Dibalik kebijakan impor gila-gilaan (Tulisan-3)

Ini Dia Para Mafia Beras, Saat Regulator Tak Bernyali

Jakarta, law-justice.co - Sengkarut impor pangan di Indonesia tidak lepas dari kegagalan tiga lembaga pemerintah seperti BULOG, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Gagalnya tiga lembaga ini memunculkan pemburu rente atau mafia beras yang kini tidak bisa dijegal.

Mafia beras ini semakin masif bermain, dengan dalih untuk menutupi kebutuhan yang kurang akibat jumlah pasokan beras lokal yang tidak mencukupi. Mereka bermain di tengah ketiga lembaga pemerintah tersebut tak berdaya diakali oleh tipu daya para mafia beras.

Baca juga : Hajar Rival Sekota, Arsenal Kian Kokoh Di Puncak Klasemen Liga Inggris

Kementerian Perdagangan memiliki andil mengatur tata niaga beras dari mulai petani hingga ke tingkat konsumen. Kinerjanya dianggap tidak mumpuni, karena Kementerian yang dipimpin oleh Enggartiasto Lukita juga menerbitkan aturan impor beras. Hal itu memicu daya saing tidak adil antara beras lokal dan beras impor. Petani lokal pun kalah. Jumlah impor terus ditambah sehingga makin meluas sebaran beras impor. Dari data Kementerian Perdagangan, jumlah impor beras yang masuk ke Indonesia pada tahun 2018 sudah mencapai 1,08 juta ton per tahun.

Sedangkan Kementerian Pertanian memiliki `dosa` membuka celah mafia dengan tidak konsistennya menjaga luasan lahan pertanian.  Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut luas lahan baku sawah terus menurun. Catatan mereka pada 2018 ini, luas lahan tinggal 7,1 juta hektare, turun dibanding 2017 yang masih 7,75 juta hektare.

Baca juga : Bulan Depan, Erick Thohir Bakal Rombak Direksi-Komisaris 12 BUMN

Meski perlindungan lahan pertanian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan sejumlah aturan turunannya telah diterbitkan pada 2012 lalu, tetapi dalam pelaksanaannya masih menemui hambatan.

Selain itu, adanya perbedaan data soal produksi beras dan kebutuhan nasional yang dimiliki Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Perum Bulog membuat proyeksi meleset. Sehingga pemerintah melalui Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mengambil langkah impor.

Baca juga : Nasib Tragis BUMN Farmasi Indofarma

Menko Darmin juga pernah mengungkapkan, bahwa data proyeksi produksi dari Kementerian Pertanian selalu meleset. Hal ini tentu menjadi ihwal polemik impor beras. Darmin membeberkan bagaimana data yang meleset dari Kementerian Pertanian tersebut telah mempengaruhi pengambilan keputusan impor.

“Data meleset setiap tahun,” ucap Darmin beberapa waktu lalu.

 

Adu Kekuasaan Melawan Impor

Pasca Soeharto tumbang, peran Bulog dikebiri dengan tidak diberikan izin untuk melakukan impor pangan utama. Kerja Bulog, hanya sebagai pengawas agar harga pangan stabil dan mengawasi pasokan terutama beras.

Namun kini, perlahan kewenangan itu dikembalikan kembali dengan diperbolehkannya Bulog melakukan impor langsung komoditas pangan. Tentu dengan batasan, misalnya harus memperhitungan ketersediaan dari petani untuk mencukupi kebutuhan nasional.

Tak cukup hanya sekedar membeli gabah dan beras dari petani. Bulog juga kini berwenang melakukan impor langsung beras. Meskipun secara formalitas harus diputuskan bersama dengan Kementerian Perdagangan soal besaran yang bisa diimpor untuk memenuhi kebutuhan beras nasional.

Di era kepemimpinan Budi Waseso sebagai Direktur Utama Perum Bulog, paradigma sebagai lembaga pengimpor diubah. Bekas Kabareskrim Mabes Polri itu menolak masuknya impor beras. Padahal, sedari dulu Bulog sering melakukan impor beras. Meskipun jumlah beras dari petani mencukupi. Alasannya, untuk menjaga kestabilan harga dan stok pangan.

