Penerbitan IMB Lahan Reklamasi (Tulisan-2)

Kenapa Anies Ingkar Janji Teruskan Reklamasi?

Jakarta, law-justice.co - Kebijakan Gubernur DKI Jakarta menerbitkan IMB untuk bangunan di atas lahan reklamasi Pulau D membuat publik marah. Kebijakan itu dinilai sebagai tunduknya pemerintah terhadap kekuasaan pemegang modal. Apalagi dengan melempar kesalahan kepada Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dianggap masyarakat sebagai siasat Anies untuk lepas janji menghentikan reklamasi.

Padahal, sejak Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang reklamasi Pantai Jakarta pada tanggal 13 Juli 1995, saat itu pula mulai tercipta sejarah penolakan. Namun, riak penolakan di kalangan masyarakat itu tidak terlalu berpengaruh. Hal itu terbukti dengan dicantumkannya Pantai Ancol sebagai lokasi pertama yang direklamasi. Berapa tahun kemudian, persisnya setelah Soeharto tumbang pada Mei 1998, aksi penolakan mulai muncul ke permukaan. Tak ramah lingkungan menjadi alasan sejumlah lembaga pemerhati lingkungan dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saat itu.

Baca juga : Hajar Rival Sekota, Arsenal Kian Kokoh Di Puncak Klasemen Liga Inggris

Sebagai bukti nyata dari penolakan itu, pada Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup, melalui Menterinya Nabiel Makarim  membuat Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor. 14 Tahun 2003 yang menilai rencana reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara (Pantura) tidak layak dan tidak sah secara hukum. Reklamasi pantai yang berhutan bakau itu lalu menjadikannya sebagai kawasan niaga berpotensi merugikan lingkungan.

Baca juga : Bulan Depan, Erick Thohir Bakal Rombak Direksi-Komisaris 12 BUMN

Aksi penolakan lainnya berasal dari masyarakat. Pada tanggal 15 September 2015, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang  beranggotakan sejumlah nelayan dari Jakarta Utara dan  Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) serta Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) serta LBH Jakarta mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk melawan Gubernur Provinsi DKI Jakarta dan  PT Muara Wisesa Samudera sebagai tergugat.

Putusannya, Hakim PTUN Jakarta memenangkan penggugat. Namun, putusan itu digagalkan oleh Hakim Agung dengan memenangkan Pemprov DKI dan Muara Wisesa pada tingkat kasasi.

Baca juga : Nasib Tragis BUMN Farmasi Indofarma

Alasan sosial dan lingkungan menjadi faktor pertama munculnya gerakan anti reklamasi terhadap Pantai Utara Jakarta. Menurut data yang dikumpulkan oleh KIARA, sedikitnya 52 ribu rumah tangga nelayan di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang dipastikan tergusur oleh proyek properti berinvestasi ratusan triliun tersebut. Lalu bakal dihilangkannya hak konstitusional warga Jabodetabek sekadar untuk menikmati ombak di Teluk Jakarta dengan membayar ratusan ribu rupiah kepada pengusaha wisata.

Selain dua alasan di atas, alasan lain yang melahirkan aksi penolakan ini adalah karena adanya pengabaian terhadap ketentuan perundang-undangan.

IMB Sebagai Bukti Anies Ingkar Janji

Secara diam-diam, Anies langsung menerbitkan IMB untuk 932 bangunan. Belakangan diakui Anies lebih dari seribu bangunan. Lembaga pemerhati lingkungan langsung beraksi.

KIARA yang sejak awal menggugat pemprov DKI ke PTUN menilai Anies tidak bisa memegang komitmennya. KIARA menilai, klaim Anies bahwa penerbitan IMB sudah sesuai prosedur adalah pernyataan yang blunder.

KIARA semakin terpukul, karena Anies dengan sadar dan sengaja menerbitkan IMB meski dasar hukumnya cacat. Anies  menurut keterangan Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati pernah mengiyakan masukan mereka bahwa Peraturan Gubernur (pergub) 2016 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK) yang dikeluarkan Ahok cacat hukum dan harus dicabut, "Sudah kami ingatkan juga di Balaikota, ini harus dicabut Pak. Jawabannya, ya nanti kita lihat. Normatif saja jawabannya. Ada beberapa kali, termasuk ada kawan kami Tigor yang pernah ke Balaikota, satu atau dua kali untuk mengingatkan agar dicabut. Tapi memang sudah berat, karena investasinya sudah masuk dan duitnya tidak ada nominalnya, nggak ada serinya,” Kata Susan kepada Law-Justice.co di Kantornya, Kalibata, Jakarta Selatan.

Demo menolak reklamasi (Foto :Kompas)

KIARA berharap agar IMB segera dibatalkan. Namun, KIARA mengaku pesimistis dengan harapan tersebut, karena mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memiliki kebijakan lebih buruk dari Ahok, “Kemudian juga melalui proyek-proyek reklamasi ini sebenarnya ini jalan politik Anies ke Pilpres 2024 ya, menurut kami. Apalagi waktu itu Anies bilang pernah bertemu pengembang di rumah Prabowo,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua DPP Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Ahmad Martin Hadiwinata mengatakan,  apa yang dilakukan oleh Anies sebagai langkah mundur terhadap penyelesaian masalah reklamasi.

