dr. Tifauzia Tyassuma:

Pemerintah Tidak Belajar, Lamban dan Sering Tidak Sinkron

[INTRO]

Surat terbuka untuk presiden dan beberapa artikel yang ia tulis di media sosial membuat banyak orang beranggapan bahwa Tifauzia Tyassuma adalah dokter ‘kaleng-kaleng’. Padahal ia sudah menempuh pendidikan dokter sampai tingkat doktoral di dua universitas terbaik Indonesia. Sebagai dokter, Tifa geram karena pemerintah tidak segera belajar, lamban bertindak, dan sering tidak sinkron.

Dr. Tifauzia Tyassuma, nama itu menggema di jagat maya, terutama di kalangan mereka yang kesal pada sikap pemerintah dalam menanggulangi pandemi COVID-19. Di satu sisi, ia dirundung habis-habisan karena dianggap terlalu berlebihan dan menakut-nakuti masyarakat dengan angka prediksi yang dikeluarkannya. Ditambah lagi, latar belakangnya saat ini sebagai seorang pakar nutrisi, peneliti, penulis buku, dan pengusaha, membuat orang ragu bahwa ia memiliki kapasitas untuk berbicara tentang virus corona.

Baca juga : Fadel Muhammad Dicecar KPK Soal Kurang Bayar di Kasus APD Covid-19

Rabu (8/4/2020), law-justice.co berbicang  dengan dr. Tifa melalui sambungan telepon, untuk mengenal lebih jauh siapa sebetulnya sosok yang membuat tulisan-tulisan pedas di akun Facebook Tifauzia Tyassuma ini. Gaya bahasanya yang lugas dan menohok membuat banyak orang bertanya-tanya, apakah betul dia seorang dokter dan ilmuan? Sebab, tidak banyak saintis yang berani lantang dan terbuka memberi masukan kepada pemerintah.

Dr. Tifa termasuk orang yang enggan berbagi informasi yang sifatnya pribadi, seperti usia dan status keluarga. Ia mengenalkan diri sebagai orang yang lahir dan tumbuh di kota Yogyakarta. Mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, di bawah bimbingan beberapa nama besar seperti Prof. dr. Iwan Dwiprahasto (salah satu dokter korban Covid-19), Prof.dr. Laksosono Trisnantoro, dan Prof.dr. Ali ghufron Mukti (Dirjen Dikti).

Baca juga : Import MoLis Makin Dipermudah Masuk RI Jalanan Bak Neraka

Tifa mengaku, sejak sekolah menengah sudah tertarik dengan dunia penelitian. Lulus dari Fakultas Kedokteran UGM pada 1997, setahun kemudian Tifa sempat menjadi dokter klinis di Purworejo, Jawa Tengah. Di sana, ia menangani berbagai macam pasien dengan penyakit endemik yang saling berbenturan seperti Deman Berdarah Dangue (DBD), Malaria, Tuberkulosis (TBC) dan cacingan.

Ketika tawaran untuk melanjutkan pendidikan S2 datang, tanpa pikir panjang ia memilih untuk menjadi seorang peneliti di bidang Epidemiologi Klinis (Clinical Epydemiology).

Baca juga : Kemenkes Sebut Harga Vaksin Covid-19 Mandiri Tak Ditentukan Pemerintah

“Ada juga tawaran untuk menjadi dokter klinik, artinya saya tetap megang pasien. Tapi mungkin minat saya di bidang penelitian, jadi saya memilih untuk  jadi peneliti,” kata Tifa.

Apa itu Epidemiologi Klinis? Secara sederhana, Tifa menjelaskan, Epidemiologi  adalah ilmu yang mempelajari tentang penyakit yang ada di dalam komunitas. Termasuk  pola atau perilaku komunitas dalam menghadapi suatu penyakit.

Sementara Epidemiologi Klinis merupakan suatu kajian yang menghubungkan Epidemiologi dengan pola penyakit di tingkat klinis. “Sehingga, para Clinical Epidemiologys ini selain bekerja di lapangan, juga bekerja dengan pasien yang ada di rumah sakit,” ujar dia.

Epidemiologi Klinis dibagi lagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang Etiologi (sebab musabab suatu penyakit), bidang Diagnostik (menegakkan diagnosa suatu penyakit), dan bidang Prognosis (membuat ramalan atau prediksi apa yang terjadi selanjutnya).

