Ulasan Hukum Status Tanah Bodong Central Park Agung Podomoro

Jakarta, law-justice.co - Tanah sangat strategis di kawasan Tanjung Duren seluas 12,5 hektar, kini di atasnya berdiri bangunan mewah milik pengembang Agung Podomoro Land, seperti kawasan serba guna Central Park, Apartemen Mediterania, Neo Soho shopping mall, bahkan kantor Polsek Tanjung Duren. Siapa yang menduga walau sudah berdiri bangunan sangat megah, ternyata status tanah bermasalah alias bodong.

Tanah itu saat ini dikuasai pengembang Agung Podomoro berdasarkan sertifikat tanah HGU yang dikeluarkan oleh BPN no. 2457, 2696, 2996 atas nama PT Sinar Slipi Sejahtera beserta turunan dan pecahan-pecahannya atas nama PT Tiara Metropoitan Jaya serta sertifikat no. 2845 yang dipecah menjadi sertifikat HGB no. 227, no. 228 atas nama PT Bank Dewa Rutji beserta turunan dan pecahan-pecahannya atas nama PT Tiara Metropolitan Indah.

Sampai kini tidak jelas apa dasar BPN mengeluarkan sertifikat HGU tersebut. Karena tanah dikawasan itu sebenarnya telah  terdaftar sebagai Verponding Indonesia milik ahli waris yang bernama Munawar bin Salbini. Oleh sebab sertifikat yang telah dikeluarkan oleh BPN atas nama pengembang dianggap bodong. Dan karena itu pula  Pengadilan Negeri Jakarta Barat no. 350/Pdt.G/2001/PN.JKT.BAR, tanggal 16 Juli 2002  yang diperkuat dengan Putusan PK Mahkamah Agung RI no. 320 PK/PDT/2007, tanggal 17 Desember 2007, disebutkan bahwa sertifikat-sertifikat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tanah tersebut seharusnya dikembalikan kepada ahli waris.

Namun sampai saat ini putusan Pengadilan tersebut diatas tidak dilaksanakan dengan berbagai dalih dan alasan yang mengindikasikan adanya komplotan mafia tanah dan kekuatan jahat sehingga membuat eksekusi tidak pernah bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Beginilah potret buram  dari fakta dan realita penegakan hukum di negeri yang katanya berdasarkan hukum tersebut. Ironis..!

Alas Hak Atas Tanah

Sebelum pembahasan soal status tanah di Tanjung Duren, ada baiknya dipahami dahulu beberapa istilah yang terkait dengan hak bukti kepemilikan tanah: 

  1. Girik

Istilah ini kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Di masyarakat biasanya digunakan untuk merujuk pada tanah yang belum bersertifikat. Tanah Girik adalah tanah yang dikuasai oleh salah satu pihak yang memiliki girik alias bukti pembayaran pajak atas tanah yang bersangkutan kepada otoritas kolonial. Girik bukan bukti kepemilikan tanah atau hak atas tanah. Girik hanya bukti pembayaran pajak belaka. Maka dari itu, UU PA mengamatkan untuk melakukan konversi tanah, salah satunya tanah Girik ke dalam tanah berhak sesuai UUPA. UU PA mengamanatkan bahwa pelaksanaan konversi tanah tersebut harus selesai dalam 20 tahun.

Namun, realita di masyarakat adalah masih banyak tanah yang belum dikonversi. Oleh karena itu sebaiknya segera konversi tanah Girik melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Terkadang Pemerintah juga mengadakan program ‘pemutihan’ yang dapat diikuti oleh pemilik tanah Girik.

  1. Tanah Eigendom

Tanah Eigendom adalah tanah yang memiliki status hak milik pada rezim aturan pertanahan kolonial. Tanah Eigendom pada asasnya hanya dapat dimiliki oleh masyarakat kolonial Eropa dan Timur Asing. Hanya saja, masyarakat pribumi yang mau haknya atas tanah dipersamakan dengan bangsa Eropa dan Timur Asing, dapat pula memiliki tanah eigendom dengan status sebagai tanah Agrarische Eigendom.

  1. Tanah Eigendom Verponding

Tanah Eigendom Verponding hampir sama dengan tanah Eigendom. Tanah Eigendom Verponding adalah tanah berhak milih khas rezim pertanahan kolonial barat bagi masyarakat pribumi. Hanya saja, bukti kepemilikannya sebatas verponding alias surat tagihan atas pajak tanah dan bangunan.