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Foto: Detik)

Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, atau akrab disapa Buwas justru ingin meninggalkan kebiasaan yang menurutnya tak pantas tersebut. Indonesia negara agraris, untuk apa impor?

"Beras kita itu produksinya banyak. Prediksi saya kita nggak perlu impor. Kemudian Pro dan Kontra muncul. Saya berhasil tapi tidak impor," kata Buwas seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

Menurut Buwas, sampai akhir tahun stok beras yang ada di gudang Bulog mencapai 3 juta ton atau paling kecil yakni 2,5 juta ton.

"Sampai akhir tahun saya buktikan Indonesia nggak perlu impor beras, kecuali ada bencana alam. Kalau dalam kondisi normal dipaksa impor lebih baik saya mundur, kalau ngga perlu kenapa harus impor," tutur Buwas.

Lebih jauh Buwas mengatakan, negara pertanian seperti Indonesia ini sudah saatnya meninggalkan impor. Sebut saja jagung, tebu, atau gula itu tidak perlu impor menurut Buwas.

Kebijakan tolak impor dari Budi Waseso ini membuat gerah Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, keduanya bahkan sering adu argument soal impor pangan. Bahkan pernah saling tuding soal impor bawang putih.

Buwas pernah mengeluhkan adanya seorang menteri yang menghalangi-halangi impor 100 ribu ton bawang putih. Alasannya, izin impor Bulog tak kunjung diberikan hingga April 2019 berakhir. Buwas pun berkesimpulan seseorang telah membatalkan izin impor itu, meskipun ia tidak mengetahui penyebabnya.

Padahal, kata dia, rapat terbatas (ratas) bersama Kementerian Koordiantor Bidang Perekonomian sudah memutuskan menugaskan Perum Bulog mengimpor bawang putih untuk kebutuhan di pasaran. “Perintah, kan, sudah ada tetapi dibatalkan sepihak. Ya tanya yang membatalkan,” ucap Buwas pada Sabtu (27/4/2019) seperti dikutip Antara.

Sementara itu peneliti dosen IPB Dwi Andreas Santoso menilai langkah Enggar wajar karena tidak bisa dilepaskan dari aturan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Yaitu berupa kewajiban tanam 5 persen dari total rekomendasi impor.

 

Sulitnya Mengatur Tata Niaga Beras

Sebagai negara agraris, Indonesia selalu terobsesi melakukan swasembeda beras. Urusan swasembada  beras itu juga menjadi jualan politik dari rezim Soekarno hingga Joko Widodo. Pangan beras ini juga menjadi barometer keberhasilan ekonomi Indonesia setelah era kolonial tumbang.

Sampai 1930, beras yang menjadi makanan pokok penduduk Bumiputera, sebutan untuk penduduk asli pribumi,  bukan merupakan komoditas pangan yang diperhitungkan pemerintah Hindia-Belanda. Namun dampak krisis ekonomi dunia akibat Perang Dunia I di tanah jajahan membuat industri perkebunan yang selama ini menjadi sumber pemasukan utama berhenti beroperasi. Sejak saat itulah, pemerintah mulai melirik produk-produk pertanian.

Namun untuk menghasilkan keuntungan di sektor ini bukan perkara mudah. Pasalnya, pada periode itu harga beras yang punya pengaruh besar terhadap nilai jual produk-produk pertanian lainnya kian mahal karena kehadiran beras impor dari sejumlah negara. Selain itu, kebijakan devaluasi  dan penurunan pajak ekspor dua negara importir di Asia Tenggara, Thailand dan Myanmar ikut melambungkan harga beras lokal.  

Untuk itu, beberapa kebijakan pun diambil, termasuk membatasi pasokan beras dari luar negeri.  Selain itu, pemerintah juga mendorong peningkatan produksi padi dengan membangun sistem irigasi, penyediaan infrastruktur pendukung pertanian, pemberantasan hama dan penyakit.

