Penjelasan Peneliti Soal Gempa & Tsunami Dahsyat di Selatan Jawa

Jakarta, law-justice.co - Geoscientist dari Universitas Brawijaya, Adi Susilo berpendapat gempa dan tsunami dahsyat di selatan Pulau Jawa bisa saja terjadi karena kawasan tersebut merupakan jalur pertemuan antara lempeng benua dan lempeng samudera. Pernyataan Adi ini menanggapi isu potensi gempa dan tsunami setinggi 20 meter yang menjadi pembahasan sepekan belakangan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pun sudah memberikan rilis pada 21 Juli 2019 lalu mengenai isu tersebut.

Baca juga : Nisa Ratu Narkoba Aceh Dituntut Vonis Mati, Ini Detilnya

Dilansir Tribunnews, melalui rilisnya BKMG menyebut bahwa bencana alam di Selatan Jawa itu bukan lagi sebatas prediksi melainkan sudah pasti terjadi.

Hanya saja belum diketahui pasti waktu bencana tersebut bakal terjadi. Untuk itu, BMKG mengimbau kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpancing isu yang beredar.

Baca juga : Kapolresta Manado Diperiksa Propam soal Bunuh Diri Brigadir RA

Sementara itu Geoscientist Adi Susilo menjelaskan Adi menjelaskan, jika selama ini lempeng benua yang ia sebut lempeng Eurasia tersebut mendorong terus menerus lempeng samudera atau lempeng Indo-Australia. Pergerakan dari lempengan tersebut diperkirakan mencapai 6-7 cm per tahun.

"Kami tidak membantah bahwa potensi gempa dan tsunami itu akan terjadi. Sebenarnya, tujuan itu ialah bentuk kewaspadaan saja kepada masyarakat," ucapnya saat diwawancara pekan lalu.

Baca juga : Diduga Gelembungkan Suara, Crazy Rich Surabaya Digugat di MK

Prof Adi menjelaskan, jika material yang ada di kerak bumi itu bentuknya elastis. Apabila lempeng itu bergeser, maka akan terjadi gempa tektonik seperti yang terjadi di Pulau Bali beberapa hari yang lalu.

"Material ini bukan yang gampang patah, itu sifatnya elastis. Nanti pelan-pelan lempeng eurasia itu akan menekan terus lempeng indo-australia karena berat jenisnya lebih besar lempeng eurasia," terangnya.

Pergerakan ini diakibatkan oleh mantel konveksi di perut bumi. Kata Prof Adi, mantel konveksi itulah yang menggerakkan area di atasnya. Dan pergerakan itu akan terus menerus terjadi, karena material yang berada di atas mantel bumi sifatnya elastis.

"Tahu lava yang ada di Hawai? Itu kan materialnya elastis seperti pasta gigi. Ya itulah bentuknya. Tapi untung saja, berdasakan penelitian di lapangan di daerah selatan Jawa tidak ditemukan gunung berapi aktif yang ada di bawah laut," terangnya lagi.

Prof Adi berujar, masyarakat di Indonesia khususnya Pulau Jawa harus bersyukur, lantaran saat ini sering terjadi gempa di wilayah selatan Jawa.

Hal itu dampaknya positif, lantaran apabila tidak terjadi gempa sama sekali, maka bisa dipastikan akan terjadi gempa yang cukup besar.

"Sebenarnya masih banyak tumbuhan lain yang bisa dijadikan penghalang. Karena apabila membuat barrier rekayasa seperti tembok benton di Jepang itu akan banyak membutuhkan biaya," kata Adi.

Sebelumnya, potensi gempa dan tsunami di selatan Pulau Jawa mencuat berdasarkan kajian yang disampaikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Pakar tsunami dari BPPT, Widjo Kongko mengatakan, kajian soal ini memang disampaikan oleh BPPT dalam agenda Table Top Exercise (TTX) atau gladi ruang untuk rencana gladi lapang penanganan darurat tsunami.

Berdasarkan kajian tersebut, Widjo Kongko mengungkapkan, wilayah Pantai Selatan (Pansela) Jawa-Bali berpotensi mengalami gempa megathrust dengan magnitudo 8,8. Menurut dia, mengacu pada besarnya kekuatan gempa yang berpotensi terjadi di pantai selatan Jawa-Bali ini diperkirakan bisa memicu gelombang tsunami setinggi 20 meter dengan jarak rendaman sejauh 3-4 kilometer.

"(Wilayah) Pansela Jawa-Bali, berpotensi gempa dari zona megathrust lebih dari 8,8 dan menimbulkan tsunami," jelas Widjo.