Anies yang sudah menyegel bangunan di Pulau D lalu kemudian menghentikan proyek reklamasi di 13 pulau dinilai Martin sebagai langkah yang sudah tepat diambil Anies. Namun dengan terbitnya IMB, dianggap sebagai langkah mundur kebijakan menolak reklamasi.

“Tuntutan kita tetap pada pembongkaran, tetapi ternayata tidak diindahkan oleh Pak Gubernur, malah menerbitkan IMB. Ini kan merupakan langkah mundur,” kata martin dengan nada kecewa saat ditemui di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Martin bahkan mencurigai keputusan Anies menerbitkan IMB adalah hasil dari pertemuan dengan beberapa pengembang di rumah Prabowo Subianto di Hambalang Bogor, Jawa Barat. Dia mengaku tidak bisa menampik, jika pertemuan tersebut benar-benar terjadi.

Sebab menurutnya, tidak mudah untuk menerbitkan IMB di atas lahan hasil reklamasi. Setidaknya ada 12 langkah yang harus dipenuhi sebelum sampai pada keputusan untuk mengeluarkan IMB. Beberapa diantaranya adalah Rencana Tata Ruang Nasional (RTRN), Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKS) Pantura, Amdal Kawasan hingga izin lingkungan dan izin prinsip serta Hak Guna Bangunan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Martin menambahkan, dalam reklamasi sebelumnya, izin lingkungan  dibuat secara transparan. Namun kali ini tidak pernah ada  pelibatan masyarakat. Yang ada adalah intimidasi terhadap warga yang terdampak.

“Yang warna merah itu adalah langkah-langkah yang tidak dipenuhi. Dan yang menjadi catatatan, kalau IMB yang dikeluarkan oleh pemerintah dinilai legal, tetapi kalau ada beberapa catatan administratif, maka seharusnsya status legal itu bisa dibatalkan,” tandas Martin.

Kecaman lebih keras dan tegas datang dari Ketua WALHI DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi. Menurut dia, penerbitan IMB oleh Anies atas bangunan di atas lahan reklamasi adalah bukti bahwa reklamasi adalah proyek ambisius pemilik modal. Kata dia, pemerintah DKI Jakarta terkesan tunduk pada ambisi tersebut.  Tubagus menilai tujuan para pengembang difasilitasi pemerintahan Anies.

Bangunan mewah di lahan reklamasi Pulau D (Foto: Robinsar Nainggolan)

Reklamasi kata dia bukanlah program pemerintah, melainkan kepentingan investasi yang “difasilitasi" pemerintah. Bahkan Amdal Badan Pelaksana Reklamasi yang tersusun pada September tahun 2000 lalu, dalam latar belakangnya menyebutkan rencana reklamasi untuk menjawab dan membuka investasi.

Menurut dia, ada dua hal yang setidaknya perlu disikapi dengan dikeluarannya IMB di atas lahan pulau D yakni mengenai keberadaan reklamasi secara keseluruhan, dan argumentasi Gubemur terkait penerbitan IMB.

“WALHI Jakarta menilai argumentasi Gubemur DKI terkait pemberian IMB sangatlah tidak jelas, karena berangkat dari argumentasi kebijakan yang dipaksakan,” kata Tubagus.

WALHI menurut Tubagus, pertimbangan kebijakan yang diambil Anies tidak tepat terutama soal pengunaan Pergub 206 Tahun 2016 yang dibuat era Gubernur Ahok sebagai dasar hukum terbitnya IMB. Padahal aturan itu mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung yang dinilainya salah kaprah.

“Karena pesoalan dasarnya terletak pada bahwa reklamasi dibangun di atas ruang yang belum jelas peraturannya. Artinya Pergub 206/2016 dikeluarkan untuk memfasilitasi pendirian bangunan di atas lahan reklamasi. Di sisi lainnya, DKI juga beralasan mengapa IMB dikeluarkan karena pihak pengembang sudah memenuhi prosedur,” tandasnya.

Nelayan Gulung Tikar Akibat Reklamasi

Proyek yang menutupi akses para nelayan untuk melaut. Hal itu berimbas kepada penghasilan mereka yang turun drastis sejak dimulainya proyek raksasa tersebut. Karena hal itu, KIARA mencatat setiap harinya dua nelayan beralih profesi menjadi kuli di kota-kota Kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah ini semakin hari semakin memprihatinkan.

Nelayan sebelumnya setiap hari bisa menghabiskan waktu kurang lebih 15 jam di laut bisa mendapatkan penghasilan RP5 juta setiap harinya. Namun, setelah proyek reklamasi berjalan pendapatan mereka mnejadi hanya Rp300 ribu sehari. Pasalnya, hasil tangkapan semakin sedikit dan jumlah kerang, ikan dan hewan hewan laut lainnya yang biasa ditangkap semakin sedikit bahkan banyak yang sudah punah, seperti kerang batik yang bernilai tinggi.

