Yangyang Cheng, Ilmuwan Fisika Partikel

Tentang Virus dan Dewa, Kulit Jeruk dan Partai

Jakarta, law-justice.co - Yangyang Cheng adalah postdoctoral research associate di Universitas Cornell, dan anggota CMS Experiment, sebuah kolaborasi saintifik internasional, di Large Hadron Collider. Ia meraih gelar doktor dalam bidang fisika dari University of Chicago pada 2015 dan gelar Sarjana Sains dari Universitas Sains dan Teknologi dalam program Sekolah Cina untuk Anak Muda Berbakat. Ia kini tinggal di Chicago. Tulisan ini terbit pada 3 April 2020 di New York Times.

------------

Baca juga : Permainan Mengagumkan, Timnas Indonesia U-23 Dapat Bonus Rp23 Miliar

IBU saya percaya bahwa Tuhan dan Partai Komunis Cina akan mengalahkan virus baru korona.

“Berdoalah untuk Wuhan. Berdoalah untuk Cina,” dia mendesak saya, merujuk nama ibukota Provinsi Hubei, tempat bermulanya wabah. Itu awal Februari, sepekan lebih sejak Wuhan dikunci.

Baca juga : Bobby Nasution Resmi Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Medan

Ibu tinggal di kampung halaman kami di provinsi lain, dan seperti kebanyakan tempat di Cina, kotanya telah memberlakukan karantina. Tetapi dia relatif aman di sana, dan itu memberi saya perasaan tenteram yang egois saat menyaksikan krisis terjadi di seluruh Cina: Saya adalah anak dia satu-satunya dan hidup di belahan lain planet ini, yang hampir tidak tersentuh oleh virus korona.

Setiap pagi sejak akhir Januari, saya bangun tidur di Chicago dengan serangkaian pesan dari ibu. Email dan pesan-pesan terus bersambung sampai makan siang; kadang pesan-pesannya muncul pada sore hari, dan saya tahu itu berarti satu malam lagi yang meresahkannya

Baca juga : Anies Baswedan Nyatakan Bakal Rehat Politik Sejenak

Ibu saya meneruskan laporan-laporan dari media pemerintah Cina tentang bagaimana pemerintah bertindak cepat untuk memerangi epidemi. Dia mengirimi saya tangkapan layar (screenshot) percakapan dengan teman-temannya—mereka membahas hidup dalam karantina dan bagaimana meyakinkan anggota keluarga yang tidak patuh untuk tetap bertahan di dalam.

Dia mengutip ayat-ayat Alkitab dan membagikan doa-doa dari gerejanya. Dengan pertemuan yang sementara dihentikan, gereja yang direstui negara, yang sering dikunjungi ibu saya, mengalihkan layanannya secara online.

Pendeta berkhotbah melalui WeChat, aplikasi perpesanan yang mahakuasa di Cina, yang juga digunakan oleh umat paroki untuk saling berkabar satu sama lain.

Ibu saya pensiunan guru sekolah dasar. Saya salah satu muridnya. Dia mengajari saya cara menyanyikan lagu kebangsaan dan cara mengikatkan syal merah ketika saya mulai bergabung dengan Pioner Muda, organisasi pemuda Partai.

Sebagai kanak-kanak di akhir 1990-an, saya duduk di kelasnya hari demi hari, pendidikan karakter Cina dilipatgandakan sebagai pengantar sejarah dan kewarganegaraan. Tak ada keraguan di benak saya bahwa ibu percaya sepenuhnya pada apa yang dia sampaikan, dan untuk waktu lama saya juga mempercayainya.

Buku-buku pelajaran yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam tutur sangat sederhana, menyampaikan semua jawaban tentang bagaimana membedakan yang baik dari yang buruk dan apa yang bermakna dalam kehidupan.

Partai itu baik; membangkang itu buruk. Melayani negara dan rakyatnya adalah bentuk kehidupan paling mulia.

