Pinjaman Online Banyak Makan Korban, Massa Tuntut OJK Bubar

Jakarta, law-justice.co - Aksi massa yang mengatasnamakan Gerakan Bela Korban Rentenir Online melakukan demonstrasi di depan Kantor OJK pada Kamis (15/8/2019).

Dalam aksi tersebut massa berorasi agar OJK segera melakukan pembenahan terhadap sistem pinjaman online yang saat ini sudah memakan banyak korban.

Baca juga : Reuni UII, Ketua MA Baca Puisi

Nicho Silalahi Ketua Gerakan Bela Korban Rentenir Online mengatakan dalam keterangan pers yang diterima oleh Law-Justice.co bahwa financial technologi (Fintech) adalah kamuflase dari industri keuangan yang ingin merampok rakyat negri ini. Dengan kedok Fintech para pelaku industri keuangan ini bermetamorfosis menjadi Rentenir Online dan sungguh sangat brutal merampok rakyat yang kesulitan ekonomi.

Parahnya, lanjut tulisannya, perusahaan – perusahan Rentenir itu hampir seluruhnya tidak mengantongi ijin perbankan / transaksi keuangan dari pemerintah, bahkan Rentenir Online itu juga menggunakan suku bunga gila – gilaan sebesar 50 % / 7-14 hari, sedangkan untuk menurut aturan perbankan itu hanya 15 - 20 % / Tahun serta untuk Kartu kredit hanyanya menggunakan bunga sebesar 2,25 % / Bulan seluruh Indonesia.

Baca juga : Permainan Mengagumkan, Timnas Indonesia U-23 Dapat Bonus Rp23 Miliar

Dengan analogi sebagai berikut: “ Jika seorang debitur/nasabah meminjam kepada Rentenir Online uang sebesar Satu Juta Rupiah, maka korban akan dikenakan modus biaya admintrasi sebesar 200 Ribu Rupiah sehingga dana cash yang diterima oleh korban itu menjadi 800 ribu saja, sedangkan dalam batas waktu 14 hari para korban harus mengembalikan pinjaman sebesar 1,2 juta, demikian kata Nicho dalam rilis itu.

Namun, tambahnya, jika korban tidak melunasi pinjamannya dalam batas waktu yang ditentukan perusahaan – perusahan Rentenir Online maka akan dikenakan bunga harian sebesar 50 – 100 ribu bahkan bisa lebih dari angka itu. Bayangkan saja jika si korban telat membayar hingga 2 bulan maka total keseluruhan hutangnya bisa menjadi 5 – 10 Jutaan (hitungan angka diatas tergantung dengan jenis aplikasi pinjaman onlinenya).”

Baca juga : Bobby Nasution Resmi Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Medan

Jebakan Rentenir Online

Kemudahan, katanya, dalam pencairan pinjaman sengaja mereka buat agar masyarakat semangkin banyak terjerat dalam lilitan utang (telat bayar) sehingga memunculkan ketergantungan pada perusahan Fintech itu sendiri. Dengan terlilit utang maka para korban akan terjerat pada bunga harian yang akhirnya membuat para korban tidak lagi berfikir rasional.

Sehingga mereka mengambil jalan pintas untuk membuat pinjaman pada aplikasi yang lain (itu – itu juga perusahaannya) demi melunasi utangnya (gali lubang tutup jurang). Metode gali lubang tutup jurang yang dilakukan oleh para korban itu tidak serta merta mereka lakukan sendiri, akan tetapi hal itu atas saran dan bimbingan oleh para debt collector yang menagih pada mereka.

Jika korban sudah masuk ke dalam perangkap skema utang yang dibuat oleh para perusahaan Fintech (Rentenir Online itu) maka secara langsung para korban sudah sangat sulit keluar dari perangkap skema utang perusahan Fintech, dan akhirnya menjadi sapi perahan mereka untuk terus merampok masyarakat. Jika korban sudah tidak mampu membayar utang mereka, maka para Rentenir Online jahanam itu mengeluarkan "peliharaannya" debt collector untuk memburu dan mengintimidasi serta mencaci – maki demi mempermalukan debitur/nasabah mereka.
 