Di tengah pendapatan yang semakin kecil, persoalan lain muncul, yakni biaya operasional semakin besar karena rute melaut lebih panjang, sehingga memerlukan banyak bahan bakar.

Dampak kerusakan lingkungan menjadi penghambat lain rencana proyek reklamasi. Salah satunya, PLTU Muara Karang yang terganggu karena terjadi peralihan pola arus laut di kawasan reklamasi  Pantai Mutiara. Selain itu, pengambilan pasir laut untuk menguruk area reklamasi di kawasan Ancol bagian Utara juga menyebabkan beberapa pulau di Kepulauan Seribu tenggelam dan nyaris hilang.

Masalah ini membuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)  dalam posisi yang berhadap-hadapan. Bila KLH berkeras agar dilakukan kajian lingkungan ynag komprehensif. Maka Pemprov ngotot proyek ini  tetap dilanjutkan. 

Konsep reklamasi yang saat itu menyatu dengan daratan sempat direvisi karena keberadaanya menghambat 13 sungai yang bermuara di teluk Jakarta. Meskipun begitu, proyek itu tetap saja ditolak.

 

Siasat Ahok Wujudkan Reklamasi

Masa singkat Gubernur Jakarta, Joko Widodo (Jokowi)  membuat proyek reklamasi untuk sementara terhenti. Mantan Walikota Solo itu tidak memperpanjang izin prinsip reklamasi dan menegaskan akan melakukan kajian mendalam tentang proyek ini agar berpihak pada rakyat. Namun ketika Jokowi mengambil cuti untuk mengikuti Pilpres 2014, Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur, Basuki Tjahaja Purnama   atau yang dikenal dengan Ahok mengambil langkah berani dengan memperpanjang izin prinsip reklamasi yang sudah kadaluarsa.

Melalui Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014, pada 23 Desember 2014, Ahok memberikan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G (Pluit City)  kepada PT Muara Wisesa Samudra. Setelah diangkat menjadi gubernur menggantikan Jokowi yang naik sebagai presiden, ia kembali  mengeluarkan empat izin pelaksanaan pulau F,H,I, dan K kepada beberapa perusahaan.

Belakangan beberapa perusahaan juga mendapat konsesi pembangunan pulau-pulau reklamasi.  PT Pelindo, misalnya, mendapat jatah 1 pulau. Selain itu, terdapat pulau PT Manggala Krida Yudha (1 pulau), PT Pembangunan Jaya Ancol (4 pulau), PT Jakarta Propertindo (2 pulau), PT Jaladri Kartika Esapaksi (1 pulau), PT Kapuk Naga Indah (5 pulau). Tercatat tinggal 2 pulau lagi yang belum dilirik.

Bagi Ahok, pemberian izin di sebagian  besar pulau reklamasi ini bukan tanpa alasan. Proyek ini menjadi sumber pemasukan besar bagi pembangunan Jakarta. Melalui  konsep  kontribusi tambahan, semacam biaya yang mesti dibayarkan perusahaan kepada DKI di luar pembangunan fasilitas umum dan sosial, Ahok mematok besaran 15 % bagi setiap pengelola proyek reklamasi.  Dari kontribusi tambahan itu,  Pemprov berpotensi mendapat Rp 158 triliun dalam 10 tahun.

Dengan potensi pemasukan yang besar itu, sang gubernur sadar akan terdapat tarik ulur aturan Raperda di DPRD DKI Jakarta. Sebagian anggota dewan, misalnya, meminta Ahok untuk menurunkan besaran kontribusi tambahan hingga 5 persen saja. Namun Ahok bergeming.  Ia bahkan  pernah mencoret usulan Badan Legilasi DPRD DKI Jakarta karena berpotensi korupsi.

Betul saja, pada 31 Maret 2016,  Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi tertangkap tangan oleh Komisi Antirasuah. Setelah diproses di pengadilan  politisi Gerindra ini  terbukti menerima suap sebesar Rp 2 miliar dari petinggi Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja untuk pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (RTRKSP) Jakarta di Baleg DPRD DKI Jakarta.

Atas dasar itu, Ahok tak ngotot untuk mendorong pembahasan Raperda dan memilih untuk menerbitkan Pergub 206 tahun 2016. Aturan yang ditetapkan pada 25 Oktober 2016 ini menjadi panduan desain kota di pulau C, D, dan E.  Adapun Pergub dikeluarkan berdasarkan PP Nomor 36 tahun 2005 yang mengizinkan pemerintah daerah mengelola sementara wilayah yang belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)— diatur dalam perda.

Bermodalkan aturan ini,  pengembang mulai membangun daratan buatan. Mereka juga mulai mendirikan berbagai bangunan di atasnya. Di Pulau D, misalnya,  jumlahnya masih 932 bangunan, terdiri dari 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor, 311 bangunan rumah kantor dan rumah tinggal yang belum selesai.