Human trafficking

Puluhan Perempuan Indonesia Jadi Korban Perdagangan Manusia

Jakarta, law-justice.co - Indonesia masih belum bisa lepas dari persoalan human trafficking atau perdagangan manusia. Sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat menjadi korban pengantin pesanan di Tiongkok.

Sekjen Buruh Migran Indonesia (SBMI), Bobi Anwar Ma`arif menyebut, temuan itu merujuk dari tiga proses pelanggaran Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Yakni proses, cara, dan untuk tujuan eksploitasi sebagaimana Undang-Undang 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

Baca juga : Status Internasional 17 Bandara Dicabut, Konektivitas Udara Efisien

Seperti dilansir melalui Merdeka, Bobi mengatakan pada proses perekrutan dan pemindahan, terdapat keterlibatan para perekrut lapangan untuk mencari dan memperkenalkan perempuan kepada laki-laki asal Tiongkok untuk dinikahi. Lalu dibawa ke Tiongkok.

"Cara penipuan digunakan dengan memperkenalkan calon suami sebagai orang kaya dan membujuk para korban untuk menikah dengan iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidup dan keluarganya. Keluarga para korban juga diberi sejumlah uang," kata Bobi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (23/6), seperti dikutip dari Merdeka.

Baca juga : Tentukan Nasib Sendiri & Dekolonisasi Masyarakat Adat di Papua Barat

Bobi menuturkan, seorang laki-laki Tiongkok harus menyiapkan uang 400 juta untuk memesan pengantin perempuan. Dari uang itu, sebanyak 20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan dan sisanya diberikan kepada para perekrut lapangan.

Selain itu, terdapat pemalsuan dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak pada kasus perkawinan atau kontrak. Menurut Bobi, tujuan dalam kasus perkawinan pesanan ini adalah eksploitasi.

Baca juga : Kejagung Bisa Sita Harta Sandra Dewi, Ini Alasannya

Bobi menambahkan, data pelaporan korban yang dihimpun SBMI memperlihatkan bahwa saat tinggal di tempat asal suami, mereka diharuskan untuk bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang.

Kemudian, sepulang kerja mereka diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami dan keluarga suami. Para korban pun dilarang untuk berhubungan dengan keluarga.

Bobi mengatakan, mereka diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami bila ingin kembali ke Indonesia. Eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisir dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini.

"Mereka juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami dan dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami bahkan ketika sedang sakit," ungkapnya.

Dia menambahkan, sejauh ini baru tiga korban yang sudah dipulangkan ke Indonesia. Sementara, ada 26 korban lain di China.

"Jadi dari 29 itu, tiga sudah dipulangkan. 26 Orang lainnya masih bersama suaminya di Tiongkok," ujar Bobi. Ia mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten untuk melakukan berbagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang.