Mafia Hukum Dalam Modus Penguasaan Aset Negara

Jakarta, law-justice.co - Beroperasinya Pelabuhan Marunda sedikit banyak mengurangi beban aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok yang begitu padat lalu lintasnya. Keberadaan Pelabuhan Marunda memang cukup istimewa.  Pemerintah sendiri melalui Kementerian Perhubungan pernah menetapkan proyek pembangunan Pelabuhan Marunda tersebut sebagai pilot project alias percontohan proyek infrastruktur yang dibangun dengan sumber biaya non APBD maupun APBN atau anggara negara.

Pada 2017 lalu, Kementerian Perhubungan pernah merekomendasikan proyek percontohan tersebut untuk diresmikan Presiden Joko Widodo. Saat itu, Kemenhub mengajukan surat ke istana agar Presiden Jokowi berkenan meresmikan dermaga I Pelabuhan Marunda, sekaligus meresmikan groundbreaking pembangunan dermaga II dan dermaga III. Rencananya, peresmian itu berlangsung 25 Februari 2017. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.

Begitulah perumpamaan yang seakan menggambarkan situasi saat itu. Sebelum hari yang ditentukan tiba, Direktur Utama PT KBN (Persero) Sattar Taba bersurat kepada Menteri BUMN Rini Sumarno meminta agar rencana tersebut ditinjau ulang. Menteri BUMN pun melayangkan surat ke istana untuk meminta penundaan peresmian Pelabuhan Marunda. Dengan adanya surat tersebut, Presiden Jokowi pun urung menghadiri peresmian. Permintaan penundaan peresmian Pelabuhan Marunda tampaknya tak lepas dari perseteruan antara PT KCN dengan PT KBN.

Baca juga : Ribut dengan Luhut, Andre Rosiade Bakal Dilaporkan Ke MKD DPR

Hingga kini , sepertinya perseteruan antara PT Karya Citra Nusantara (PT KCN) dan PT Karya Teknik Utama (PT.KTU) dengan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN-Persero) terus berlanjut tanpa diketahui kapan berakhirnya. Padahal kasus ini sebenarnya sudah dimenangkan PT KBN hingga tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.Namun usaha untuk terus merongrong asset negara terus dilakukan oleh Wardono Asnim (Khe Kun Chai) dan kawan kawannya.

Mereka (PT. KCN yang sudah dikuasai oleh PT.KCU) merasa tidak puas dengan keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta lalu melakukan upaya hukum kasasi ke MA. Putusan majelis hakim kasasi menyatakan PN Jakarta Utara tidak berwenang mengadili perkara a quo. “Berdasarkan Pasal 1 angka 20 dan Pasal 39 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, perjanjian Konsesi a`quo merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara “. Sampai disini diketahui bahwa keputusan MA belum menyentuh pokok perkara yang dipersengkatakan antara KBN dengan PT. KCN.

Baca juga : Disemprot Luhut, Andre Rosiade: Ada yang Kebakaran Jenggot

PT. KBN-Persero adalah perusahaan negara (BUMN) yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah Pusat sebesar 73,15 persen dan Pemprov DKI Jakarta sebesar 26,85 persen. Komposisi saham ini berdasarkan Keputusan Presiden No. 11 tahun 1992. KBN dipercayakan untuk memiliki dan mengelola wilayah usaha yaitu :

Awal Mula Duduk Perkara

Pada tahun 2004, PT. KBN mengadakan kerjasama dengan perusahaan swasta yaitu PT Karya Teknik Utama {PT KTU) yang dimiliki oleh Wardono Asnim (Khe Kun Cai) dan Keluarga. Kerjasama itu dilakukan untuk menyelenggarakan usaha kepelabuhanan di wilayah usaha Pier l, Pier ll dan Pier lll sepanjang bibir pantai kurang lebih 1.700 M mulai dari Cakung sampai Sungai Kali Blencong Marunda Jakarta Utara.

