Gunawan Wiradi, Melanjutkan Hidup Sebagai Korban G30S

law-justice.co - Gerakan 30 September 1965, yang terjadi 54 tahun lalu telah mengubah kehidupan banyak orang. Peristiwa berdarah itu diperkirakan memakan korban jiwa antara 500 ribu hingga satu juta manusia. Sementara jutaan lainnya dijadikan tahanan politik tanpa proses pengadilan dan berstatus rehabilitir, sehingga terpaksa kehilangan karier dan pekerjaannya, termasuk di institusi pemerintahan.

Sebagian besar korban yang terdampak oleh kejadian ini adalah anggota, simpatisan, dan orang-orang yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk berbagai organisasi yang berada di bawah payung partai (onderbouw). Sisanya, mereka yang berasal dari berbagai profesi yang dianggap sebagai pendukung kekuasaan lama, diantaranya para dosen.

Ketika Peristiwa G30S meletus, dosen-dosen tersebut  sedang  melanjutkan pendidikan ke negara-negara yang dicap komunis, seperti Tiongkok, Uni Soviet, dan Cekoslovakia, melalui program beasiswa. Walhasil ketika pulang ke Indonesia,  mereka tak dapat melanjutkan kariernya di bidang pendidikan karena ditangkap kemudian dipenjarakan oleh aparat.

Bukan hanya itu,  para dosen muda yang sedang meniti karier di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta pun ikut diciduk. Alasannya, ketika menjadi mahasiswa mereka menjadi anggota atau pernah datang ke acara yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi bawahan PKI. Begitu pun para dosen yang tergabung dalam perkumpulan profesi yang berafiliasi dengan partai yang sama, mengalami nasib serupa.

Hanya segelintir dari para dosen muda ini yang bisa melanjutkan kariernya di perguruan tinggi. Sebagian besar dari mereka di-rehabilitir dan kemudian dipecat karena dianggap terkait dengan peristiwa G30S. Salah satunya adalah seorang dosen Pakan Ternak di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Gunawan Wiradi yang kini dikenal sebagai pakar agraria senior  terkemuka di Indonesia.

Mengenang kembali peristiwa G30S, Gunawan menuturkan apa yang dialaminya, saat pergolakan penggulingan kekuasaan tersebut. Berikut kisahnya:

Peristiwa G30S dalam Ingatan Gunawan Wiradi

Siaran RRI  mengenai Gerakan 30 September (G30S) yang mengudara pada 1 Oktober 1965  yang disusul dukungan dari Menteri Panglima Angkatan Udara (Menpangau)  Marsekal Omar Dhani sama sekali tak menarik minatnya. Meskipun terbesit pertanyaan besar dalam benak, ia tak memusingkan hal itu dan segera terlarut keasyikan bermain kartu bridge bersama teman-temannya  di klub Berlian.

Baru pada sore hari, ketika  berbagai informasi tentang gerakan itu berseliweran, Gunawan mulai bergerak. Bersama seorang saudara yang memiliki kontak dengan militer, ia  memberanikan diri mencari kabar ke Jakarta. Namun dari para prajurit di truk yang ditumpanginya, tak ada tahu soal Gerakan 30  September. Kontak-kontak militer dan  markas partai politik yang dihubunginya, juga menjawab sama.  Akhirnya, Gunawan pulang dengan tangan hampa, sambil menahan sakit ambien yang kronis.

“Waktu itu saya di Bogor, lagi main kartu sama teman-teman, terus dengar pengumuman Untung,  Oemar Dhani, saya pikir ada apa ini. Tapi baru malamnya saya ke Jakarta. Kebetulan waktu itu ikut truk isinya militer. Selama perjalanan dan ketika sampai di beberapa pos militer, tentara juga nggak tahu peristiwa apa yang sedang terjadi, kan aneh. Ada apa ini ya?” kata Gunawan.