Stok di Gudang Beras Bulog (Foto: Robinsar Nainggolan)

Hasilnya cukup menggembirakan karena sejak 1936, pulau Jawa telah mengalami surplus produksi beras mampu memasoknya ke berbagai wilayah di dalam dan luar negeri.

Selain itu, untuk memperkuat pengadaan, penjualan, dan penyedian pasokan bahan pangan, Kementerian Urusan Ekonomi membentuk Voeding Smiddellen Fonds (VMF) pada 1939. Dua tahun kemudian, dibentuk Rijst Verkoop Centrale (RVC), di Jakarta, Semarang, dan Surabaya agar pemerintah mendapatkan beras dari petani dan dapat menekan harga di pasaran. 

Walhasil sampai akhir masa kolonial pulau Jawa berhasil memproduksi padi 8 juta ton per tahun dengan luas persawahan hingga 3,4 juta hektar (Kurosawa, 1993).

Keberadaan VMF tetap dipertahankan pada masa Pendudukan Jepang, meskipun beralih nama menjadi  Shokuryo Kanri Zimosho (SKZ). Pada mulanya kebijakan perberasan warisan pemerintah Hindia-Belanda tetap dipertahankan. Namun ketika harga beras mulai jatuh pada Maret-Juni 1942, pemerintah mulai mengeluarkan propaganda berslogan “Melipatgandakan Hasil” untuk meningkatkan produksi pangan, termasuk beras. 

Sejak saat itulah SKZ memiliki peran strategis di sektor beras.  Lembaga ini  memiliki wewenang untuk memonopoli pembelian  beras dari petani dengan harga yang sangat rendah.  Selain itu, institusi ini juga merancang program distribusi beras untuk penduduk urban.

Ketika pasar beras bebas dilarang pada April 1943, SKZ juga menangani program Wajib Serah Padi yang mengharuskan petani menyerahkan hasil panen mereka kepada pemerintah dengan imbalan yang ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah.

Oleh karena kebutuhan beras untuk kepentingan tentara Jepang kian meningkat, pada November 1943, diperkenalkan program Kinkyu Shokuryo Taisaku. Bertujuan untuk meningkatkan produktivitas beras, pemerintah memperkenalkan padi Borai yang dipanen dalam waktu singkat untuk ditanam di Cirebon dan Kedu. Selain itu, cara menanam bibit yang lebih efektif dan perluasan areal pertanian serta mengalihfungsikan lahan  tebu, teh dan kopi menjadi persawahan.

 

Kebijakan Sistem Bertingkat Dua dan Krisis Beras

Carut-marut kebijakan beras terus berlanjut hingga masa awal kemerdekaan. Pangkal persoalannya terletak pada kerap bergantinya lembaga yang menangani beras. Pada 1948, misalnya, Soekarno sempat membentuk Panitia Agraria Jogjakarta. Namun karena terjadi konflik Indonesia-Belanda, muncul dua lembaga, yaitu Jawatan Pengawasan Makanan Rakyat (di wilayah yang dikuasai Indonesia)  dan VMF (di wilayah yang dikuasi Belanda) (Ali, 1996).

Segera setelah Belanda menyerahkan kedaulatannya pada Indonesia, pemerintah  membentuk Jajasan Bahan Makanan (BAMA) pada 1950. Lembaga ini memiliki tiga tugas utama, yaitu membeli, menjual, dan mengadakan persediaan pangan untuk rakyat Indonesia. 

Namun dua tahun kemudian Kementerian Perekonomian mengubah nama lembaga ini menjadi Jajasan Urusan Bahan Makanan (JUBM) sebagai upaya untuk mewujudkan swasembada pangan yang menjadi bagian dari Program Kesejateraan Kasimo.

Pembentukan lembaga ini menjadi awal penerapan kebijakan sistem bertingkat dua (two tier system) dalam pengelolaan cadangan pangan pemerintah.  Bila YUBM berwenang di tingkat pusat dan bertugas dalam distribusi dan pemerataan pangan, maka dibentuk Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) untuk membeli beras di daerah. Namun kedua lembaga ini lebih kerap tidak sinkron, sehingga Indonesia terpaksa harus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.