Untuk menyelenggarakan usaha kepelabuhanan ini kedua belah pihak (PT. KBN dan PT. KCU ) sepakat membentuk membentuk perusahaan patungan yang diberi nama PT Karya Citra Nusantara (PT KCN), dengan komposisi saham 15 persen KBN dan 85 % KTU.

Sejak awal kerjasama ini, mengandung masalah karena terdapat indikasi dan usaha sistematis penguasaan dan pengambilan aset negara oleh pihak swasta secara curang yang dilakukan oleh Wardono Asnim (Khe Kun Cai) dan Keluarga. Ketidakberesan dalam kerja sama itu terkuak ketika pada 2012 PT KBN dipimpin oleh manajamen baru di bawah Sattar Taba sebagai Direktur Utama.

Diantara ketidakberesan itu adalah adanya penetapan komposisi saham secara tidak proporsional (PT KBN 15% : PT KTU 85%). Bahkan ada ketentuan di situ yang menentukan kepemlikian saham PT KBN tidak boleh lebih dari 20%.

Pembangunan pelabuhan selanjutnya justru dilakukan oleh PT KTU (Wardono Asnim/ Khe Kun Cai) dan bukan oleh PT KCN yang seharusnya membangun sebagai perusahaan patungan bersama. Sementara pengawas dan penilai pembangunan juga hanya dilakukan oleh PT KTU. Padahal awalnya ditetapkan dan ditunjuk oleh PT KBN dan PT KTU. Selain itu PT KTU tidak pernah menyetorkan modal pada PT KCN yang dijanjikan sejumlah Rp. 1 74.638.900.000.

Dengan adanya permasalahan tersebut pada tahun 2014, Direksi baru yang ditunjuk oleh negara untuk mengurus PT KBN-Persero dibawah pimpinan H.M. Sattar Tabai meminta untuk dilakukan Legal Forensic Audit atas masalah di PT KBN dan Pemeriksaan Khusus oleh BPK Rl (Badan Pemeriksa Keuangan).

Hasil dari Legal Forensic Audit menemukan banyaknya pelanggaran hukum dalam kerjasama tersebut. Kemudian mereka merekomendasikan kepada PT KBN untuk menata ulang kerjasama. Dalam Peraturan Menteri BUMN Rl Nomor PER-13/MBU/09/2014 tanggal 10 September 2014 tentang pedoman Pendayagunaan Aset Tetap Badan Usaha Milik Negara maka terhadap aset-aset yang dinilai merugikan negara harus dilakukan RENEGOISASI atas rekomendasi BPK Rl dan menindaklanjuti Peraturan Menteri BUMN Rl tersebut Direksi PT KBN melakukan renegosiasi dalam kerjasama dengan PT KTU dan tercapai kesepakatan sbb:

Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut, perubahan komposisi saham dan penambahan modal PT KBN di PT KCN telah disetujui oleh pemegang saham PT KBN dalam RUPS PT KBN tahun 2014 dan tahun 2015, dan perubahan komposisi saham tersebut sudah disetujui dan ditetapkan dalam RUPS LB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) PT KCN sesuai Akta No. 13 tanggal 30 Maret 2015 Notaris Harina Wahab Jusuf S.H., dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI No. AHU-0934009.AH.01.02 tanggal 24 April 2015.Selain itu, Wilayah 50% Pier 2 dan 100% dari Pier3 dikembalikan kepada PT KBN Persero dan dituangkan dalam Berita Acara Serah terima tanggal 30 Mei 2014, dan diketahui Notaris Marsudi, SH.