Kembali ke Bogor, rumah sakit menjadi tujuan  selanjutnya. Betul saja, penyakitnya  ini ternyata cukup parah. Ia  harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama tiga bulan. Selama itu, suratkabar menjadi temannya untuk membunuh kebosanan. Gunawan masih  ingat sebuah berita tentang keluarga Kolonel Katamso yang dikabarkan dibantai secara kejam. Belakangan, dari seorang keponakan istri Katamso, ia  mendapat kabar sang kolonel memang ditembak mati, namun istri dan anak-anaknya selamat.

Meskipun berita di surat kabar itu dilebih-lebihkan, Gunawan  sadar akan terjadi gejolak besar yang mengubah hidup banyak orang karena peristiwa ini. Setelah keluar dari rumah sakit dan beristirahat sejenak di rumah, ia  pun kembali mengajar di kampus. Namun ternyata  keadaan saat itu tidak sama seperti sebelum meletusnya Gerakan 30 September. Persoalannya, peristiwa ini kadung dituduhkan kepada golongan komunis.

“Tidak bisa dipungkiri, secara hukum  formal, PKI bukan sebagai dalang peristiwa G30S, tapi kalau dibilang ada  orang-orang PKI ada yang terlibat, itu juga bukan sesuatu yang salah. Tapi peristiwa ini  bukan dilakukan oleh satu pihak saja. Ada konspirasi, anda musuh saya tapi dalam hal ini kita punya  sama jadi harus saling kerjasama untuk mengalahkan musuh bersama”, ujar pria kelahiran Solo itu kepada law-justice  di kediamannya yang markas Sajogo Institut, Malabar, Bogor.

Akibatnya, banyak mahasiswa yang berafiliasi dengan organisasi kiri, tersingkir dari IPB. Entah itu dikeluarkan oleh pihak otoritas kampus atau diburu oleh rekan-rekannya sendiri yang berasal dari kelompok-kelompok kanan yang didukung oleh tentara. Padahal sebelum peristiwa yang diklaim sebagai percobaan kudeta itu terjadi, hubungan antara mahasiswa kiri dan kanan tak banyak bergejolak, meskipun kadang diwarnai oleh persaingan sengit.

Mahasiswa Kiri VS Kanan

Ketika itu organisasi-organisasi mahasiswa kiri bernaung di bawah International Union of Student (IUS). Sementara beberapa kelompok kanan berafiliasi dengan International Student Conference (ISC). Namun keduanya kemudian bersatu ketika hendak masuk National Union Student (NUS) di bawah organisasi bernama  Perhimpunan Persekutuan- Persekutuan Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Pada mulanya, organisasi itu memang didominasi oleh anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Namun pada 1961 beberapa kelompok mahasiswa lain dari PMKRI, GMKI, GMNI, dan CGMI ikut bergabung. Bahkan setelah Kongres PPMI ke V pada tahun yang sama, banyak pos kepengurusan organisasi ini yang beralih ke anggota CGMI dan GMNI.

“Sebelum tahun 65 itu nggak apa-apa, Anggaran dasarnya jelas  kok CGMI itu, tidak menganut aliran politik, agama. Sifatnya umum, karena itu lahirnya CGMI, Bung Karno pidato inilah kelahiran sebuah integrasi mahasiswa. Jadi nggak sektarian. Banyak mahasiswa jadi anggota CGMI, termasuk saya. dari 18 ribu anggota, itu cuma 2 persen yang benar-benar orang komunis”, kata  Insinyur Pertanian jebolan IPB itu.

Meskipun sedikit terjadi ketegangan antara kelompok mahasiswa kiri dan kanan dalam PPMI, namun hal ini tidak berpengaruh dalam kehidupan organisasi di kampus. Beberapa mahasiswa, seperti Sjamsoe`oed Sajad, kelak dikenal sebagai guru besar Ilmu Budidaya Tanaman di Fakultas Pertanian IPB  tercatat sebagai anggota CGMI dan HMI. Sementara sendiri adalah anggota CGMI dan GMNI. Rekannya, kawannya Sudiarso, menjadi anggota GMKI dan CGMI.