 

Stok Beras di Pasar Induk Beras Cipinang (Foto:Robinsar Nainggoan)

Tak hanya itu, kegagalan berbagai program pemerintah, seperti Sentra Padi, Panca Usaha Tani, dan Demonstrasi Massal turut memperburuk situasi.  Program Sentra Padi, misalnya gagal karena kurangnya pedanaan, persoalan logistik, mis-manajemen perkreditan, dan lemahnya penentuan harga gabah.

Hal itu membuat beras menjadi langka—meskipun Soekarno mencoba menggantinya dengan jagung—sehingga harganya terus naik pada kurun 1964-1967.

Peleburan berbagai organisasi pangan di bawah Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP) juga tak membuahkan hasil. Minimnya pedanaan memang menjadi persoalan besar yang membuat negara tidak bisa menambah stok beras sehingga pada akhirnya gagalan untuk mewujudkan ketahanan pangan.

 

Bulog, Monopoli Pangan, dan Korupsi Orde Baru

Persoalan beras masih menjadi permasalahan utama di sektor pangan pada awal masa pemerintahan Soeharto. Meskipun pemerintah berhasil menekan harga  beras hingga 80 %, namun tetap saja belum terjangkau. Apalagi dari bulan ke bulan masih terjadi fluktuasi harga  karena kenaikan biaya produksi nasional beras yang mencapai 10,75 juta ton dan impor beras yang mencapai 309 ribu ton (Lassa, 2005). Situasi inilah yang membuat mahasiswa berdemonstrasi di  Departemen Perdagangan pada September 1967.

Sejak saat itulah Orde Baru mulai menyadari bahwa beras bukan sekadar komoditi ekonomi, tetapi juga politik. Oleh karena itu, Soeharto mulai membenahi lembaga yang mengurusi beras. Meskipun telah membentuk Komando Logistik Nasional (Kolognas), pada 1967.

Pemerintah memustuskan untuk mengganti nama lembaga itu menjadi Badan Urusan Logistik (Bulog) melalui  Keppres Nomor 114/KEP/1967.

Menurut regulasi itu, Bulog yang berstatus lembaga pemerintah non-departemen, merupakan institusi tunggal yang berwenang membeli beras (single purchasing agency).   Selain itu, lembaga ini juga diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui stabilisasi harga beras dan pengadaan beras bulanan untuk pegawai negeri dan militer.

Meskipun Bulog harus tertatih-tatih untuk melakukan stabilisasi harga, lembaga ini harus menghadapi berbagai persoalan, seperti  produksi beras yang rendah, pertumbuhan penduduk, dan situasi pasar pangan dunia yang tak menguntungkan.

Gudang Beras Bulog

 

Ketika terjadi krisis pangan global pada 1972, Bulog harus rela kehilangan cadangan strategis beras yang terjadi bersamaan dengan peningkatan harga makanan pokok masyarakat Indonesia hingga 100 % persen.

Sepanjang 1970-1980,  Soeharto melakukan investasi besar untuk membangun infrastruktur pertanian, seperti  waduk, bendungan, dan irigasi. Pemerintah juga membangun 1.400 gudang Bulog yang masing-masing berkapasitas 3.500 ton di 27 provinsi.  Tak hanya itu, para petani yang menjadi penyuplai utama lembaga ini juga diberi kemudahan dalam penyediaan pupuk, kredit bank, pemasaran hasil panen,  manajemen usaha tani, dan penyediaan bibit unggul.

Dalam waktu singkat, kinerja Bulog pun mengalami transformasi yang signifikan. Melalui stabilisasi beras, lembaga ini berhasil meningkatkan  1 persen pertumbuhan  per tahun pada 1969-1974. Bahkan pada lima tahun berikutnya, pencapaian ini terus meningkat dan menghasilkan pertumbuhan 13,5 % dalam total pertumbuhan pendapatan per kapita. Bahkan, stabilisasi beras memiliki kontribusi sebesar 300 juta Dollar AS (1969-1974) dan 270 juta Dollar (1974-1979) (Timmer, 1997).