Tanah ini juga harus sesegera mungkin dikonversi melalui pejabat pertanahan setempat. Konversi tanah ini memperhatikan ketentuan yang ada di dalam UU PA dan aturan turunannya. Sementara verponding daripada tanah Eigendom Verponding sekarang berubah menjadi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB). 

  1. Tanah Petok D

Tanah Petok D adalah tanah yang memiliki alas hak surat tanah Petok D. Sebelum terbit UU PA pada tahun 1960, status tanah Petok D dipersamakan dengan tanah yang memiliki surat kepemilikan tanah alias setara dengan sertifikat tanah. Akan tetapi, pasca UU PA, maka status tanah Petok D tak ubahnya tanah Girik sehingga harus dikonversi sesuai dengan ketentuan UU PA.

  1. Tanah Letter C

Letter C sendiri adalah buku register pertanahan yang ada di desa atau kampung atas kepemilikan tanah di lokasi tersebut secara turun temurun. Letter C tersimpan di kepala desa masing-masing. Yang diberikan kepada warga biasanya hanya kutipan letter c tersebut, girik, petok D, dan lain sebagainya. Dengan kata lain tanah Letter C bermakna bahwa tanah tersebut secara lengkap tercatat di buku Letter C dan terdapat bukti lainnya berupa girik, kutipan letter c, dan lain sebagainya pada pemilik tanah.

Letter C sendiri biasanya berisikan: Nomor Buku C; Kohir; Persil, Kelas Tanah, adalah suatu letak tanah dalam pembagiannya atau disebut juga (Blok); Kelas Desa, maksud dari kelas desa adalah suatu kelas tanah yang dipergunakan untuk membedakan antara darat dan tanah sawah atau diantara tanah yang produktif dan non produktif ini terjadi pada saat menentukan pajak yang akan dipungut; Daftar Pajak Bumi yang terdiri atas Nilai Pajak, Luasan Tanah (dalam meter persegi) dan Tahun Pajak; Nama Pemilik Letter C, nama pemilik ini merupakan nama pemilik awal sampai pemilik terakhir; Nomor urut pemilik; Nomor bagian persil; dan Tanda Tangan dan stempel Kepala Desa/Kelurahan.

Tanah Letter C tidak serta merta sudah kuat bukti kepemilikannya. Tetap saja demi keamanan, tanah Letter C tetap sebisa mungkin dikonversi ke sertipikat tanah. Untuk melakukan konversi, silahkan datang ke kantor pertanahan setempat dengan membawa bukti kepemilikan tanah yang bersangkutan. 

Upaya Konversi Tanah Verponding

Dalam buku “Kamus Hukum” terbitan Indonesia Legal Center Publishing, eigendom berarti hak milik mutlak. Sedangkan, verponding artinya sebagai harta tetap. Pengaturan eigendom sendiri berada di Pasal 570 Buku ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan telah dinyatakan dicabut oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Kemudian, Pasal I ayat (1) Bagian Kedua UUPA mengatur tentang konversi hak atas tanah eigendom menjadi hak milik.

Jadi setelah Indonesia merdeka, pengakuan hak kepemilikan tanah kemudian diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dan menurut UU No.5 Tahun 1960, tanah verponding harus dikonversi menjadi jenis hak tanah yang sesuai.

Di dalam UUPA memang tidak mengatur tata cara konversi hak atas tanah. Meski demikian, setelah pemberlakuan UUPA, setiap orang wajib mengonversi hak atas tanah verponding-nya menjadi hak milik selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980. Hak kepemilikan tersebut adalah dalam bentuk dokumen yang disebut dengan sertifikat tanah.Menurut PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat ialah surat tanda bukti hak atas tanah dan bangunan. Sertifikat sendiri dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) lewat kantor pertanahan masing-masing wilayah.

Biasanya, sertifikat dicetak dua rangkap: satu rangkap disimpan di kantor BPN sebagai buku tanah, dan satu rangkap dipegang seseorang sebagai tanda bukti kepemilikan atas tanah dan bangunan. Arsip buku tanah tercantum data detail mengenai tanah, mencakup data fisik maupun data yuridis, contohnya luas, batas-batas, dasar kepemilikan, dan data pemilik.

Sementara itu, data fisik tanah dalam Surat Ukur yang terlampir dalam sertifikat hanya berupa ukuran luas dan tidak melampirkan ukuran lainnya secara detail. Selain itu, data bangunan juga tidak dicantumkan dalam sertifikat. Keterangan yang tercantum hanya tertera jika di atas tanah tersebut terdapat bangunan.