Sementara di Bogor, seingat Gunawan, hanya  perpeloncoan mahasiswa menjadi masalah yang membedakan kelompok mahasiswa kiri dan kanan. Persatuan Mahasiswa Bogor (PMB) merupakan organisasi yang pro-perpeloncoan, sementara Corps Mahasiswa Bogor (CMB) berada di posisi sebaliknya.  Namun atas saran para dosen dari Negeri Belanda yang mengajar di kampus itu, kedua organisasi ini dilebur dalam sebuah wadah baru bernama Masyarakat Mahasiswa Bogor (MMB).

Belakangan, organisasi itu ternyata kembali menyokong praktik perpeloncoan. Hal inilah yang membuat  para anggota eks-CMB tidak nyaman dan menyatakan keluar dari MMB. Mereka kemudian mendirikan organisasi bari bernama Gerakan Mahasiswa Indonesia (GMI).  Ketika itu, ia tercatat sebagai anggota yang kontra perperloncoan ini.

Sebagai gantinya, GMI mengisi masa pengenalan  dengan berbagai kegiatan. Mulai dari kerja bakti, menyanyi, hingga pengenalan tentang proses belajar di sekolah tinggi. Selain itu , karena mayoritas mahasiswanya mengenyam Pendidikan pertanian,  GMI juga mengajak para mahasiswa untuk membantu menyediakan berbagai tanaman yang dibutuhkan oleh masyarakat.

“Ya kalau MMP melakukan perpeloncoan, maka CGMI melakukan kerja bakti. Pada saat penerimaan mahasiswa baru itu kita didik begini lho , terus sudah cara belajar di sekolah tinggi, terus menyanyi, lalu kerja bakti. Di desa sana butuhnya tanaman apa kita kerja.  Sambil ceramah-ceramah, memang politis, tapi politisnya proklamasi gitu”, kata laki-laki kelahian 28 Agustus 1932 itu.

Baru pasca-peristiwa Gerakan 30 September, hubungan antara organisasi mahasiswa kiri dan kanan ini mulai memburuk. Meskipun Pangdam Siliwangi Letjen Ibrahim Adjie berhasil menghindarkan pertumpahan darah di Jawa Barat –kecuali di Subang— dengan segera membubarkan PKI di wilayah itu. Ia juga memperingatkan semua organisasi mahasiswa agar tidak melakukan aksi main hakim sendiri.

Meskipun begitu, penyingkiran, penyiksaan, dan penyerangan mahasiswa kiri oleh mahasiswa kanan yang didukung oleh tentara tetap berlangsung. Seingat Gunawan  hal ini dialami juga oleh para mahasiswa kiri di Bogor. Seperti di daerah-daerah lain, CGMI menjadi organisasi yang dituduh terlibat Peristiwa G30S. Bentrokan antara organisasi mahasiswa terjadi  secara tak seimbang, meskipun tak sampai terjadi pembunuhan.

Para mahasiswa yang tergabung dalam CGMI dan GMNI kerap menjadi sasaran penyerangan yang dilakukan oleh teman-teman yang sebelumnya memiliki hubungan yang baik.  Ketika itu di Bogor setidaknya terdapat dua asrama mahasiswa dari organisasi yang belakangan dibentuk, yaitu KAMI dan KAPPI  yang dipersenjatai oleh tentara. Salah satu sasarannya adalah anak Gubernur Jawa Tengah yang sedang menempuh pendidikan di IPB.

Sebagai anggota GMNI, ia sempat mendapat penyerangan dari rekan-rekannya yang disokong pihak tentara . Suatu ketika, kepala mahasiswa itu sempat dipukul dengan linggis oleh para penyerangnya yang menggunakan penutup kepala.  Namun karena sempat terlibat adu mulut akhirnya identitas sang penyerang itu terungkap melalui suara yang dikenali oleh anak sang gubernur itu.

