Ini Enam Dosa Kereta Cepat Jakarta Bandung yang Mulai Disetop Hari Ini

Jakarta, law-justice.co - Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (high speed railway) akan resmi dihentikan sementara mulai hari Senin (2/3) ini.

Hal itu sesuai dengan instruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Komite Keselamatan Konstruksi dalam surat tertanggal 27 Februari 2020.

Baca juga : Reuni UII, Ketua MA Baca Puisi

"Kegiatan pembangunan proyek kereta cepat (high speed railway) Jakarta-Bandung yang dikerjakan oleh Sinohydro diberhentikan selama 2 minggu sejak tanggal 2 Maret 2020," demikian poin pertama dalam surat yang ditandatangani oleh Plt Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Danis Sumadilaga.

Proyek tersebut jelasnya, dapat dilanjutkan setelah dilakukan evaluasi menyeluruh atas masalah pengelolaan pelaksanaan konstruksi yang sepenuhnya mengikuti peraturan Menteri PUPR 21/PRT/M/2019 Tentang SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi).

Baca juga : Permainan Mengagumkan, Timnas Indonesia U-23 Dapat Bonus Rp23 Miliar

Setidaknya, ada enam alasan Kementerian PUPR menghentikan proyek tersebut. Pertama, pembangunan proyek tersebut dinilai kurang memperhatikan kelancaran akses keluar masuk jalan tol sehingga berdampak terhadap kelancaran jalan tol dan non-tol.

Kedua, pembangunan kurang memperhatikan manajemen proyek sehingga terjadi pembiaran penumpukan material di bahu jalan. Akibatnya mengganggu fungsi drainase, kebersihan jalan, dan keselamatan pengguna.

Baca juga : Bobby Nasution Resmi Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Medan

"Pengelolaan proyek menimbulkan genangan air pada Tol Jakarta-Cikampek yang menyebabkan kemacetan luar biasa pada ruas jalan tol dan mengganggu kelancaran distribusi logistik," bunyi poin ketiga.

Tak hanya itu, buruknya pengelolaan sistem drainase dan keterlambatan pembangunan saluran drainase menyebabkan banjir di tol.

Poin kelima, pembangunan pilar LRT yang dikerjakan PT KCIC di KM 3+800 juga tanpa izin dan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan.

"Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), keselamatan lingkungan, dan keselamatan publik belum memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia," demikian poin keenam. (rmol.id).