“Saya, secara khusus lagi membidangi prognosis. Memprediksi dengan berbagai macam pisau analisis seperti klinis, telaah kronologi, ilmu Sosiologi, Psikologi, lingkungan, dan matematika. Itulah yang menjadi kompetensi saya,” lanjutnya.

Bagi dr. Tifa, virus corona bukan sesuatu yang asing. Ia sudah mengikuti isu virus yang menyerang sistem pernafasan manusia ini sejak tahun 2004, ketika masih dalam bentuk Virus SARS. Jenis yang sama pada 2012 muncul dalam wujud modern yakni virus MERS. Hingga akhirnya menjelma menjadi varian terbaru yang disebut SARS-COV-2 menimbulkan penyakit yang dikenal dengan COVID-19.

Tifa menjelaskan, corona merupakan virus yang telah mencapai puncak evolusi dengan menjadikan manusia (makhluk hidup tingkat tertinggi) sebagai inang. Hanya butuh waktu 16 tahun bagi virus corona untuk beralih inang dari hewan ke manusia.

“Bahkan virus yang kita kenal sangat mematikan yaitu virus Dangue (deman berdarah), selama sekian ratus tahun dia berkembang, tidak pernah sampai pada kesempurnaan evolusinya. Dia masih membutuhkan nyamuk sebagai reservoir utama,” jelas dr. Tifa.

Ia menegaskan, tidak seorang pun boleh meremehkan virus corona. COVID-19 telah melumpuhkan dunia manusia modern. Bahkan negara-negara yang memiliki fasilitas kesehatan terbaik pun tidak mampu menangkal laju penyebaran virus ini. 

Karena itu, ia heran dengan sikap pemerintah Indonesia yang lamban merespon isu virus tersebut. Padahal, ada jeda dua bulan antara kasus di Wuhan, Cina dan kasus pertama di Indonesia. Ia sudah berteriak meminta pemerintah untuk mengkarantina Jakarta (lockdown) saat kasus masih di angka 96 orang yang positif.

Kini, per Sabtu (10/4/2020), pasien positif COVID-19 sudah mencapai angka 3.842 dengan kasus kematian 327 orang. Bagi dr. Tifa, sudah tidak relevan lagi untuk berbicara lockdown. Angka sebenarnya berdasarkan hitung-hitungan Epidemiologi, Indonesia sudah memiliki lebih dari 32.000 kasus positif dengan angka kematian lebih dari 2000 orang. Jakarta dan kota-kota besar di Jawa telah menjadi mangkuk-mangkuk merah yang siap tumpah ruah ke daerah karena arus mudik.


Grafis: Christopher Mait/law-justice.co

Berikut petikan wawancara dengan dr. Tifauzia Tyassuma seputar COVID-19 dan potret penanganan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini:

Mengapa virus corona bisa begitu dahsyat melumpuhkan dunia?

Perkembangan dan laju evolusinya yang luar biasa sempurna. Dia bisa mengubah dirinya dalam waktu yang sangat cepat dan melakukan interkoneksi dengan tubuh manusia. Jarang sekali virus yang memiliki ketersenyawaan yang luar biasa seperti COVID-19. Belum pernah ada dalam sejarah manusia modern virus yang menaklukkan negara dengan fasilitas kesehatan terbaik seperti Eropa dan Amerika.

Makanya saya selalu bilang, virus ini memang beyond. Ia berada di luar atmosfer kita, termasuk ilmuan sekalipun. Artinya, untuk saat ini, kita tidak bisa membuat suatu kesimpulan yang benar-benar valid.

Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Kita harus melihat, mengantisipasi, dan membuat rencana secara jauh ke depan. Pada titik inilah Clinical Epidemiolgy harus hadir, yang bisa jadi pegangan saat ini adalah ilmu tentang prediksi. Kita belum tahu pasti, kenapa virus corona bisa seperti ini. Melumpuhkan negara maju dengan falisitas kesehatan yang tidak kurang seperti Amerika dan Italia.

Tapi sayangnya Indonesia kedodoran di mana-mana. Jangankan bertindak secara beyond, melakukan penanganan yang mainstream saja kita sering gagal total.

Sejak awal sampai sekarang apa kesalahan prinsipal yang dilakukan pemerintah dalam menangani COVID-19?

Pertama, tidak segera belajar. Padahal bahan pelajarannya sudah bertebaran di seluruh dunia. Tidak cepat tanggap. Ilmuan yang memiliki kapasitas multidisplin ilmu tidak segera ditanya.