Selain itu sebuah asrama yang didominasi mahasiswa asal Makassar di kawasan kota Paris—dekat Jembatan Merah— menjadi tempat penyiksaan para mahasiswa yang berafiliasi dengan organisasi kiri. Seorang algojo ternama yang berasal dari Wisma Latimojong itu bernama Arifin. Ia kerap menyiksa rekan sesama mahasiswa  dengan kejam meskipun tak sampai meninggal. Sayangnya,  asrama berlokasi di Jalan Semeru itu sekarang sudah tidak berbekas lagi setelah dibeli oleh Yayasan Al Ghazali.

Peristiwa G30 S juga berdampak pada perpecahan di tubuh partai politik, seperti PNI. Pada saat itu muncul dua faksi, yaitu Ali Sastroamidjojo-Surachman yang pro-Soekarno dan Osa-Usep yang disokong oleh tentara. Perpecahan ini berpengaruh pula pada terbelahnya organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan partai itu, GMNI.

“Ketika itu  Soeharto mau membubarkan PNI. Jadi di satu pihak PKI sudah dibubarkan PNI juga mau dibubarkan. Tapi sahabatnya Pak Harto waktu menyeludup di Semarang,  kemudian jadi Gubernur Jawa Tengah,Sahabatnya Pak Harto sendiri datang bilang kalau  PNI dibubarkan akan terjadi banjir darah kedua, makanya  nggak jadi dibubarin itu partai”, kata Gunawan. 

Gunawan ingat, kedua kelompok ini sempat bentrok di lapangan Sempur setelah peristiwa 1965. Namun pertikaian itu berhenti setelah dua faksi dalam PNI sepakat untuk berdamai. Segera setelah itu, salah satu perwakilan GMNI dari kelompok Osa-Usep sempat bertandang ke rumah adik sepupunya yang menjadi pengurus faksi Ali Sastroamidjojo-Surachman untuk melakukan rekonsiliasi.

Para Dosen yang Tersingkir dari Kampus

Seperti nasib para mahasiswa kiri, para dosen yang pernah begiat di organisasi yang dikaitkan dengan peristiwa G30 S  tersingkir dari IPB. Seingat Gunawan paling tidak ada 11 dosen yang mengalami nasib seperti itu . Salah satu yang ternama adalah Rektor IPB saat itu Kampto Utomo—kemudian lebih dikenal dengan nama Sajogyo. Ia memilih untuk mengundurkan diri agar kampus tak pecah, namun statusnya direhabililitir segera sehingga masih dapat mengajar di IPB.

“Pokoknya mahasiswa ini kan terprovokasi. Mereka hanya mengira-ngira saja siapa yang dianggap komunis. Ini siapa, itu siapa? Makanya asisten pembantu rektor ini namanya Ahani, itu orang HMI, ikut kena juga. Hidir, itu asistennya Pak Thoyib kena juga.  Cuma pak Sajogyo pintar, sebelum dia kena betul dia mundur sendiri, sebagai rektor”, kata peraih Doktr Honoris Causa dari IPB itu. 

Namun  dari sejumlah nama hanya beberapa orang saja beruntung. Dua asisten Sajogyo saat masih menjadi rektor, Ahyani dan Hidir, serta dua  dosen bernama Suhaedi dan Sutomo Brojo termasuk yang bernasib mujur. Hal serupa juga dialami Sjamsoe’oed Sadjad yang disekolahkan ke AS sebelum ditarik lagi sebagai mengajar  di IPB.

Sementara, seorang asisten Sajogyo, Darmadi dan beberapa dosen, seperti Sugeng Sudijatso, Sulaeman Krisnandhi, dan Hendro Suwarno harus mengakhiri kariernya sebagai pengajar karena berstatus bebas tugas, meskipun masih memperoleh gaji hingga akhirnya diberhentikan secara hormat. Gunawan pun termasuk  golongan ini karena mendapat surat pemberhentian  resmi dari rektor Akhmat Satari—dengan embel-embel kenaikan pangkat—pada 1972.