Tetapi berkenaan dengan kisah para martir revolusioner, pendidikan patriotik tidak mengajari bagaimana cara berduka. Setelah kematian mendadak ayah saya 20 tahun lalu, ibu mulai pergi ke gereja.

Dia menaruh Alkitab di bawah bantal kami, dan membawa kitab suci itu setiap kali kami bepergian. Saya berusia 10 tahun dan mulai goyah tentang keberadaan Tuhan, tetapi saya bersamanya tiap malam untuk doa sebelum tidur. Tidak ada pilihan lain.

Saya meninggalkan Cina pada musim panas 2009 untuk melanjutkan sekolah di Amerika Serikat, tempat saya seterusnya tinggal dan bekerja. Di kesunyian rumah tua kami, ibu menjadi semakin taat. Berbicara kepada Tuhan meringankan kerinduannya.

Dalam beberapa tahun belakangan, pemerintah Cina telah memperketat cengkeraman otoriternya, menindas minoritas Muslim dan gereja-gereja klandestin yang beroperasi tanpa restu Partai.

Saya terkadang bertanya apakah suatu saat ibu saya akan dipaksa memilih antara Tuhan dan partai. Apakah kemungkinan itu terlintas dalam pikirannya?

Generasi ibu saya tumbuh dewasa dalam masa ketika setiap kepercayaan dari luar dianggap bid`ah dan segala praktik yang sudah dijalankan turun-temurun dicampakkan sebagai takhayul.

Ketika Cina muncul dengan fanatisme politik, Partai mendapatkan pelajaran berharga: Dalam menghadapi hasrat manusiawi yang tak terpadamkan, baik dalam pengejaran harta kekayaan maupun dalam kebutuhan akan kenyamanan spiritual, lebih efektif merangkul ketimbang melarang.

Komuni di rumah-rumah dicurigai karena kemampuan pengorganisasian seperti itu dapat digunakan untuk tujuan politik. Tetapi sebuah gereja besar di jantung kota, seperti yang dihadiri ibu saya, tahu bagaimana cara tetap berada dalam lindungan pemerintah.

Ibu saya tidak melihat konflik antara keyakinan agama dan kesetiaan politiknya. "Setiap pemerintah menginginkan yang terbaik untuk rakyatnya," katanya. "Dan setiap orang pada usia tertentu percaya pada sesuatu."

Kasus pertama Covid-19 dilaporkan di Wuhan pada akhir Desember, dan penularan dari manusia ke manusia dipastikan pada awal Januari. Tetapi karena cemas akan gonjang-ganjing sosial dan pukulan balik politik, pemerintah menyensor informasi tersebut.

Gagasan untuk menutup-nutupi ini memicu badai api. Banyak orang menyuarakan kemarahan mereka secara online, menuntut keterusterangan dan pertanggungjawaban.

Mungkin ini akan menjadi momentum pembelajaran, saya berpikir dalam hati ketika menelusuri media sosial Tiongkok: Hashtag seperti #Iwantfreespeech sedang tren di hari-hari awal penguncian.

Saya tidak berangan-angan bahwa ketidakpuasan rakyat pada hari itu akan diterjemahkan menjadi kebangkitan politik yang lebih luas, tetapi dengan kelompok target yang satu, saya mungkin bisa melangkah lebih maju, dan membantu ibu saya menyadari bahwa pemerintah yang ia sembah itu bukan sesuatu yang imun dari cela.

Ketika saya menyodorkan bukti-bukti penipuan dan kesalahan manajemen oleh pihak berwenang pada awal wabah, ibu saya menjelaskan semuanya. Pemerintah tidak menyembunyikan apa pun; virus memiliki masa inkubasi dua minggu.

Penguncian bukannya terlambat; itu demi memberi orang waktu untuk kembali ke kampung halaman mereka. Warga Wuhan menyambut baik; di dalam kota, kehidupan berjalan seperti biasa.