Cara Penagihan yang Tidak Manusiawi

Bahkan lebih brutalnya lagi debt collector yang disiapkan oleh para rentenir online itu tidak segan – segan menagih dengan cara memaksa kepada seluruh nomor kontak yang ada di HP korban. Dengan mengatakan bahwa korban telah membuat nomor mereka menjadi kontak darurat dan memaksa pemilik nomor tersebut harus membayar utang korban (padahal mereka yang dihubungi itu bukan no kontak darurat yang dicantumkan). Jika di dalam HP korban ada nomor orang tuanya maka debt collector tersebut mengatakan

“Anak Bapak/Ibu telah melarikan uang perusahaan kami dan sekarang sudah dicari oleh polisi” sehingga membuat panik orang tua korban, Bahkan tidak menutup kemungkinan orang tua tersebut terkena serang jantung dan meninggal dunia.

Cara – cara penagihan yang tidak manusiawi seperti itu, lanjut Nicho, akan menjadi pemicu konflik sosial ditengah masyarakat sehingga bisa bermuara pada rusaknya hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Bahkan, banyak di antara para korban pinjaman online itu harus menanggung malu serta berkelahi dengan rekan, saudara maupun tetangga tempat tinggalnya.

Lebih sialnya lagi para debt collector ini tidak segan – segan datang ke tempat kerjaan para korban dan mencaci maki – maki rekan, atasan dengan tujuan agar korban segera dipecat dari tempat kerjaannya. Akibat tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh para debt collector ini maka membuat banyak korban yang kehilangan pekerjaan, rumah tangga yang harus berantakan, menjadi depresi hingga berakhir dengan BUNUH DIRI karena tidak sanggup menahan malu.

Tindak Adanya Penindakan dari Pemerintahan Jokowi.

"Otoritas Jasa Keuangan atau yang sering disebut OJK adalah sebuah lembaga yang diberikan kewenangan oleh Negara untuk mengelola Keuangan, namun sampai saat ini telah GAGAL dalam mengelola sistem keuangan dan transaksi Pear to pear dan berpotensi merugikan keuangan Negara bahkan OJK disinyalir tidak memiliki nama – nama wajib pajak perusahan Fintech," katanya dalam rilis.

Regulasi dan kebijakan dibawah OJK ini jelas – jelas membiarkan perusahaan - perusahaan Fintech melakukan berbagai transaksi keuangan serta praktek – praktek Bank Gelap baik dan mereka klaim sebagai Ilegal (tidak berijin) maupun yang Legal (berijin), bahkan parahnya lagi yang terdaftarpun mereka biarkan melakukan transaksi keuangan yang jelas – jelas melanggar aturan hukum khususnya KUH Perdata pasal 1320, padahal seharusnya setiap perjanjian harus merujuk pasal 1320 KUH Perdata.

Lebih berbahayanya lagi cukup mendaftar saja ke OJK (Tidak Perlu Ijin) maka perusahan – perusahan Fintech itu bebas melakukan Mal Praktek yang dilakukan oleh para perusahan Fintech ini jelas – jelas merugikan rakyat banyak serta mampu menghancurkan perekonomian bangsa.

Analoginya  sederhananya begini  “Jika seseorang baru saja mendaftar pada fakultas kedokteran, lalu sang mahasiswa itu membuka praktek dokter, saat itu ada orang yang lagi kena penyakit datang ketempat prakteknya untuk minta pertolongan, yang ada bukannya sembuh orang yang sedang sakit itu tapi justru orang tersebut tambah parah penyakitnya bahkan bisa mati. Sebab sang mahasiwa tersebut belum mendapatkan ijin praktek, karena untuk mendapatkan ijin praktek maka mahasiswa itu harus terlebih dahulu mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan”.

Namun sialnya OJK sebagai lembaga yang memiliki peran untuk mengawasi dan menindak malah membiarkan perusahaan – perusahan Rentenir Online itu bebas beroperasi untuk merampok rakyat dinegri ini.

Selama kurun waktu 3 tahun Praktek Rentenir Online ini telah berlangsung dan hingga hari ini hampir 800 aplikasi bertebaran di Internet baik itu melalui Playstore maupun diluar dari Playstore.