Hal inilah yang membuat pada dasawarsa 1980-an, Indonesia tak lagi dikenal sebagai negara agraria pengimpor beras terbesar, seperti yang terjadi pada 1966.

Produksi beras Indonesia terus-meningkat dari 12,2 juta ton pada 1969 menjadi 25,8 juta ton pada 1984 atau naik 111,47 % dalam waktu 15 tahun.  Bahkan, pada saat itu Indonesia telah berhasil mencapai swasembada pangan yang mengantarkan Soeharto untuk berpidato pada  Konferensi ke-23 FAO di Roma, Italia pada 14 November 1985.

Bulog terus dapat menjaga performa positifnya, meskipun pemerintah terus menambah beban lembaga ini, baik melalui reorganisasi, restrukturisasi, dan penambahan tugas dan kewenangan Bahkan, dari waktu ke waktu komoditas pangan yang diurusi Bulog terus bertambah.

Bila pada 1969 yang diurusi Bulog hanya beras semata maka mulai 1970-an, komoditas itu terus bertambah menjadi terigu (1971), daging sapi (1974), kedelai (1977), jagung (1978), kacang tanah dan kacang hijau (1978).

 

Stok Beras di Gudang Beras Cipinang (Foto:Robinsar Nainggolan)

 

Namun perluasan pengurusan berbagai komoditas pangan ini, menjadi awal penurunan kinerja Bulog.  Keterlibatan militer dalam memonopoli  berbagai bahan makanan pokok menjadi pangkal soalnya. Artinya, seperti diungkapkan Simatupang (1995), rezim Orde Baru menerapkan praktik kleptocracy dalam kebijakan pangan Indonesia dengan menjadikan Bulog sebagai mesin uang untuk meraup keutungan pribadi dan politis.

Sebenarnya praktik koruptif militer di tubuh Bulog telah terjadi sejak 1967-1973. Ketika itu, pimpinan lembaga ini, Jenderal Ahmad Tirtosudiro ditenggarai melakukan sejumlah penyimpangan.  Seperti terungkap dalam  sebuah laporan lembaga anti-korupsi,  Komisi Empat menyebut Bulog berpotensi mengalami defisit  sekitar Rp 44 milyar pada 1968-1977. Namun Jenderal Ahmad tak pernah dihukum, hanya diberhentikan dari Bulog dan dijadikan duta besar di Jerman Barat (Juwono, 2018).

Selain militer, Keluarga Cendana juga kerap memanfaatkan keutungan besar Bulog untuk kepentingan pribadi.  Pada 1990, misalnya, Kepala Bulog Bustanil Arifin pernah mencairkan kas lembaga itu kepada salah satu anak Soeharto sebesar Rp 10 milyar untuk membeli tanah seluas 4 ribu meter yang sebenarnya hanya bernilai  Rp 2 milyar.

Sementara Pada 1994, Bulog juga pernah terlibat tukar guling gudang perusahaan itu dengan PT Goro yang dimiliki oleh Tommy Soeharto. Akibatnya, anak bungsu presiden Soeharto itu pun kemudian diseret ke pengadilan, dinyatakan bersalah, dan dihukum 18 bulan penjara 5 tahun setelah sang Ayah lengser.

Praktik-praktik semacam inilah yang mengerus pencapaian gemilang Bulog. Hal itu menyebabkan pada dekade 1990, persedian beras Indonesia mulai tak stabil. Ketika terjadi kemarau panjang pada 1995, misalnya, Bulog tak dapat mencukupi kebutuhan dalam nengeri dan terpaksa harus mengimpor beras sebesar 1,7 juta ton  dari Thailand, Vietnam, dan Pakistan.

Gedung Perum Bulog (Foto:Istimewa)

Sejak saat itu, sampai dengan runtuhnya Orde Baru, Indonesia tak pernah bisa lepas dari kebijakan impor beras, seperti yang terjadi pada 1960-an.