Sertifikat tanah terdiri dari beberapa jenis, antara lain sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Adapun, untuk SHM hanya diperuntukkan untuk warga Negara Indonesia. Sementara HGU dan HGB diperbolehkan dimiliki oleh warga asing, namun dalam jangka waktu tertentu.

Jadi mengapa tanah Verponding harus dikonversi? Sebab hak atas tanah verponding berasal dari sistem hukum perdata barat. Sedangkan UUPA ditujukan sebagai hukum agraria nasional yang berbeda dengan hukum agraria sebelumnya. Dan sebenarnya konversi harus dilakukan setelah UUPA diundang-undangkan, atau paling lama dua puluh tahun setelahnya.

Namun karena ketidaktahuan masyarakat atau ketidakmampuan mengurus konversi tanah verponding menjadi sertifikat, sampai saat ini masih banyak orang yang belum mengonversi hak atas tanahnya. Padahal langkah pembuatannya cukup mudah sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam Pasal 32 PP 24/1997. Di sana tertulis bahwa jika ada pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya suatu sertifikat tanah dalam jangka waktu 5 tahun setelah penerbitan, maka mereka bisa mengajukan tuntutan.

Adapun tata cara konversi dari Verponding ke sertifikat adalah dengan menyiapkan beberapa dokumen seperti: (1).Alat-alat bukti tertulis (peta/surat ukur) dan (2). Keterangan saksi atau yang bersangkutan diakui kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dan Kepala Kantor Pertanahan. Kemudian serahkan dokumen ke kantor pertanahan setempat untuk diproses lebih lanjut.

Karena rentang waktu yang panjang, tanah verponding sangat rentan menjadi tanah sengketa. Sebab, belum ada kekuatan hukum yang mengikat pemegang hak yang sebenarnya. Maka jangan heran jika ada kasus penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama orang lain yang bukan pemilik sah atas sebidang tanah. Ini pula yang barangkali terjadi pada kasus tanah di Tanjung Duren dimana pemegang alas hak berupa Verponding atas nama H. Munawar tapi secara riil tanah dikuasai oleh pengembang Agung Podomoro berdasarkan sertifikat HGU yang dikeluarkan BPN dan diduga bodong.

Mengenai kedudukan tanah verponding, maka berdasarkan Bagian Kedua (Ketentuan Konversi), Pasal I Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), disebutkan bahwa hak eigendom atas tanah yang ada saat berlakunya UUPA menjadi hak milik.Ketentuan konversi tersebut berlaku selama pemilik hak eigendom atas tanah tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UUPA.

Namun tidak semua hak eigendom atas tanah selalu dapat dikonversikan menjadi hak milik. Sebab terdapat ketentuan-ketentuan lain yang mengatur konversi hak eigendom atas tanah menjadi hak pakai, hak guna bangunan, maupun hak guna usaha. Dalam hal terjadi sengketa pertanahan atas tanah yang dikuasai dengan surat Verponding Indonesia, maka surat itu dapat dipakai sebagai dasar atau alas hak kepemilikan tanah seseorang yang bersengketa.

Kekuatan hukum surat itu dalam hal terjadi sengketa, semuanya tergantung dari asas kebenaran dan keadilan dari masing-masing alas hak yang jadi dasar dalam sengketa. Sistem pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem pendaftaran negatif, yaitu sepanjang dapat dibuktikan sebaliknya, maka nama subyek hak yang tercantum dalam sertifikat dapat dibatalkan.

Dari pengaturan PP 24/1997 tersebut, kiranya jelas sampai saat ini konversi tanah eigendom masih dapat dilakukan melalui pendaftaran hak-hak lama, sehingga statusnya berubah menjadi hak milik.

Kejahatan Oleh Pejabat Negara dalam Kasus Pendaftaran Tanah

Tanah di Tanjung Duren dimana pemegang alas hak berupa Verponding atas nama H. Munawar tapi secara riil tanah dikuasai oleh pengembangn Agung Podomoro berdasarkan sertifikat HGU yang dikeluarkan BPN dan diduga bodong. Diduga kuat sertifikat HGU yang dikeluarkan BPN tersebut merupakan hasil dari rekayasa pihak tertentu yang berkolaborasi dengan Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yaitu pejabat BPN karena serifikat hak atas tanah adalah suatu produk hukum Pejabat TUN sehingga atasnya berlaku ketentuan-ketentuan Hukum Administrasi Negara.

