Beda Jauh, Ini Perbandingan Vonis Rommy dengan 4 Ketum Parpol Lainnya

Jakarta, law-justice.co - Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan ( PPP) M Romahurmuziy alias Romy divonis dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Dalam pertimbangannya, hakim meyakini ada internvensi yang diberikan Romahurmuziy kepada mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin demi meloloskan Haris Hasanuddin menjadi Kakanwil Kemenag Jawa Timur.

Baca juga : Apakah Prabowo-Megawati akan Singkirkan Jokowi?

Atas perbuatannya, hakim menyatakan, Romy terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Romy menjadi ketua umum partai kelima yang divonis bersalah oleh pengadilan terkait kasus suap dan korupsi.

Baca juga : Ketika PDIP Anggap Jokowi, Gibran dan Bobby Bagian Dari Masa Lalu

(Dok. Kompas.com & Tribunnews.com)

Baca juga : Hajar Inggris 5-0, Tim Thomas Indonesia Berada di Puncak Klasemen

 

Sebelumnya, sudah ada empat ketum parpol yang mendapatkan vonis dalam kasus korupsi.

Berikut rinciannya seperti melansir kompas.com:

 

1. Suryadharma Ali

(TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

 

Mantan Menteri Agama itu divonis dijatuhi vonis enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan oleh PN Tipikor Jakarta.

Selain itu, ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 1.821.698.840 subsider dua tahun penjara.

Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI justru menolak permohonan yang diajukan mantan Ketua Umum PPP itu.

Hakim pun memperberat putusan PN Tipikor menjadi 10 tahun penjara.

Suryadharma sempat menyatakan tidak mengajukan kasasi. Namun, pada 2019 dia sempat mengajukan peninjauan kembali dan ditolak oleh Mahkamah Agung.

Selain itu, hak Suryadharma untuk menduduki jabatan publik dicabut selama lima tahun terhitung sejak bebas.

Suryadharma sebelumnya terjerat kasus korupsi penyelenggaraan haji di Kemenag untuk tahun anggaran 2012-2013.

Atas penyalahgunaan wewenangnya, Suryadharma dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp 27.283.090.068 dan 17.967.405 riyal Saudi.

Dalam penyelenggaraan tersebut, Suryadharma menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi petugas panitia penyelenggara ibadah haji di Arab Saudi.

Mantan Ketua Umum PPP itu juga dianggap memanfaatkan sisa kuota haji nasional dengan tidak berdasarkan prinsip keadilan.

Selain itu, Suryadharma juga mengakomodasi permintaan Komisi VIII DPR untuk memasukkan orang-orang tertentu supaya bisa naik haji gratis dan menjadi petugas panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH) Arab Saudi.

Tak hanya itu, dia juga memasukkan orang-orang dekatnya, termasuk keluarga, ajudan, pengawal pribadi, dan sopir terdakwa ataupun sopir istri terdakwa agar dapat menunaikan ibadah haji secara gratis.

Suryadharma juga dianggap menggunakan dana operasional menteri (DOM) untuk kepentingan pribadinya.

Dalam penyelenggaraan haji tahun 2015, Suryadharma meloloskan penawaran penyewaan rumah jemaah haji yang diajukan pengusaha di Arab Saudi, Cholid Abdul Latief Sodiq Saefudin.

Padahal, dia tahu bahwa pemondokan tersebut sudah berkali-kali ditolak oleh tim penyewaan perumahan haji. Sebagai imbalan, Suryadharma menerima kiswah atau kain penutup Ka`bah dari Cholid.

 

2. Luthfi Hasan Ishaaq

(TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

 

Majelis hakim tingkat pertama menjatuhkan vonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar kepada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Luthfi Hasan Ishaaq dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang dalam perkara rekomendasi kuota impor daging di Kementerian Pertanian.

Di tingkat banding pun, Pengadilan Tinggi DKI juga menguatkan putusan di tingkat pertama.

