Dilapor Aktivis ke KPK, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi Ancam Lapor Balik

law-justice.co - Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi mengungkapkan bawha dirinya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh beberapa aktivis terkait masalah tanah. Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja Badan pertanahan nasional (BPN) Provinsi Sumatera Utara pada Senin (17/2/2020) kemarin.

Namun, dia tak menerima begitu saja laporan dari 6 orang aktivis tersebut. Dia mengancam akan melaporkan balik, karena telah mencemarkan nama baiknya.

Baca juga : 7 Bandara Ditutup Akibat Erupsi Gunung Ruang Sulawesi Utara

“Itu pencemaran nama baik. Saya laporkan melalui Biro Hukum nanti,” kata Edy, Senin (17/2).

Namun saat ditanya kapan akan melaporkan keenam aktivis antikorupsi tersebut, Edy mengelak.” Nanti lah, saya baca dulu,” lanjutnya.

Baca juga : Zulhas Tak Masalah PKS Gabung Koalisi Prabowo, Jangan Baper

Menanggapi ancaman Edy Rahmayadi, kuasa hukum pelapor, Hamdani Harahap mengatakan, setiap warga negara berhak melaporkan dugaan korupsi melalui mekanisme pengaduan masyarakat atau dumas ke KPK. “Sejak KPK berdiri ada mekanisme pengaduan masyarakat ke KPK. Baru kemudian pengumpulan bahan keterangan, penyelidikan, dan penyidikan. Yang kami lakukan adalah pengaduan masyarakat," jelas Hamdani.

"Kami juga pernah melaporkan dugaan korupsi Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dengan gugatan citizen lawsuit dengan mekanisme yang sama dan terbukti ada kasus korupsinya. Seharusnya Gubernur Edy berterimakasih karena kami melindungi hak warga atas lahan eks HGU PTPN II,” kata Hamdani, melalui keterangannya, Senin (17/2).

Baca juga : Muhadjir : Anak Orang Kaya Penerima KIP-K Bisa Ditindak

Sebelumnya, enam aktivis antikorupsi melaporkan Gubenur Sumut Edy Rahmayadi, mantan Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi, Mantan Kakanwil BPN Sumut Bambang Priono, Direktur Utama PTPN 2 Mohammad Abdul Ghani, Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis lalu (13/2).

Semuanya merupakan warga Sumut. Yakni Saharuddin, Sahat Simatupang, Muhammad Arief Tampubolon, Timbul Manurung, Lomlom Suwondo, dan Burhanuddin Rajagukguk. Salah satu pelapor, Saharuddin, didampingi pengacara Hamdani Harahap dan Raja Makayasa usai melaporkan para pejabat tersebut ke dumas KPK, mengatakan, PTPN II tidak berhak menjual lahan eks HGU hanya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumut Nomor 188.44/384/KPTS 2017 dan perhitungan kantor penilai publik (KJPP) seperti yang tertera di SPP yang ditandatangani Dirut PTPN II Mohammad Abdul Ghani.

”Lahan eks HGU PTPN II yang tidak diperpanjang seluruhnya 5.873,06 hektare. Yang diajukan oleh Gubernur Tengku Erry dalam daftar nominatif penerima lahan eks HGU sesuai SK Nomor 188.44/384/KPTS 2017 adalah 2.016 hektare,” kata Saharuddin.
Hamdani Harahap mengatakan, PTPN II tidak memiliki dasar hukum menjual 2.016 hektare lahan eks HGU karena objek tanahnya sudah tidak berkekuatan hukum sebagai aset PTPN II. Apalagi sampai menerima uang dari pembayaran tanah lewat mekanisme penerbitan surat perintah pembayaran ke rekening PTPN II.

“Saya yakin kan bahwa surat perintah pembayaran tanah eks HGU yang dijadikan dasar jual-beli lahan eks HGU PTPN II adalah perbuatan melawan hukum yang berpotensi menguntungkan pribadi para pihak yang kami laporkan senilai kurang lebih Rp 26 triliun. Apalagi beberapa pihak sudah melakukan transaksi pembelian,” beber Hamdani.

Hamdani menambahkan, seharusnya skema penyelesaian atau distribusi lahan eks HGU PTPN II bukan berdasarkan jual-beli atau komersialisasi, melainkan mengacu pada SK Gubernur Sumut Tentang Tim B Plus Nomor 593.4/065/K/2000 tgl 11 Februari tahun 2000 Tentang Penyelesaian Eks HGU PTPN II. (Rmol)