Atas perbuatan hukum tersebut seseorang selaku pejabat TUN dapat saja melakukan perbuatan yang terlingkup sebagai perbuatan yang melawan hukum baik karena kesalahan (schuld) maupun akibat kelalaian menjalankan kewajiban hukumnya.

Dengan adanya  perbuatan yang salah atau lalai tersebut menghasilkan produk hukum sertifikat yang salah, baik kesalahan atas subyek hukum dalam sertifikat maupun kesalahan atas hukum dalam sertifikat tersebut. Kesalahan mana telah ditenggarai terjadi dalam berbagai proses pendaftaran tanah di kawasan Tanjung Duren.

Kesalahan dalam pembuatan sertifikat tersebut bisa saja karena adanya unsur penipuan (bedrog), kesesatan (dwaling) dan atau paksaan (dwang), dalam pembuatan data fisik maupun data yuridis yang dibukukan dalam buku tanah. Dengan demikian sertifikat yang dihasilkan  berakibat batal demi hukum sebagaimana keputusan Pengadilan yang hingga kini tidak dieksekusi.

Adapun  bagi subjek yang melakukan hal tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Apabila perbuatan dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara/BPN maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai onrechtmatige overheidsdaad atau penyalahgunaan kewenangan dari pejabat Tata Usaha Negara.

Perbuatan hukum Pemerintah/BPN dalam melakukan pendaftaran tanah dan menerbitkan sertifikat sebagai suatu perbuatan hukum, untuk menimbulkan keadaan hukum baru dan melahirkan hak-hak serta kewajiban-kewajiban hukum baru terhadap orang/subyek hukum tertentu, harus memenuhi syarat-syarat dan tidak boleh mengandung unsur kesalahan baik menyangkut aspek teknis pendaftaran tanah maupun aspek yuridis.

Kesalahan dalam hal ini berakibat batal atau dapat dibatalkan. Karena kesalahan data fisik maupun data yuridis dalam pendaftaran tanah akan menghilangkan unsur kepastian hukum hak atas tanah, sehingga orang yang berhak terhadap tanah tersebut akan dirugikan. Kesalahan juga akan berakibat terjadinya informasi yang salah di BPN sebagai alat kelengkapan negara yang akibatnya juga berarti menciptakan administrasi pertanahan yang tidak tertib.

Di dalam KUHP dapat ditemukan ketentuan yang mampu secara minimalis menjaring pelaku tindak pidana di bidang pendaftaran tanah, yaitu antara lain dengan menggunakan Pasal 406 ayat (1) jo Pasal 407 ayat (1) KUHP, pelanggaran terhadap pasal 265 KUHP tentang Pemalsuan surat dan Pasal 55 KUHP tentang Penyertaan (delneming) jo Pasal 385 KUHP tentang Perbuatan Curang (bedrog).

Dalam kasus penerbitan sertifikat HGU milik PT. Agung Podomoro yang diduga bodong, patut diduga adanya indikasi kolusi yaitu kolusi diantara para pihak terkait sehingga sampai sertifikat HGU tersebut bisa diterbitkan . Mereka yang diduga terlibat seperti, Lurah/ Kepala Desa, Camat dan sebagainya. Peran Kepala Desa ataupun Lurah sangat menetukan dalam hal pembuatan surat keterangan tidak adanya silang sengketa yang kemudian dikuatkan dengan surat keterangan Camat setempat terhadap tanah yang bersangkutan.

Kongkalingkong ini tidak mustahil  terjadi kerena adanya kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat atas tanah. Adapun perbuatan kongkalingkong  tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana memberikan keterangan palsu/pemalsuan dokumen, yang dilakukan dengan penyertaan/turut serta (deelnemiing), perbuatan mana diancam dengan pasal 263 dan 264 KUHP yang ditegaskan sebagai berikut:

 Pasal 263 KUHP:

(1).Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 6 tahun;

(2).Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan yang terdapat pada Pasal 263 di atas adalah sebagai berikut:

Pasal 263 Ayat (1), Unsur Objektif: 

  1. Perbuatan, yaitu: (i) membuat palsu; atau (ii) memalsukan
  2. Objeknya adalah surat`, (i) yang dapat menimbulkan sesuatu hak; (ii) yang menimbulkan suatu perikatan; (iii) yang menimbulkan pembebasan hutang; atau (iv) yang diperuntukkan sebagai bukti pada sesuatu hal.
  3. Dapat menimbulkan kerugian dari pemakaian surat tersebut.