PT KBN telah menyetorkan tambahan modal di PT KCN sejumlah Rp 138.694.133.529. Sisa yang belum disetor sejumlah Rp 155.423.566.471. Sisa tersebut belum dibayar lunas atas perintah pemegang saham Gubemur DKI Jakarta karena ternyata PT KCN sudah membangun sarana pelabuhan padahal tidak memiliki ada ijin reklamasi, tidak memiliki ijin AMDAL dan telah melanggar Perda No.1 dan Tata Ruang Pemprov. DKl Jakarta, sehingga pada tahun 2016 wilayah pelabuhan tersebut disegel oleh Pemda DKI Jakarta (Gubernur Basuki Tjahaja Purnama/Ahok).

Hingga saat ini, PT KTU tidak membayar tambahan setoran modal sebagaimana kesepakatan dan hasil RUPS PT KCN, dengan alasan yang tidak jelas. Pada sisi lain, pada tahun 2016 PT KTU (Wardono Asnim/ Khe Kun Cai) mencari cara lain untuk menguasai asset negara tersebut secara tidak benar, yaitu dengan mengadakan perjanjian konsesi dengan KSOP V Marunda selama 70 tahun tanpa persetujuan dari PT. KBN (Persero) dan tanpa persetujuan Menteri BUMN dan Pemda DKI.

onsesi itu juga tanpa Keppres, dimana dalam keppres menyebutkan bahwa penambahan, pengurangan dan perubahan harus melalui Keppres. Dan salah satu syarat perjanjian konsesi adalah hak atas tanah dikuasai oleh BUP yang mana hal tersebut tidak dipenuhi oleh PT. KCN.

Hal tersebut sangat merugikan PT KBN yang dihitung sejumlah Rp. 1.820. 949.800.000,- (satu triliun delapan ratus dua puluh miliyar sembilan ratus empat puluh sembilan juta delapan ratus ribu rupiah) perhitungan tersebut sesuai hasil penilaian KJPP Sucofindo. Karena merasa dirugikan, akhirnya PT KBN mengajukan gugatan ke pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Hasilnya baik pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi memenangkan gugatan PT KBN.

Konsesi akhirnya dibatalkan oleh Pengadilan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 70/Pdt. G/2018 /PN. Jkt. Utr, tanggal I Agustus 2018, dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 754/Pdt/2018/PT, DKl tanggal 10 Januari 2019.

Banyak pihak yang mendukung keputusan Pengadian Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memenangkan PT KBN tersebut. Politikus HM Darmizal MS misalnya, memandang kasus ini dari sisi kehadiran negara dalam penguasaan aset strategis (mediaindonesia.com, (12/9/2019), Negara Mutlak Hadir di Pelabuhan Marunda).

Ketua Umum Relawan Jokowi (ReJO) itu melihat bahwa peran negara di Pelabuhan Marunda seharusnya lebih dominan ketimbang swasta, jangan di balik-balik. “Pelabuhan Marunda harus dipandang tidak hanya sebagai wilayah ekonomi, tempat aktivitas dunia usaha, tetapi juga harus dilihat dari aspek geopolitik. Pelabuhan merupakan bagian dari konsep wawasan nusantara yang meliputi darat, laut dan udara. Itulah sebabnya negara harus menjadi pengelola utama di Pelabuhan Marunda,” tegas Darmizal yang juga mantan Wakil Ketua Komisi Pengawas Partai Demokrat.

Politikus yang juga merupakan salah seorang pendiri Partai Demokrat itu melihat Pelabuhan Marunda sebagai aset negara yang mewakili kepenitingan rakyat banyak sehingga harus dikelola oleh negara dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Sehingga, pengelolaan Pelabuhan Marunda tidak bisa dilihat dari sisi untung rugi saja, tetapi aspek kedaulatan negara.

Karena itu pula, pengamat kebijakan publik Yenny Sucipto berpendapat Pemprov DKI memang berhak melaporkan Khe Kun Cai sebagai pemilik PT KTU ke pengadilan. “Pemilik perusahaan bisa bisa dilaporkan baik secara perdata maupun pidana, terkait penguasaan aset tersebut,” kata Yenny Sucipto kepada Breakingnews.com, Selasa (10/9/2019).