Namun dari 800 aplikasi hanya ada 7 aplikasi yang berijin dari OJK, dari antara 7 aplikasi itu yang berijin ada 6 aplikasi yang baru mendapatkan ijin dari OJK sekitar 2 bulan lalu dan itupun mereka dapatkan pasca gugatan korban Rentenir Online di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dan yang menjadi pertanyaan kenapa transaksi Rentenir Online ini terus beroprasi padahal sangat berpotensi besar melanggar hukum, selain Rentenir Online ini tidak mengantongi ijin juga telah melanggar hak – hak konsumen (dari mulai penyebaran iklan yang bombastis juga tidak mengindahkan suku bunga kepatutan dan kewajaran serta secara sepihak mengatur sendiri hak dan kewajiban konsumen, padahal semestinya hal itu harus dibahas bersama antara kreditur dan debitur.

Dari semua pelanggaran yang dipaparkan diatas maka membuat perusahan Fintech menjadi Super Power sehingga  bebas melakukan melakukan sistem penagihan yang tidak manusiawi diantaranya melakukan penyebaran data yang bertentangan dengan UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3 di Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

“Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Serta melanggar juga UU Konsumen, bahkan melakukan fitnah, pencemaran nama baik, pelecehan seksual yang sangat menimbulkan Keresahan Sosial bagi para Debitur maupun masyarakat pada umumnya sehingga telah merugikan masyarakat baik secara materil dan Imateril.

Pendek kata perusahan Industri Fintech ini telah melakukan banyak kejahatan secara verbal (Terus Menerus), baik secara perdata maupun secara pidana (seperti Korupsi, Penggelapan Pajak, pencurian data, fitnah,  dll) serta secara sengaja melakukan pelanggaran UU ITE maupun UU Konsumen serta UU lainnya.

Maraknya berbagai pelanggaran itu terjadi karena perusahaan Fintech itu seperti mendapat dukungan dari berbagai pihak sehingga tindakan Brutal, teror, Fitnah, Caci maki semangkin menjadi – jadi mereka lakukan sejak penandatangan kerjasama OJK dan MAS Singapore dihadapan Presiden Jokowi dan Pedana Mentri Singapore disela – sela pertemuan IMF di Bali beberapa bulan lalu.

Atas dasar berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahan – Perusahan Fintech itulah menunjukan ketidakbecusan OJK dalam menjalankan tugasnya sebagai Regulator yang berperan sebagai pengawas dan penindak, karena hingga hari ini tidak ada satupun perusahan fintech itu yang diseret OJK untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum.

Berdasarkan itu juga GERAKAN BELA KORBAN PINJAMAN ONLINE  mendesak Bapak Presiden Jokowi untuk segera MEMBUBARKAN OJK serta mengembalikan peran Bank Indonesia sebagai pengelola dan pengawas serta penindakan dalam sektor keuangan.  Kami juga menuntut agar di pemerintahan Jokowi – JK segera :

1.    Audit dana Oprasional OJK sebesar  ± 5,7 T tahun 2019.
2.    KPK harus segera memeriksa seluruh Komisoner OJK (Wimbo CS) karena diduga telah menyelewengkan jabatannya untuk memperkaya diri dan  seret dalam pengadilan TIPIKOR
3.    Bubarkan Komnas HAM.
4.    Copot Mentri Komunikasi Dan Informatika.
5.    Copot Mentri Keuangan.
6.    Copot Gubernur Bank Indonesia.
7.    Tutup Seluruh Aplikasi Rentenir/Pinjaman.
8.    Tangkap serta Adili pemilik dan pegawai perusahaan Rentenir Online.
9.    Hentikan Intimidasi, Teror dan sebar data terhadap para korban Rentenir Online.
10.    Sita seluruh asset – asset Perusahan Rentenir Online yang telah merampok rakyat Indonesia.
11.    Berikan perlindungan terhadap para korban Rentenenir Online.
12.    Tangkap dan adili para pencuri data para korban Rentenir Online.
13.    Menindak tegas seluruh oknum – oknum pejabat Negara yang terlibat dalam skema Fintech (Rentenir Online).
14.    Kemenkeu, Kominfo dan Bank Indonesia Harus bergerak cepat memblokir seluruh aplikasi dan transaksi keuangan para Rentenir Online.
15.    Berlakukan Hukuman Mati Bagi Desk/Debt Colektor yang telah mengintimidasi dan meneror korban rentenir online.