Unsur Subjektif: Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.

Pasal 263 Ayat (2)

Unsur Objektif: 

  1. Perbuatan, yaitu: memakai.
  2. Objeknya adalah: (i) Surat palsu; (ii) Surat yang dipalsukan; atau (iii) pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian

 Unsur Subjektif : Dengan sengaja

Pemalsuan surat yang diperberat. Hukuman maksimum dinaikan menjadi 8 (delapan) tahun penjara apabila menurut Pasal 264, pemalsuan dilakukan terhadap:

  1. Akta-akta otentik;
  2. Surat hutang atau surat tanda hutang (certificaat) dari suatu negara atau bagian dari negara itu atau dari suatu lembaga umum (openbare instelling);
  3. Sero atau surat hutang (obligasi) atau surat tandanya dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan;
  4. Talon atau deviden atau tanda bunga dari surat-surat tersebut di atas ke-2 dan ke-3;
  5. Surat kredit atau surat dagang yang dapat diedarkan. Pemakaian surat ini dapat dihukum dalam Ayat (2).

Terhadap para pihak yang diduga  terlibat dalam kejahatan pendaftaran tanah maka penyidik Polri perlu menentukan apakah perbuatan penyertaan/turut serta (deelneming), apakah termasuk turut serta yang berdiri sendiri (zelf standing deelnemers) atau termasuk turut serta yang assesoir (accessoire deelnemers). Penentuan ini adalah untuk menentukan pertanggung jawaban pelaku, apakah pelaku itu masing-masing berdiri sendiri, dengan kualitas perbuatan yang berbeda dan hukuman yang berbeda bagi masing-masing pelaku.

Atau apakah perbuatan itu dilakukan antara pelaku dengan pelaku lainnya, saling berhubungan satu sama lain dalam arti perbuatan yang satu dianggap ada jika adanya perbuatan dari pelaku yang lain, sehingga pertanggung jawaban pelaku dinilai sama dan dijatuhin hukuman yang sama. Seyogyanya para petugas BPN sebagai instansi yang berwenang, dalam hal penerbitan sertifikat hak-hak atas tanah, perlu terlebih dahulu memeriksa rekaman data fisik dan data yuridis dalam buku tanah, supaya penerbitan sertifikat tidak tumpang tindih atau terdapat dua sertifikat atau lebih di atas satu  bidang tanah termasuk  pula adanya Hak Guna Usaha (HGU).

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan mengadukan masalahnya ke pihak kepolisian, maka pihak Polri harus melakukan investigasi tentang proses, prosedur, dan jika perlu atas kewenangannya dapat melihat buku tanah yang bersangkutan, berdasarkan Pasal 131 dan Pasal 132 KUHAP.

Dalam rangka penyidikan kasus tersebut, pihak Polri dapat mempergunakan hukum pidana umum. Pembuktian yang menyangkut peristiwa pidana tersebut dapat dilakukan sesuai dengan  Pasal 164 HIR/Pasal 184 KUHAP yang dimulai dari bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, pengakuan dan sumpah yang dapat diambil dari dokumen para saksi maupun tersangka dalam kasus tersebut. Diantara bukti tersebut yang paling dominan diperhatikan adalah bukti tertulis baik dalam akta autentik maupun dalam bukti tulisan lainnya.

Penanganan kasus pendaftaran tanah ini tentunya akan menjadi lebih sulit dan rumit jika ternyata para pihak yang terkait dalam kasus ini melibatkan mafia tanah yang lebih luas, bukan saja pihak pejabat Negara dan jajarannya tetapi juga aparat kepolisian yang menyidiknya. Kasus seperti sering terjadi manakala sengketa tanah itu melibatkan para pemodal besar yang sengaja bermain di sektor pertanahan.

Jika ini terjadi maka penegakan hukum tak ubahnya seperti  menegakkan benang basah saja.Kemungkinan ini yang terjadi dalam kasus sengketa tanah di kawasan Tanjung Duren yang melibatkan pemodal kakap. Kalau sudah begini kondisinya maka diperlukan dukungan dan political will dari pengambil keputusan yang lebih tinggi posisinya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Tanpa terobosan kebijakan seperti ini kiranya penegakan hukum dan keadilan hanya akan menjadi utopia belaka.