Gugatan itu juga wajar dilayangkan oleh Pemprov DKI karena hingga saat ini tidak ada laba yang diperoleh oleh Pemprov DKI sehingga terindikasi kehadiran PT KTU di Pelabuhan Marunda hanya sekadar untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Dari dua contoh pandangan tersebut tergambar mengapa kasus ini mampu menyedot perhatian publik. Yakni, kasus ini memiliki dimensi kepentingan lain yang jauh lebih besar ketimbang sekadar sebagai sengketa dunia usaha. Yakni kepentingan bangsa dan negara dan rakyat Indonesia yang tidak bisa begitu saja dialihkan untuk kepentingan orang per orang.

Meskipun mendapatkan dukungan publik yang luas, namun suara suara ini rupanya tidak dihiraukan oleh pihak PT. KTU.Khe Kun Cai alias Wardono Asnim pemilik PT. KTU. Mereka berupaya untuk tetap melanjutkan perjuangannya “menyikat” aset negara. Mereka menuduh PT KBN telah mengganggu investasi swasta. Wardono Asnim (Khe Kun Cai ) dan keluarga berteriak ke mana-mana dan memohon berbagai bantuan kepada para pejabat untuk melindungi usahanya guna mengambil aset negara secara tidak sah dan melaporkan PT KBN dan direksinya yang dianggap mengganggu program pemerintah dalam berinvestasi membangun infrastruktur.

Puncak ketidakpuasan itu dilakukan oleh PT. KCN (yang telah dikuasai kubu PT. KTU) dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 10 September lalu, Mahkamah Agung (MA) yang merupakan puncak peradilan tertinggi mengabulkan kasasi yang diajukan PT KCN lewat kuasa hukumnya Juniver Girsang. Namun keputusan MA belum masuk ke pokok perkara hanya terkait dengan kewenangan dalam mengadili dimana majelis hakim kasasi MA menyatakan PN Jakarta Utara tidak berwenang mengadili perkara a quo. “Berdasarkan Pasal 1 angka 20 dan Pasal 39 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, perjanjian Konsesi a`quo merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.

Negara Mestinya hadir

Mencermati kasus yang terjadi di kawasan pelabuhan Marunda, awalnya kasus ini terlihat seperi persoalan bisnis murni, namun menyimak lebih jauh kisruh ini ternyata memiliki dimensi luas, bahkan menyentuh mengenai persoalan kehadiran negara atas pada penguasaan aset negara.

Kehadiran negara dalam penguasaan aset strategis merupakan keharusan untuk melindungi kepentingan bangsa. Aset strategis negara seperti pelabuhan yang merupakan kepentingan orang banyak misalnya harus dikuasai negara agar rakyat memperoleh manfaat sebesar-besarnya, bukan untuk kalangan tertentu atau kepentingan orang per orang saja.

Hal tersebut dipandang penting untuk diingatkan kembali mengingat banyak aset strategis yang jatuh ke tangan orang-orang tertentu bahkan kepada pihak mancanegara. Salah satu contohnya adalah Pelabuhan Marunda yang kini tengah dilanda kisruh pengelolaannya dalam hal ini adalah antara BUMN melalui PT. KBN dengan PT Karya Teknik Utama (PT KTU) yang merupakan perusahaan swasta.

Kasus seperti di Pelabuhan Marunda seharusnya tidak perlu terjadi karena pelabuhan merupakan aset strategis negara yang tentunya harus dikuasai dan dikelola oleh BUMN yang mewakili negara.Dalam hal ini Pelabuhan Marunda harus dipandang tidak hanya sebagai wilayah ekonomi, tempat aktivitas dunia usaha, tetapi juga harus dilihat dari aspek geopolitik.

Pelabuhan merupakan bagian dari konsep wawasan nusantara yang meliputi darat, laut dan udara. Itulah sebabnya negara harus menjadi pengelola utama di Pelabuhan Marunda.