(Sebenarnya) kalau mau ngurus,  saya sebenarnya masih pegawai negeri. Tapi saya ikhlaskan. Saya yang mundur. Saya belum pernah diberhentikan, jadi yang tanda tangan waktu itu Rektor IPB. Jadi istilahnya bukan diberhentikan tapi dibebastugaskan sebagai dosen IPB, tapi tidak tidak diberhentikan sebagai pegawai negeri”, kata Gunawan.

Sampai Maret 1966,  beberapa orang yang tersingkir dari kampus menyibukkan dirinya dengan proses screening yang dilakukan oleh tentara.  Gunawan, misalnya, diperiksa hingga empat kali. Para interogator terdiri dari polisi dan tentara dengan pangkat yang cukup tinggi, kolonel dan jenderal. Hampir dalam setiap pemeriksaan, ia diminta untuk menunjukkan orang-orang yang dianggap komunis.

“Kayak CGMI, semua anggotanya kan dituduh komunis. Padahal zaman Nasakom itu, ini CGMI tidak menganut aliran politik, agama. Jadi waktu ada Nasakom harus nyantol ke partai politik. Nah ini CGMI nyantolnya kemana? Yang kosong PKI, lalu ketuanya waktu itu Hartoyo namanya datangin Aidit. Kamu komunis apa?  Jadi ditolak sebenarnya. Tapi kesannya sudah terlanjur begitu. Apalagi Orde Baru senangnya kan pukul rata,” kata pria 87 tahun ini.

Para polisi dan tentara kerap mendesak Gunawan untuk menyatakan siapa saja yang komunis. Ia pernah berdebat dengan Kolonel Nasution karena menolak mengakui seseorang sebagai komunis. Permasalahannya, orang yang dipersangkakan itu adalah anggota senat di kampus yang dikenalnya betul. Untuk mengintimidasi dirnya, Kolonel Nasution sempat mengebrak meja pemeriksaan. Entah karena refleks atau kaget, ia memukul meja lebih keras lagi. Beruntung seorang Laksmana Laut melerai pertikaian itu.

“Suatu saat, seorang pemeriksa, namanya Kolonel Nasution tiba-tiba menggebrak meja. Saya disuruh menyaksikan si A itu komunis. Saya tahu  dia bukan komunis, karena si A ini pernah jadi anggota saya dalam anggota senat mahasiswa. Tapi, nggak tau kenapa dia masih muda dan otomatis saya pakai cincin, ganti gebrak meja. Saya bilang saya ini  ketuanya.  Saya tahu dia bukan komunis,” kata Gunawan.

Namun selama pemeriksaan, ia mengaku termasuk orang yang beruntung. Sejak awal Gunawan memang mengaku sebagai seorang Soekarnois. Ketika para pemeriksa menuduhnya komunis karena menjadi anggota CGMI, ia menunjukkan AD/ART organisasi yang jelas menyatakan independensi kelompok ini dari kekuatan politik. Selain itu, Gunawan juga memang tak pernah menyembunyikan informasi apapun karena mengetahui para pemeriksa telah memiliki dokumen tentang sepak terjangnya selama ini.

“Saya kadang-kadang mikir, saya punya teman perempuan doktor,  cumlaude lagi. Waktu itu karena dia masuk HSI. Kalau saya kan masuk ISRI, Ikatan Sarjana Republik Indonesia, kalau ini kan Marhaen.  Kalau HSI kan PKI kan, cantolannya. Dia itu perempuan, tapi sama tentara disuruh ngelesot saat pemeriksaan. Jadi kadang-kadang perlakukan kepada saya beda, nggak tau saya kenapa”, kata pria yang memilih hidup melajang ini.