Saya merasa terganggu pada cara ibu saya mengikuti garis partai. Dia merasakan kekesalan saya. "Itu bukan salahmu," katanya, dengan suara lembut yang hampir terdengar asing. “Kau sudah pergi terlalu lama. Kau disesatkan oleh media Barat."

Ibu saya hanya membaca bahasa Mandarin dan tidak tahu bagaimana pemerintah telah membatasi informasi dari internet. Tetapi bahkan jika dia dan saya menerima informasi yang sama, reaksi kami tetap akan berlawanan.

Ibu saya menyaksikan pembangunan cepat rumah sakit darurat di Wuhan, dan memuji efisiensi China; saya mengkhawatirkan keselamatan yang dikompromikan demi pameran kecepatan bekerja.

Ibu saya melihat pos-pos pemeriksaan pinggir jalan dan patroli lingkungan bermunculan dalam semalam, dan memuji ketelitian pemerintah; saya bertanya-tanya berapa besar negara memanfaatkan krisis kesehatan masyarakat ini demi memperluas kuasa pengawasannya.

Pengerahan pasukan bersenjata untuk membantu Wuhan menegaskan kembali pemujaan ibu saya terhadap militer: Ada satu masa ketika dia sendiri bermimpi mengenakan seragam tentara.

Saya skeptis melihat alat kekerasan negara dan lebih meyakini bahwa rakyat akan dilayani dengan baik sekiranya sumber daya dikerahkan untuk pendidikan dan perawatan kesehatan.

“Sudahkah Ibu mempertimbangkan kemungkinan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatannya untuk menyakiti, termasuk terhadap rakyatnya sendiri?" tulis saya.

"Kau berpikir sangat teliti dan mengajukan pertanyaan menarik," jawabnya. “Tuhan menghukum mereka yang berbuat buruk. Jika orang-orang mendengarkan Tuhan, mereka akan dilindungi."

Saya tidak tahu apakah dia memohon kepada Tuhan untuk mengawasi kekuasaan negara atau apakah dia sedang menyampaikan, secara tersirat, bahwa negara, sebagaimana Tuhan, tidak dapat dipertanyakan.

"Apakah Ibu tidak ingat kejadian di Lapangan Tiananmen 30 tahun lalu?" Saya merasakan kata-kata menyala di ujung jari, tetapi saya menahan diri. Topik ini dilarang di Tiongkok. Sebagai gantinya, saya mencontohkan Nazi Jerman, bahaya kekuasaan negara yang tanpa pengawasan dan keterlibatan orang banyak.

"Jika Ibu punya waktu, bacalah Hannah Arendt," saya menyarankan. "Buku-bukunya sudah diterjemahkan dan tidak sulit ditemukan."

Ibu membalas untuk memastikan judul-judul Arendt dalam bahasa Mandarin. “Jika putriku yang menyarankan, aku pasti membacanya. Kau memiliki gelar doktor; aku belum pernah ke universitas."

IBU memberi tahu bahwa dia membuat tumis hanya dengan kulit jeruk. Itu pertengahan Februari. Dia tidak meninggalkan apartemennya selama lebih dari dua minggu, dan kehabisan sayuran.

“Saya mencarinya online. Kulit jeruk kaya akan vitamin!" Dia menyelamati dirinya sendiri untuk kepandaiannya: “Aku sangat pintar. Terlalu berbahaya kalau pergi ke luar.”

Saya dicengkeram rasa bersalah. Saya tidak pernah bertanya bagaimana keadaannya. Saya mengikuti perkembangan kasus di kampung halaman kami dan memperkirakan kemungkinan apakah dia akan terinfeksi.

Saya menyimpulkan keadaan fisiknya dari jumlah dan panjang pesan hariannya: Dia kelihatannya cukup energik karena selalu online! Saya mengatakan kepada diri sendiri bahwa dia tinggal di lingkungan yang aman dengan banyak toko, bahwa dia memiliki teman dan keluarga di dekatnya, bahwa dia punya gereja dan kelompok pendukung.