Kemudian, hukuman Luthfi Hasan Ishaaq diperberat oleh Mahkamah Agung menjadi 18 tahun.

Dalam perkara ini, Luthfi yang saat itu menjabat sebagai anggota Komisi I DPR bersama rekannya, Ahmad Fathanah dianggap terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman, terkait kepengurusan penambahan kuota impor daging sapi.

Dalam kasus tindak pidana korupsi, jaksa menjelaskan bahwa pemberian uang Rp 1,3 miliar tersebut dilakukan agar Luthfi memengaruhi pejabat Kementan sehingga memberikan rekomendasi atas permintaan tambahan kuota impor daging sapi sebanyak 10.000 ton yang diajukan PT Indoguna Utama dan anak perusahaannya.

Pemberian uang ini diserahkan oleh Direktur PT Indoguna Utama Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi melalui Fathanah pada 29 Januari 2013.

Uang itu disebut bagian dari commitment fee 40 miliar yang dijanjikan kepada Luthfi melalui Fathanah.

Atas perbuatannya, ia dianggap terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu.

Selain itu, ia juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang saat menjabat anggota DPR RI 2004-2009 dan setelah tahun tersebut.

Selain itu, Luthfi Hasan juga dicabut hak politiknya.

 

3. Setya Novanto

(ANTARA FOTO/RENO ESNIR)

 

Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.

Setya Novanto dinilai terbukti memperkaya diri sebesar 7,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 71 miliar dalam proyek tersebut.

Kasus ini terjadi ketika ia masih menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar.

Saat itu, dalam kurun waktu pengadaan 2011-2013, ia berusaha mengintervensi proses pengadaan bersama pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Atas perbuatannya, Pengadilan Negeri Tipikor menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, selain denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain itu, ia diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 7,3 juta dollar AS.

Tak sampai disana, hak politik mantan Ketua DPR itu juga dicabut selama lima tahun, terhitung sejak selesai menjalani masa hukuman.

Setya Novanto sempat mengajukan peninjauan kembali pada 2019. Hingga saat ini belum ada putusan terkait PK tersebut.

 

4. Anas Urbaningrum

(KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN)

 

Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 14 tahun terhadap mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terkait skandal megaproyek Wisma Atlet Hambalang.

Putusan kasasi ini lebih berat dibandingkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memvonis Anas 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.

Adapun putusan di tingkat banding sebenarnya meringankan hukuman Anas di tingkat pertama.

Pengadilan Tipikor sebelumnya menjatuhkan vonis 8 tahun penjara karena menganggapnya terlibat dalam kasus korupsi dan pencucian uang dalam proyek tersebut.

Putusan tersebut juga jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa KPK agar menjatuhinya dengan hukuman kurungan 15 tahun penjara.

Selain vonis kurungan, Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan. Hak politiknya juga dicabut.

Mantan Ketua Fraksi Demokrat itu juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580.

Pengusutan kasus ini bermula dari temuan KPK saat menggeledah kantor Group Permai, milik Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Dalam temuan itu, KPK menduga Anas dan Nazaruddin bergabung untuk mengumpulkan dana.

Dalam dakwaan, Anas disebut mengeluarkan dana Rp 116,525 miliar dan 5,261 juta dollar AS untuk keperluan pencalonannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat saat Kongres Demokrat tahun 2010.

Adapun besaran fee proyek yang diterima Group Permai sebesar Rp 94 miliar dan 5,2 juta dollar AS.

Besaran fee itu yang kemudian menjadi dasar tim jaksa KPK mengajukan besaran tuntutan ganti rugi. Meski pada akhirnya Anas tidak diwajibkan membayar uang ganti rugi sebesar yang dituntutkan.

Anas Urbaningrum sempat mengajukan PK pada 2018. Hingga saat ini diketahui belum ada putusan terkait PK Anas Urbaningrum.