Bahkan seorang interogator pernah berkata kepada dirinya , dibanding orang-orang yang lain yang diperiksa, Gunawan memang berbeda. Banyak orang  mengelak karena takut sehingga dituduh merahasiakan sesuatu. Mereka kemudian mulai merekayasa kebohongan demi kebohongan yang mudah dipatahkan oleh para pemeriksa dengan bantuan dokumen. Persoalannya, ketika hal itu terungkap, para polisi dan tentara tak segan untuk melakukan kekerasan.

“Yang kebanyakan kena ya itu ditanya malah takut kan. Terus bohong, saudara ini, mereka kan punya filenya. Saya punya teman ditugaskan tetapi tidak sebagai dosen  di Palembang sana. Dia ingkar, saudara ini bukan, tentara punya bukti. Itu malah kena.  Saya enggak seperti ini. Tentara memang mengancam tapi saya bilang jangan menuduh macam-macam”, kata laki-laki yang masih berkerabat dengan keluarga keraton Solo itu.

Kembali ke Dunia Penelitian

Hampir seluruh dosen yang disingkirkan dari kampus IPB tak mau ambil pusing terhadap nasib buruk yang menimpa mereka. Banyak diantaranya yang  pekerjaan dan karier karier akademik  begitu saja karena  tak mau pusing dengan hal itu karena tahu ini ada persoalan politik. Pihak otoritas kampus sebenarnya memiliki alasan ketika menyingkirkan para dosen ini, yaitu afiliasi dengan organisasi mahasiswa ketika masih menempuh studi.

Namun argumentasi itu terbantahkan melalui cerita seorang tokoh GMNI yang berperan untuk melakukan pembersihan orang-orang kiri di lingkungan kampus. Seperti dikisahkannya pada Gunawan, mahasiswa yang terprovokasi dan berdemonstrasi itu menetapkan kesebelas nama dosen, seperti memilih pisang goreng saja. Itulah sebabnya, beberapa asisten Sajogjyo ikut masuk daftar nama itu.

Ironisnya penetapan nama-nama yang bersifat subjektif itu benar-benar mengubah jalan karier sosok-sosok yang tak mendapat status rehabilitir. Meskipun selama tujuh tahun dibebastugaskan, statusnya sebagai pegawai negeri tetap melekat dan terus mendapatkan gaji hingga 1972. Ketika memberikan surat pemberhentian dengan hormat dan disertai kenaikan pangkat , pihak kampus malah berujar agar Gunawan  mendapatkan pangkat yang tinggi ketika hijrah ke kampus lain.

“Peristiwa 1965 jelas masalah politik yang bikin rumit.  Jadi aaya ikhlaskan saja pekerjaan dan karier saya di IPB. Bahkan setelah Orde Baru runtuh banyak itu panitia paguyuban korban Orde Baru. Kalau memang mau saya urus, paling hebat dapat uang pensiun. Nggak usah saya bilang”, kata Gunawan.

Persoalannya ketika itu hampir tak ada yang berhasrat untuk kembali ke dunia pendidikan. Selain karena akses yang tertutup, mereka masih trauma untuk kembali mengajar, apalagi stigma tentang komunisme sedang menguat pada saat itu. Walhasil, beberapa orang memilih banting stir dan beralih profesi baik yang masih berhubungan dengan dunia akademik maupun mencari pekerjaan apa saja untuk sekadar bertahan hidup.

Sulaiman Krishnandi, misalnya memilih menjadi seorang penerjemah buku, termasuk kitab Involusi Pertanian yang ternama karya antropolog Clifford Geertz. Belakangan ia malah bekerja di Kedutaan Australia. Namun di luar nama itu, kariernya tak lagi jelas setelah tak lagi menjadi dosen di IPB.  Gunawan sendiri termasuk golongan yang terpaksa bekerja apa saja demi menyambung hidup.

“Saya terlunta-lunta selama tujuh tahun.  Pernah jadi staf employee perkebunan karet, jadi eksor impor perusahaan apa  tapi cuma untuk nyambung hidup saja”, ujar pria lulusan Universiti Sains Malaysia ini.

