsu. Video George Floyd menghiba untuk bisa bernafas terekam oleh video yang diambil seorang warga. Perekamnya juga sempat memohon kepada polisi itu untuk melepaskan Floyd. Namun tidak dihiraukan.

Selama hampir sembilan menit polisi itu berlutut ditengkuk George Floyd yang mengakibatkan kematiannya. Video George Floyd yang tercekik diinjak oleh polisi itu kemudian tersebar. Protes dan kerusuhan terjadi di hampir semua kota besar Amerika. Protes dengan skala ini tidak pernah terjadi sejak 1968 ketika tokoh perjuangan hak-hak sipil (civil rights movement) Dr. Martin Luther King Jr. ditembak mati.

Mengapa protes ini menjadi sedemikian besar dan merata di seluruh Amerika? Ada beberapa faktor. Yang pertama adalah situasi paska-pandemik. Covid-19 telah membuat sebagian besar kota-kota di Amerika ditutup. Selama dua bulan orang tidak bisa keluar rumah. Udara yang mulai menghangat juga membuat orang gatal untuk keluar.

Kedua, protes ini diarahkan kepada polisi. Sekaligus, polisi juga yang harus menangani protes-protes ini. Ini seperti menghadapkan dua pihak yang saling bermusuhan. Para pemrotes berhadapan langsung dengan pihak yang diprotes. Tidak terlalu heran bisa eskalasi kekerasan bisa terjadi dengan sangat cepat.

Ketiga, tidak ada kepemimpinan khususnya di tingkat nasional. Presiden Amerika saat ini, Donald J. Trump, adalah bukan tipe pemersatu. Dia naik ke kekuasaan dengan mengeksploitasi ketegangan dan pembelahan rasial. Dan ketika berkuasa, dia tidak menyembunyikan simpatinya kepada gerakan rasis ekstrem kanan.

Hanya sekita dua minggu lalu, Presiden AS menyerukan pendukungnya untuk membebaskan negara-negara bagian yang melakukan lockdown dengan ketat. Dia menyerukan "Liberate Michigan! Liberate Wisconsin! Liberate Minnesotta!"

Di Michigan dan di beberapa tempat lain, para pendukung presiden yang seluruhnya berkulit putih dengan bersenjata senapan serbu lengkap berdemo dan menyerbut gedung DPR. Tidak bisa dibayangkan jika para pendemo itu berkulit berwarna. Polisi pasti segera menyiapkan pasukan dan tidak mustahil akan terjadi tembak menembak. Namun para milisi kulit putih pendukung presiden itu punya kebebasan untuk memamerkan senjata dan mengintimidasi siapa saja yang bertentangan dengan mereka.

Selama protes dan kerusuhan ini, Trump hanya menulis di Twitter dan tweet-nya hanya berisi hinaan kepada pemerintahan lokal yang dianggapnya tidak terlalu tegas kepada pemrotes dan perusuh. Hari Jumat malam, dia yang ketakutan harus disembunyikan dalam bunker bawah tanah karena pemrotes sangat dekat dengan kediamannya di White House.

Apakah protes dan kerusuhan ini akan mengurangi prospek Trump terpilih kembali pada November nanti? Disinilah sulitnya menebak politik Amerika. Trump sangat ahli mengeksploitasi kebencian rasial. Republican biasanya menang dalam pemilihan dengan menyebarkan ketakutan rasial kepada orang-orang kulit putih, yang menjadi mayoritas pemilih.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari Amerika?

Mungkin banyak dari kita yang tidak sadar bahwa kita juga memiliki problem rasisme. Kita semua satu bangsa dan kita tidak membedakan suku atau ras dalam negara ini. Begitu kan? Salah.

Hal itu dapat dilihat dari kejadian Obby Kogoya, seorang mahasiswa Papua yang hendak masuk ke Asrama Papua Kamasan I di Yogyakarta pada 15 Juli 2016. Ketika itu asrama mahasiswa Papua dikepung oleh gerombolan vigilante, polisi, dan tentara. Mahasiswa didalam tidak bisa keluar. Obby datang membawakan makanan. Namun dia disiksa oleh polisi. Hidungnya dicokok, dan kepalanya diinjak. Untung Obby tidak meninggal.

Obby Kogoya kemudian ditahan. Dia diadili dan dihukum penjara 4 bulan dengan masa percobaan satu tahun. Kesalahannya? Melawan petugas kepolisian. Padahal semua bukti menunjukkan bahwa justru Obby-lah yang menjadi korban penganiayaan dan penghinaan oleh polisi.

Sistem keadilan kita juga mengandung `systemic racial bias` khususnya terhadap orang-orang Papua. Masalah ini terus menerus kita abaikan dan kita tolak keberadaannya. Demonstrasi besar-besaran anti-rasisme di Papua dan kota-kota besar Indonesia lainnya justru memenjarakan mereka yang bersuara untuk Papua dan para aktivis Papua.

Pelajaran lain adalah impunitas. Rasisme sistemik melahirkan impunitas -- baik untuk polisi dan militer. Ini adalah kartu mereka untuk bebas melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM.

Sementara, disisi yang lain, rasisme sistematik akan melahirkan krisis terus menerus. Pergolakan, pemberontakan, demonstrasi, dan kematian.

Kita bisa menutup mata terhadap rasisme sistemik ini. Namun kita tidak bisa mengabaikannya sebagai sebuah kenyataan.