Saya menenteramkan diri dengan berpikir bahwa saya bersikap rasional, dan menghormati otonominya. Saya telah mengubah komunikasi harian kami tentang epidemi menjadi pembelajaran sementara tentang filsafat dan tata kelola pemerintahan.

Namun mungkin saya memilih logika, matematika, dan argumen karena tidak berani membayangkan ibu sedang mengalami kemunduran, kutukan waktu yang tak terhindarkan.

Keyakinannya yang tak bisa goyah terhadap kekuatan yang lebih tinggi membuat saya gelisah; itu isyarat penarikan diri. Dia beriman. Dia mengulang-ulang apa yang dia katakan. Dia menyingkirkan amarah dan kekecewaannya.

Sejauh yang saya ingat, ibu selalu marah. Dia marah kepada orang tuanya karena mengistimewakan anak-anak lelaki mereka. Dia marah kepada saudara-saudara lelakinya karena mereka disayang.

Dia marah kepada ayah saya semasa suaminya itu hidup dan marah kepada dirinya sendiri setelah suaminya mati karena tidak menghargai waktu yang dia miliki bersamanya.

Dia marah kepada para pengganggu di tempat kerjanya, kepara para siswa yang gaduh di kelasnya, kepada pedagang kaki lima yang memberinya harga terlalu mahal. Dia marah kepada saya, dengan atau tanpa alasan.

Saya tidak pernah melayani amarahnya, tetapi saya meninggalkan rumah secepat mungkin. Saya menempatkan sebentang samudera dan dua tapal batas di antara saya dan amarah ibu.

Tak lama setelah saya pindah ke Amerika Serikat, dia mulai meminta maaf kepada saya. Dia memuji Tuhan yang telah membuka matanya terhadap dosa-dosa dan meminta maaf sebesar-besarnya atas cara dia memperlakukan saya.

"Jadikan aku keranjang sampah untuk semua ketidaksenanganmu!" dia mendesak. "Guyur aku dengan air comberan, dengan semua kata-kata kotor!" Saya tidak berpikir ibu saya percaya pada balas dendam sebagai bentuk keadilan, tetapi saya merasakan kebencian diri di dalam permohonannya mendapatkan hukuman: Dia harus membenci dirinya sendiri berulang kali karena telah menyakiti apa yang paling berharga baginya, putri satu-satunya.

Selama bertahun-tahun, ibu telah menyatakan keinginannya untuk tinggal bersama saya. Itu tidak realistis, kata saya. Dia tidak memahami bahasa dan tidak mempunyai teman di Amerika.

Saya seorang akademisi junior, pekerjaan saya tidak tentu, jam kerja panjang. Tidak ada masalah dengan semua itu, kata ibu: Selama aku bersamamu, aku akan puas. Dia akan memasak dan bersih-bersih.

Dia memiliki tabungan dan uang pensiun. Dia tidak akan membebani. Dia hanya ingin membantu. Inilah upayanya untuk cinta tanpa syarat: Apa pun yang aku dan kamu gunakan adalah milikmu.

Tetapi seorang ibu bukan pembantu, saya coba menjelaskan. Ketergantungan emosional bukan hal yang sehat. Tolong, kembangkan hobi. Tolong, hiduplah untuk dirimu sendiri. Saya tahu ibu mendengarkan saran saya sebagai penolakan pamungkas—bahwa dia harus menemukan hidupnya sendiri sebab itu bukan lagi bagian dari hidup saya.

Untuk bagian yang lebih baik dalam setahun, ibu memberikan perhatian yang di luar kelazimannya terhadap masalah-masalah dunia, bukan karena dia menemukan minat baru, tetapi sebagai upaya lain untuk berhubungan dengan saya dan memperbaiki kesalahan cara pandang saya.

Saya menulis secara teratur tentang politik dan masyarakat Tiongkok untuk media berbahasa Inggris, dan sering mengkritik pelanggaran-pelanggaran pemerintah.