Penurunan kinerja ini membuat satu demi satu kewenangan Bulog dalam mengurusi komoditas pangan dicabut. Pada 1997, misalnya, Bulog hanya mengurusi masalah beras dan gula pasir saja. Tak sampai setahun kemudian, kewenangan lembaga ini kembali berkurang karena hanya mengurusi masalah pengontrolan harga beras belaka.

Ketika krisis moneter mulai melanda Indonesia pada 1997, Indonesia terpaksa mengubah secara drastis kebijakan beras nasional.  Salah satunya penyebabnya adalah tekanan dari International Monetary Fund (IMF).

Akibatnya,  monopoli beras yang selama masa Orde Baru melekat pada Bulog sempat dicabut dan diberlakukannya pembebasan bea masuk impor pangan, meskipun akhirnya dibatalkan hingga perekonomian Indonesia membaik.

 

Transformasi dan Dualisme Fungsi Bulog

Penandatangan Letter of Intent (LoI) antara Indonesia-IMF pada Januari 1998 berimbas betul pada pengebirian Bulog di tahun-tahun awal setelah Soeharto lengser. Praktis lembaga ini kehilangan kewenangannya yang utama, yaitu monopoli impor dan stabilisasi harga beras yang kini diserahkan pada mekanisme pasar.  Selain itu, juga kehilangan sebagian besar konsumen tetapnya menyusul pencabutan hak pendistribusian beras yang telah ditetapkan harganya kepada TNI dan Polri.

Pembatasan kewenangan pada Bulog, seperti yang diatur dalam Keppres No. 19 Tahun 1998, misalnya, membuat terjadinya peningkatan drastis harga pangan yang menyebabkan terjadinya inflasi yang tinggi pada 1998-1999.  Hal ini kian diperburuk pada penurunan produksi padi dalam negeri karena badai El Nino. Akibatnya, sepanjang periode ini Indonesia sangat bergantung pada impor beras  hingga 11 persen atau setara dengan 3,8 juta ton per  tahun.

Baru pada 2000, terdapat upaya untuk mengembalikan secara bertahap wewenang Bulog. Berdasarkan Keprres No. 29 dan 166 yang terbit pada tahun yang sama, misalnya, lembaga memiliki tugas dan fungsi untuk mengelola komoditas beras, termasuk menjaga kestabilan harga di pasaran.

Setahun berselang, Presiden Abdulrahman Wahid, kembali memperkuat kewenangan  Bulog. Melalui Keprres No 103 Tahun 2001, lembaga ini diamanatkan untuk melaksanakan tugas pemerintah di bidang manajemen sesuai regulasi yang ada dengan status Lembaga Pemerintah Non Departemen yang  bertanggungjawab langsung kepada presiden. Namun dalam aturan yang sama, Bulog pun diwajibkan untuk bertransformasi menjadi BUMN setidaknya pada Mei 2003 .

Selain, masalah tugas dan kewenangan, sejak 1999 pemerintah sebenarnya telah berupaya meminimalisir praktik korupsi di Bulog. Untuk mencegah itu, misalnya diterbitkan regulasi  yang mengatur penertiban rekening dan penghapusan dana off-budget. Sayangnya, regulasi ini tak cukup kuat untuk mencegah tindak pidana  korupsi  di Bulog yang bertautan dengan kepentingan penguasa.

 

Pembacaan vonis korupsi dana bulog dengan tersangka Akbar Tanjung (Liputan6)

 

Pada 1999, misalnya, Ketua DPR Akbar Tanjung dituding menggunakan uang Bulog sebesar  untuk dana kampanye Pemilu.  Setahun kemudian, Wakil Kepala Bulog, Sapuan mencairkan uang Yayasan Bulog senilai 4 juta Dollar AS dan menyerahkannya kepada tukang pijit Presiden Gus Dur, Soewondo  yang menjanjikannya jabatan kepala di  lembaga itu. Pada akhirnya, Akbar Tanjung bisa lepas dari jeratan hukum, maka  Abdulrahman Wahid terpaksa lengser dari jabatan presiden pada 2001.