Apa yang terjadi di pelabuhan Marunda bisa disebut hanya salah satu dari sekian banyak aset negara yang mencoba untuk dipindahtangankan ke pihak swasta dari penguasaan negara. Fenomena ini sebenarnya bukan hanya terjadi saat ini saja. Jauh sebelumnya, sudah ada upaya upaya untuk “menilep” aset negara strategis seperti halnya pelabuhan Marunda.

Dimulai pada tahun krisis ekonomi 1997, para agen Neoliberalisme atau Neolib memanfaatkan situasi untuk merangsek masuk ke jantung negara.Neolib menawarkan resep kepada Indonesia, resep tersebut berbunyi sebuah negara yang mengalami keterpurukan ekonomi akan di berikan bantuan jika negara tersebut melakukan stabilisasi ekonomi makro,Liberalisasi dan Privatisasi.Pemerintah Indonesia pada titik ini hanya memiliki sedikit pilihan dan terpaksa memutuskan untuk mengadopsi kebijakan Neoliberal yang jelas jelas bertentangan dengan Pancasila.

Lalu apa yang terjadi pada saat Pemerintah Indonesia mengadopsi kebijakan Neoliberal yang bertentangan dengan Pancasila ?. Terjadi perubahan kebijakan perekonomian nasional, seperti penghapusan bea masuk impor untuk produk pertanian dan perkebunan, peningkatan penerimaan pajak, restrukturisasi perbankan dan privatisasi BUMN, restrukturisasi sektor energi dan sektor lingkungan, privatisasi BCA, Bank Niaga dan masih banyak lagi yang lainnya.

Harus diakui kelompok kaum Neolib telah berhasil membalik peta penguasaan sumber-sumber vital yang menentukan hajat hidup orang banyak yang sebelumnya dikuasai oleh negara/ pihak domestik, kemudian menjadi milik asing alias mancanegara. Saat ini fakta menunjukkan 85% saham BUMN dikuasai oleh asing. Sebagai contoh industri telekomunikasi di kuasai oleh operator asing: Mulai dari Telkomsel, operator seluler terbesar di Asia Tenggara dengan 35% saham milik Singapura.

Pemerintah Jokowi yang mengusung semangat trisakti dan nawacita seyogyanya mewaspadai adanya ancaman penguasaan aset aset negara baik oleh swasta dalam negeri maupun asing atau mancanegara. Namun kita pesimis hal itu bisa dijalankan sesuai harapan kita semua.

Karena beberapa jejak digital yang bertebaran, justru kita menemukan adanya instruksi dari Presiden Joko Widodo untuk segera menjual banyak asset Negara bangsa Indonesia dan penjualan itu ditujukan kepada pihak swasta yang kita tidak jelas siapa saja mereka yang swasta itu dan siapa dalang dibelakangnya.

Sangatlah berbahaya bagi bangsa dan Negara Indonesia jika seorang Presiden berniat kuat menjual “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai oleh negara".

Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan perjalanan bangsa Indonesia kedepannya. Seyogyanya seorang pemimpin yang dengan mudah menjual Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara", dinyatakan sebagai pemimpin yang telah melanggar UUD 1945 khususnya Pasal 33.

Namun hal ini tidak terjadi yang ada hanya semacam pembiaran berkepanjangan sampai akhirnyanya rakyat yang harus menanggung akibatnya.
Jika seorang pemimpin sudah terkesan abai terhadap upaya menjaga aset negara atau bahkan menjualnya maka kita tidak akan bisa berharap banyak kepada tipe pemimpin yang mempunyai sikap seperti itu.

Sehingga kasus kasus penguasaan aset oleh swasta akan dianggap sebagai hal yang biasa biasa saja. Jika pada akhirnya pengelolaan pelabuhan Marunda jatuh ke tangan swasta maka hal ini akan semakin menyempurnakan penguasaan swasta atas aset aset strategis bangsa.