Tahu bahwa hal itu dapat menekan para kritikus dan kerabat mereka, saya tidak pernah menyinggung-nyinggung artikel saya kepada ibu: Dia toh tidak bisa membacanya; biarlah hambatan bahasa dan jarak fisik kami tetap menjadi pelindungnya.

Namun entah bagaimana dia menemukan. Tulisan saya yang penuh hasutan telah menciptakan ruang negatif mahabesar di antara kami. Kami tidak membicarakannya secara eksplisit.

Tetapi ibu mengangkat topik yang saya tulis dan mencecarkan pandangannya: dia selalu selaras dengan pemerintah. Saya membalas sengit. Setiap kali saya menyentuh lubang argumennya dan menantang sistem nilainya, ada bagian dalam diri saya yang menginginkan kobaran api.

Saya kangen bertengkar dengannya, bukan untuk luka yang akan ditimbulkan, tetapi demi perempuan yang selalu ada dalam ingatan dan saya khawatir kehilangan dia—kegigihan yang selalu menggelora.

Saya melihat ketundukan ibu hari ini sebagai firasat terjadinya pelapukan, seperti batu yang kehilangan sudut-sudut tajamnya sebelum remuk menjadi kerikil.

“Kau anak baik dengan rasa keadilan yang kuat,” tulisnya ketika saya menyatakan khawatir terhadap orang-orang lanjut usia, orang-orang miskin, dan orang-orang cacat yang dikunci di Wuhan.

Kemudian dia mengaitkan keluhan saya mengenai penindasan negara dengan perlakuan menindas yang telah dia lakukan terhadap saya, dan menulis bahwa pembangkangan politik saya tidak lebih dari pemberontakan anak terhadap orang tua.

Saya kesal dengan pernyataannya. "Ini tidak selalu tentang Ibu!" saya mengetik. Saya melihat kata-kata di layar, dan kursor yang berkedip, dan tersentak oleh kekejamannya. Namun saya tetap menekan "send".

PADA awal Maret , Covid-19 menjadi pandemi global. Dengan wabah yang berkembang di Amerika Serikat, ibu bertanya apakah saya punya cukup masker wajah. “Aku baru tahu situsweb ini dari ayah bekas muridku. Putranya sedang belajar di AS.” Dia mengetik nama situs itu: A-M-A-Z-O-N.

"Kau harus membeli masker banyak-banyak," tegasnya. "Sarung tangan juga. Jika habis, kabari aku, nanti kukirim.”

Metode keras pemerintah Cina telah menghentikan penyebaran virus di Cina, tetapi virus telanjur mendarat di pantai-pantai asing, yang pemerintahan maupun rakyatnya lambat bereaksi.

Ibu saya merasa sepenuhnya benar dalam dukungan teguhnya untuk Partai. “Kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia: Itu semua bohong! Tidak ada yang sebanding dengan kebutuhan untuk tetap hidup.”

Dia sekarang menghabiskan hari-harinya untuk menelisik melalui internet perkembangan terbaru di luar Cina, tentang meningkatnya jumlah kasus dan tanggapan kacau pemerintah Barat.

Dia mendiktekan kiat-kiatnya yang sudah terbukti ampuh untuk selamat dari wabah, termasuk apa yang dia kenakan ketika dia akhirnya pergi berbelanja bahan makanan: dua lapis masker, dua lapis sarung tangan, dua lapis kantong plastik untuk membalut sepatunya, kacamata hitam karena dia tidak memiliki kacamata pelindung dan mantel berkerudung dengan kerah diketatkan.

Penjaga keamanan di kompleks perumahannya memuji upayanya, kata ibu, pamer: "Dia bilang keluarganya mesti belajar dari aku."

Dia meminta foto-foto isi lemari saya, sehingga dia bisa menilai kesiapsiagaan saya. Saya memiliki semua yang saya butuhkan, kata saya, dan menambahkan bahwa menimbun persediaan hanya membuat masyarakat menjadi kurang aman.