Upaya pembenahan Bulog kembali dilakukan setelah Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Meskipun mengeluarkan Keppres No. 3 Tahun 2002, namun tugas dan fungsi lembaga ini sangat umum.  Kontribusi Mega justru dalam upaya menjadikan Bulog lembaga yang otonom dan bebas kepentingan politik melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Perum Bulog.

Melalui regulasi itu, Bulog menjelma menjadi  lembaga logisitik yang memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama berkait dengan kewenangan lamanya, yaitu upaya menjaga kestabilan harga. Namun kini upaya itu dilakukan dengan menjadikan Bulog sebagai pemasok tunggal program beras miskin (raskin). Selain itu, Bulog juga diberikan fungsi baru, layaknya perusahan-perusahaan milik negara lainnya yaitu, komersial atau mencari keuntungan. 

Selain itu, Presiden Megawati juga mengubah kebijakan pangan  melalui penerbitan Inpres No 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan. Berdasarkan regulasi ini, diperkenalkan istilah harga pembelian pemerintah (procurement price) yang menegaskan bahwa terdapat perbedaan harga beli pemerintah dan dasar (floor price).  Megawati juga berupaya untuk mewujudkan kembali kebijakan swasembada pangan. Sayangnya kedua kebijakan ini tak terlalu berhasil.

Ketika menjadi presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak hanya mempertahankan Bulog sebagai penjaga stabilitas harga beras, tetapi juga memberikan kewenangan kepada BUMN yang satu ini untuk melakukan monopoli impor beras sejak 2007. Selain itu, Bulog pun diberikan untuk mengurus komoditi pangan lain. Melalui Kepres No 32 Tahun 2013, perusahaan ini diberikan untuk menyalurkan  dan menjaga harga kedelai. Belakangan, Bulog juga mengelola 5 komoditas pangan lainnya (Bulog, 2012).

Selain itu, sang presiden juga menghidupkan beberapa kebijakan pangan lama. Mulai dari pemberian subsidi pupuk, bibit, bunga kredit, dan penyuluhan. Ia juga membentuk Dewan Ketahanan Pangan pada 2006.

Meskipun cukup ambisius untuk melakukan berbagai perbaikan, upaya itu tak cukup berhasil dalam menyelesaikan persoalan pangan di Indonesia.

 

Bongkar muatan beras Bulog di pelabuhan 

 

Setelah 10 tahun berkuasa, SBY digantikan oleh presiden Joko Widodo pada 2014. Meskipun dalam Nawa Cita 2015-2019, ia berhasrat untuk mewujudkan

pembangunan pertanian untuk mencapai kedaulatan pangan, namun tak banyak terobosan yang dilakukan dalam kebijakan pangan. Politisi PDI-P itu, misalnya, masih menggunakan sistem pasar bebas-terkendali yang membuat perna Bulog tetap penting dalam menjaga stabilitas harga beras, di samping untuk mencari keuntungan.

Mendapat dukungan pemerintah, bukan berarti Bulog dapat berkembang pesat. Buruknya neraca pangan di Indonesia membuat perusahaan ini tak bisa bersinergi dengan berbagai kementerian. Dalam hal komoditas beras, misalnya,  Bulog tetap diwajibkan untuk membeli  beras dari petani, sementara pada sisi lain Kementerian Perdagangan dari tahun ke tahun terus mengimpor beras dengan dalih mengisi stok di pasaran agar harga tetap stabil.

Akibatnya, beras Bulog sulit dijual, menumpuk di gudang, dan akhirnya membusuk  karena  beras impor menguasai pasar. Walhasil, keuntungan perusahaan ini terus menyusut, bahkan mengalami kerugian. Bila tak ada pembenahan dalam 2-3 tahun ke depan , menurut  anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih,  maka perusahaan ini tak hanya bangkrut, tetapi juga merugikan keuangan negara sehingga lebih baik dibubarkan saja.