Sejak 1967, ia mulai meniti karier di berbagai perusahaan. Beberapa kota, seperti Jakarta,  Sumedang, hingga Pacitan pernah disingahinya untuk melakoni rupa-rupa pekerjaan. Mulai dari sekadar staf, wakil direktur, hingga turun mengerjakan proyek pertanian. Namun petualangan itu terhenti pada 1972. Pasalnya sang paman yang baru pulang sebagai Duta Besar di  Swedia meminta dirinya untuk kembali ke dunia akademik.

Meskipun belum tahu caranya, namun ia diminta untuk mempersiapkan diri.  Selama tiga bulan, Gunawan diminta untuk membaca buku-buku di perpustakaan pribadinya. Namun bukan buku-buku pertanian yang  ditekuninya, tetapi kitab-kitab politik dan biografi orang-orang ternama.  Akhirnya jalan untuk kembali ke dunia akademik, terutama penelitian terbuka. 

Mantan dosen dan sejawatnya di IPB dulu,  Sajogyo menawarkan pekerjaan sebagai peneliti lapangan dalam Proyek Survei Agro Ekonomi (SAE) pada 1972. Tawaran itu pun segera disambut Gunawan . Surat lamaran untuk mengisi lowongan itu segera dibuat dan dikirimkan ke mantan Rektor IPB itu. Akhirnya, ia pun diterima dan secara resmi kembali lagi ke dunia riset yang memang digandrunginya sejak dahulu.

“Saya kemudian  melamar. Tapi karena tujuh tahun itu di luar orbit akademik saya diledek sama staf Pak Sajogo yang muda. Tapi saya nggak apa apa, saya belajar.  Tapi karena saya sudah baca banyak buku, sementara anak-anak muda itu cuma mengandalkan pengalaman lapangan jadi terbantu juga. Apalagi ketika itu saya bisa nulis dalam bahasa inggris. Pernah tulisan itu dikirim dan dimuat oleh majalah internasional, ehnama saya mendadak jadi terkenal”, kata Gunawan.

Belakangan, ia pun mendapat kesempatan mendapatkan beasiswa  magister di School of Comparative Social Sciences di University Sains Malaysia (USM) pada 1975.  Setelah dua tahun berstudi, Gunawan   berhasil merampungkan tesisnya yang berjudul Rural Development and Rural Institution : A Study of Institutional Change in Java. Gelar Master of Social Science  pun berhasil diraih  setelah diwisuda pada 1978.

Ia segera  kembali menjadi peneliti dan dosen setelah studi magister rampung. Tawaran dari Wakil Rektor Universitas Mercubuana, A.T. Birowo membuatnya menjadi pengampu mata kuliah Sosiologi (1982-1985). Selaitu itu setelah SEA-SDP dibubarkan, ia  hijrah ke Pusat Studi Pembangunan (PSP) IPB sebagai peneliti tamu.  Oleh Sajogyo, Gunawan  juga diminta mengajar di tingkat magister Sosiologi Pedesaan, serta mengampu mata kuliah  Sosiologi Perdesaan dan Metodologi Penelitian Sosial di Fakultas Pertanian IPB.

Di  luar itu, ia  juga terlibat dalam sejumlah organisasi non-pemerintahan.  Mulai dari pendiri Yayasan Akatiga Bandung,  anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Gunawan  juga aktif di organisasi Bina Desa dan Sajogyo Institute (Sains) hingga sekarang. Selama itu, minatnya pada riset-riset agrarian pun terus berlangsung.

Pada 2009, ia mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) dari IPB. Bagi Gunawan,  gelar itu bukan sekadar pengakuan terhadap kiprah dan pencapaian di bidang agrarian yang menjadi spesialisasinya. Akan tetapi gelar itu juga menjadi alat rehabilitir, seperti yang dirasakan teman-teman seprofesinya dulu, meskipun rasanya agak terlambat.