“Jika Ibu tidak bisa berhenti khawatir, khawatirkan saja yang paling rentan. Para gelandangan. Orang-orang yang tidak punya asuransi. Para migran di perbatasan. Para penghuni penjara dan rumah tahanan.”

"Kau benar," jawab ibu saya. "Aku hanya memikirkanmu, karena kau putriku." Dia lalu mempertanyakan mengapa negara maju seperti Amerika Serikat tidak menyediakan perawatan kesehatan umum: "Di Cina, semua orang mendapatkan perawatan, dan untuk virus korona semuanya gratis."

“Kenapa Ibu mengatakan ini? Kita sama tahu itu tidak benar.” Orang bisa menyebut masalah-masalah di Amerika tanpa harus menjadikan Cina sebuah utopia.

Saya ingat masa-masa ketika saya menemani ibu ke Misa Minggu saat masih remaja. Lorong gereja akan dipenuhi oleh orang tua dari desa-desa sekitar dan anak-anak mereka yang tampak sakit: Dengan secuil harapan akan menemukan dokter, mereka datang menghadap Tuhan. Saat kami berjalan melewati mereka, ibu akan menyuruh saya memalingkan muka.

Saya tidak tahu apakah dia melakukan hal yang sama dengan berita tentang wabah korona di Cina: Pesannya tak pernah berbeda dari narasi Partai tentang tekad, kemajuan, dan kemenangan yang akan segera terwujud. Tetapi narasi resmi bukanlah kebenaran mutlak.

Saya mengarahkan pandangan ke tempat yang ibu saya menghindarinya. Saya mengatakan kepada diri sendiri bahwa jika saya tidak bisa memberi bantuan, setidak-tidaknya saya bisa menjadi saksi.

Kadang saya merasa saya terobsesi dengan tragedi dan bertanya-tanya apakah itu egois: Saya mencoba menenggelamkan perasaan saya ke lautan penderitaan manusia sehingga masalah saya sendiri akan tampak terlalu kecil dibandingkan itu semua.

"Makan bawang merah banyak-banyak," tulisnya. "Rasanya akan membuatmu menangis, dan itu mengusir virus." Saya menggeleng. Jika air mata adalah disinfektan, saya tak mungkin terkalahkan.

Saya menuduh ibu berpikiran sempit, dan mengatakan kepadanya bahwa ketimbang mengkhawatirkan saya, sebaiknya dia memperhatikan orang yang kurang beruntung. Saya terdengar mulia.

Saya masuk akal secara ilmiah. Tetapi saya merasa betul-betul tidak nyaman menjadi penerima kasih sayangnya: Saya sudah gagal total dalam hubungan terpenting sepanjang hidup saya, yaitu dengan ibu. Saya tidak pantas dicintai.

"Setiap hari/aku memikirkan kematian/penyakit, kelaparan/kekerasan, terorisme, perang /akhir zaman/Itu membantu/menjaga pikiranku dari harta benda," tulis penyair Inggris Roger McGough dalam " Survivor " pada 1979.

Mr. McGough memperbarui puisi itu baru-baru ini. Versi barunya dimulai dengan: "Setiap hari/aku memikirkan virus korona/Brexit/pemanasan global."

SAYA bertukar pesan dengan seorang teman baik di Italia. Pada 19 Maret, setelah kematian akibat virus korona di sana telah melampaui Cina , ia mengabarkan bahwa dia dan keluarganya baik-baik saja.

Dia mengirimkan foto bendera Italia yang tersampir di jendela-jendela di daerah tempat tinggalnya di Roma. Dia menceritakan orang-orang bernyanyi lagu kebangsaan dari balkon mereka.

Kembali ke Februari, ibu mengirimi saya tautan klip video yang memperlihatkan para penghuni di bawah penguncian di Wuhan menyanyikan “Mars Para Relawan”, lagu kebangsaan Tiongkok, dari jendela mereka. "Kau harus menonton ini," kata ibu. Itu membuatnya menangis.