Selain itu, kita terkecoh dengan isu cuaca karena kasus pertama di Wuhan terjadi saat musim dingin, Desember 2019. Penelitian saat itu memang mengatakan bahwa virus ini mati dalam suhu 27 derajat celcius. Nah, tenang-tenang dong yang punya suhu di atas 27 derajat.

Padahal, awal Januari 2020 virus sudah bisa bertahan di suhu 50 derajat. Iran sudah kena, begitu juga Mediterania dan Eropa . Pertengahan Januari sudah berevolusi lagi. Lalu Amerika Latin dan Ekuador yang sama-sama tropis juga sudah ada kasus. Bahkan negara tetangga, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Filipinasudah kena. Harusnya, saat itu kita sudah mulai antisipasi.

Kedua, setelah tidak belajar, kita terlambat mengambil langkah. Kita selalu terlambat. Saya mulai teriak di media sosial itu saat kasus yang dilaporkan masih 69, awal Maret. Keesokan harinya, kasus bertambah dua kali lipat menjadi 96, saya bilang kita harus lockdown. Kami sudah punya pegangan dan hitung-hitungan bahwa angka sebenarnya tidak segitu.

Sayangnya, kata lockdown saat itu digoreng menjadi berbagai macam versi dan tafsir. Padahal, yang saya maksud adalah agar pemerintah mengunci setiap pintu keluar masuk negara. Bukan mengunci diri di dalam rumah, seperti kebijakan yang ada sekarang ini (Pembatasan Sosial Berskala Besar/PSBB).

Sekarang sudah tidak relevan berbicara lockdown. Kita lumpuh dimana-mana. Apa yang dulu disangkakan warganet terhadap saya betul-betul kejadian. Kalau saja kita cepat mengambil kebijakan lockdown wilayah, kita tidak perlu seperti sekarang ini. PSBB sama sekali tidak pernah menjadi opsi saya.

Sudah ada 17 daerah yang menjadi mangkuk merah, di mana dalam mangkuk itu sudah tidak jelas lagi mana yang positif dan mana yang steril.  Semua orang yang di mangkuk merah itu sudah sepantasnya dianggap ODP (Orang Dalam Pengawasan) dan akan siap-siap tumpah ke daerah karena arus mudik yang tidak dilarang pemerintah.

Ketiga, setelah tidak belajar, terlambat, lalu tidak sinkron. Sering sekali terjadi disinkronisasi, antara kebijakan pusat dan daerah. Antar kementerian satu dengan departemen lainnya. Ini sangat merepotkan.

Kita ambil contoh pada kebijakan mudik. Kalau tidak dikoordinir dengan baik, ini sangat berbahaya bagi daerah-daerah yang masih zona kuning. Sangat tidak mungkin orang disuruh isolasi mandiri. Sama seperti lebah yang masih memiliki sengat dibiarkan begitu saja. Kita sudah bisa membayangkan apa yang bakal terjadi satu bulan ke depan.

Kenapa Anda terkesan tidak percaya bahwa pemerintah bisa mengatasi masalah pandemi COVID-19?

Karena saya sangat tahu, kita lemah di sektor fasilitas kesehatan (Faskes) dan tenaga kesehatan. Padahal itu menjadi garda terdepan. Faskes kita sama sekali tidak mumpuni untuk mengatasi pandemi ini.

Bukan diukur dari kompetensi ya. Dokter kita hebat-hebat sekali. Tapi rasio antara jumlah dokter dan  jumlah penduduk yang begitu jomplang.

Dokter yang tercatat di IDI (Ikatan Dokter Indonesia) saat ini ada 113.000, minus yang sudah gugur kemarin. Itu tidak semuanya dokter klinisi, karena tidak semua pegang pasien. Seperti saya kan bukan klinisi yang pegang pasien.

Dari sekian persen yang jadi klinisi itu, hanya 13 persen yang memiliki kompetensi untuk menangani COVID-19 yaitu dokter paru, penyakit dalam dan infeksi, atau dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT).

Nah, sekarang kita mengurus alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis saja compang-camping. Dulu masker diekspor gila-gilaan. Kalau dokter dan tenaga medisnya tumbang, kita mau bersandar pada siapa  lagi?

Dari dulu sampai sekarang, apakah pemerintah cukup banyak menyerap aspirasi dari orang-orang yang ahli di bidang tenaga kesehatan dan ilmuan?