Pemerintah Cina kini telah melonggarkan langkah-langkah karantina di seluruh negeri, dan mereka sedang berusaha membangun narasi kemenangan total melawan virus korona.

Lockdown di Wuhan diperkirakan akan dicabut pada 8 April. Di kota ibu saya, orang-orang diizinkan keluar dan bepergian, tetapi tidak banyak yang melakukan: Beberapa takut gelombang kedua infeksi.

Namun, dengan epidemi di hampir setiap benua, selama beberapa minggu, banyak orang Tionghoa perantauan kembali ke tanah air; Cina hari ini tampak sebagai tempat yang lebih aman.

Tetapi di tengah berkurangnya rute penerbangan dan kenaikan harga tiket, beberapa siswa tidak dapat menemukan penerbangan pulang. "Nelangsanya hati orang tua mereka!" ibu menulis. Dia melihat para siswa yang terdampar itu cerminan diri saya.

"Apakah kau berpikir akan pulang juga?" ibu bertanya melalui telepon pada pertengahan Maret.

Sekiranya saya berbicara dengan orang lain, saya akan menyindir bahwa jika saya pulang ke Cina, saya mungkin akan ditempatkan di karantina jenis lain—jenis yang biasanya lebih dari 14 hari. Tapi saya mengunci mulut. Kesedihan menelan saya.

Akhir-akhir ini ibu mengirimi saya doa yang ia tulis untuk kelompok gerejanya, memohon bantuan Tuhan untuk mengalahkan virus itu. “Kita berada dalam tubuh kemanusiaan yang sama,” itu di antaranya, mengutip kata mutiara yang dibuat oleh Presiden Xi Jinping. Ibu menyebut nama saya setiap kali dia memohon berkah Tuhan.

Sebelas tahun lalu ketika saya bersiap meninggalkan Cina, ibu meminta saya melakukan dua hal: dibaptis dan bergabung dengan Partai Komunis. Dia cemas memikirkan saya sendirian di negara asing.

Dia ingin saya membawa keanggotaan seperti membawa jimat sehingga dua hal paling kuat di dunia ini dan di dunia berikutnya akan memberkati perjalanan saya.

Saya tidak memenuhi keinginannya. Saya bukan komunis, dan saya tidak percaya pada Tuhan. Saya ilmuwan dan penulis. Panggilan hidup saya adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dikaburkan oleh jawaban-jawaban yang disederhanakan. Tapi apa jadinya jika pertanyaan yang saya ajukan tak pernah bisa dijawab, ketika puzzle tak memiliki solusi, ketika setiap pilihan keliru?

Sekarang awal April, dan Amerika Serikat memiliki kasus Covid-19 yang paling banyak dilaporkan di dunia. Pada hari pertama orang-orang Illinois harus mengikuti perintah shelter-in-place, ketika jam menunjukkan pukul tujuh malam, ribuan penduduk Chicago menuju balkon mereka untuk menyanyikan lagu Bon Jovi "Livin `on a Prayer."

Ketika senja terbenam di kota yang hari ini saya sebut rumah, itu berarti datangnya pagi untuk ibu saya di Cina. Saya bisa membayangkan dia berdiri di dapur rumah kami, dengan rambutnya yang beruban digelung berantakan.

Dia menambahkan kacang dan buah kering ke buburnya. Dia membaca berita dari media pemerintah. Ketel mengerik di atas kompor. Dia mengisi dua termos dengan air panas dan melihat keluar jendela. Dia bersyukur kepada Tuhan atas makanannya dan memintaNya merawat putri satu-satunya.

Inbox sebentar lagi akan menyala dengan pesan dari ibu saya. Dia akan terus menulis pada saat saya tidur. Saya membayangkan sebuah terowongan panjang menembus planet ini, di situ pikiran kami bertemu.*

Diterjemahkan oleh A.S. Laksana
Sumber: https://www.nytimes.com/2020/04/03/opinion/sunday/coronavirus-china-US.html