Saya sih melihatnya dari output, yaitu kebijakan yang diambil. Dari situ sebetulnya bisa kelihatan apakah pemerintah berdiskusi atau konsultasi didampingi orang-orang yang ahli dalam masalah COVID-19. Tapi kok rasa-rasanya saya tidak melihat kebijakan yang berasal dari orang-orang multidisiplin dan multidimensional dalam bidang COVID-19 ini.  

Foto: Dokumentasi Pribadi 

Bukankah Anda pernah Diskusi dengan Tenaga Ahli Kepresidenan?

Ya kalau saran dr. Tifa didengar, kebijakannya pasti enggak seperti ini.

Tidakkah Anda melihat bahwa pemerintah sedang dilema antara isu kesehatan, ekonomi, politik, dan stabilitas sosial?

Oh, Iya. Saya tidak mau masuk ke wilayah yang bukan domain saya. Tapi begini. Kita kalau melihat segala sesuatu itu kan harus memakai skala prioritas. Sekarang, yang penting itu soal apa dulu sih? Nyawa dulu atau ekonomi dulu? Begitu saja dalam konteks praktis.

Kita tahu saat ini ada ancaman nyawa, ancaman ekonomi, dan ancaman politik. Apakah ancaman nyawa sudah di tempatkan pada skala prioritas nomor satu? Itu akan kelihatan dari kebijakan. Kalau memang keselamatan nyawa sangat penting, kebijakannya tidak akan seperti ini. Kita realistis saja.

Angka prediktif puluhan ribu yang Anda sebutkan terkesan menakut-nakuti. Bagaimana menjelaskan perbedaan angka prediksi dengan angka yang dikeluarkan oleh pemerintah?

Saat ini, memang harus ada dua angka yang kita pegang dan percaya. Pertama, angka berdasarkan data yang masuk dan dilaporkan kepada pemerintah, yang diumumkan setiap hari oleh jubir penanganan COVID-19. Kedua, angka model prediksi dari Clinical Epidemilogy.

Angka yang dilaporkan oleh pemerintah setiap hari, itu bukan angka faktual. Angka itu diperoleh dari hasil laporan rumah sakit yang memiliki pasien positif atau dari hasil pemeriksaan hasil rapid test dan PCR.

Saat ini, sudah diperiksa 13.400 orang. Artinya, baru 13.400 orang dari 273 juta penduduk Indonesia yang diperiksa. Berarti baru 0,03 persen. Secara epidemis bisa disebut, perbandingannya 48 orang dari satu juta penduduk.

Kalau yang diperiksa baru segitu, bagaimana mau mendekati angka faktual atau angka pasti? Di sinilah sebetulnya peran angka model prediksi, karena bisa menjadi angka yang layak sebagai acuan selain angka yang dilaporkan.

Menghitungnya sederhana. Kita harus melakukan modeling matematika untuk mendapat angka pasti. Menggunakan perbandingan 48/1 juta, dengan adanya kasus 2791 orang positif yang dilaporkan, berarti angka real di seluruh Indonesia adalah 32.000. Sedangkan kalau ada 221 orang yang meninggal dunia, berarti bisa dibilang ada 2000 orang yang sudah meninggal karena wabah ini.

Dengan angka di seluruh dunia yang sebegitu besarnya, mengapa masih banyak orang Indonesia yang meremehkan COVID-19?

Saya sudah melakukan penelitian tentang itu. Beberapa hari ini saya ke lapangan, meneliti sekaligus edukasi. Saya memiliki dua premis mengapa masyarakat sampai hari tetap bergeming

Ada dua hal utama, yaitu pengetahuan dan kesadaran. Tidak ada kesadaran bahwa ini kasus yang mengerikan, karena tidak ada pengetahuan yang cukup.

Kurang lebih 80 persen masyarakat Indonesia minim literasi tentang isu kesehatan. Masih buta huruf soal kesehatan. Penelitian saya sudah bertahun-tahun.

Itulah yang menyebabkan sebagian masyarakat kita masih terlihat santai. Tetap lebih percaya dengan angka kecil dibandingkan dengan angka epidemiologi. 

Virus corona ini sangat berbahaya. Tidak ada negara yang betul-betul sukses mengatasi wabah COVID-19 ini. Kasus ini masih menjadi tanda tanya besar, karena masih banyak sekali fakta-fakta yang belum diungkap oleh pemerintah Tiongkok. Sekali lagi, dalam menyikapi COVID-19 kita harus berpikir beyond, beyond dan beyond!