Hersubeno Arief, Konsultan Politik

Sidang MK dan Kisah Pencuri Kambing

Jakarta, law-justice.co - Argumen model pokrol bambu itu terpaksa dimainkan oleh pendukung paslon 01. Mereka sangat menyadari bila materi perbaikan permohonan diterima, hampir dapat dipastikan pasangan Jokowi-Ma’ruf Bakal K.O. Diskualifikasi.

Seorang hakim mengadili pencuri kambing. Ketika si terdakwa ditanya hakim, benarkah dia mencuri kambing? Si terdakwa membantah.

Baca juga : Respons PKS soal Ditolak Partai Gelora Masuk Koalisi Prabowo

“Tidak benar saya mencuri kambing pak hakim. Saya tarik talinya, tapi kambingnya ikut.”

Sang hakim terkejut, tapi merasa geli dengan argumen si pencuri. Namun dia lebih terkejut ketika kuasa hukum si pencuri menyampaikan pembelaannya dengan sangat meyakinkan.

Baca juga : Respons Anies Baswedan soal PKB dan NasDem Merapat ke Koalisi Prabowo

Secara prosedur terbukti bahwa kliennya tidak mencuri. Dia hanya menarik talinya dan kambingnya mengikuti si pencuri. Jadi tak ada yang salah.

Kuasa hukum meminta agar hakim menolak semua dakwaan Jaksa. Jika sampai kliennya dihukum hanya karena “menarik” tali, maka tatanan hukum bisa rusak.

Baca juga : Kata AHY soal NasDem dan PKB Gabung ke Koalisi Prabowo-Gibran

Perdebatan konyol semacam itu jangan Anda pikir hanya bisa ditemukan dalam anekdot.

Jika kita mengikuti perdebatan seputar sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), argumen semacam itu banyak bermunculan di media massa.

Sejumlah pakar hukum tata negara tiba-tiba berubah pandir. Berlagak pilon, menyampaikan pendapat tak ubahnya seperti seorang buzzer.

Mereka menilai langkah tim kuasa hukum Prabowo-Sandi memperbaiki materi permohonan sengketa bisa merusak dan mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan penyimpangan.

Para pakar hukum pendukung paslon 01 itu berargumen, bahwa dalam Peraturan MK tidak ada waktu untuk memperbaiki perbaikan.

Bagaimana dengan substansi materi perbaikan permohonan yang berisi berbagai fakta dan dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh paslon 01? Soal ini dinilai tidak penting. Mereka menyalahi prosedur permohonan.

PMK mengatur bahwa permohonan sengketa harus sudah masuk ke MK maksimal tiga hari setelah KPU menetapkan hasil penghitungan suara. Dalam hal ini maksimal harus masuk tanggal 24 Mei, karena penetapan pemenang pilpres diumumkan tanggal 21 Mei.

Tim kuasa hukum paslon 02 kemudian memasukkan perbaikan pada tanggal 10 Juni. Berdasarkan konsultasi dengan juru bicara MK, perbaikan masih bisa dilakukan.

Langkah kuasa hukum inilah yang mereka persoalkan.

Coba perhatikan. Ada kemiripannya dengan anekdot pencuri kambing tadi bukan?

Singkat kata prosedur mengalahkan substansi. Prosedur dinilai jauh lebih penting dan serius karena dapat merusak tatanan di MK. Merusak hukum acara, dan asas legalitas. Sementara cacat formil dan materiil pencapresan tidak penting. Karena itu harus diabaikan. Harus ditolak oleh MK.

Implikasinya sangat serius
Argumen model pokrol bambu itu terpaksa dimainkan oleh pendukung paslon 01. Mereka sangat menyadari bila materi perbaikan permohonan diterima, hampir dapat dipastikan pasangan Jokowi-Ma’ruf Bakal K.O. Diskualifikasi.

Cacat administrasi pencalonan Ma’ruf Amin sebagai cawapres sangat telak. Sebagaimana pengakuannya, dia masih menjabat sebagai ketua dewan pengawas syariah di BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri.

Ma’ruf tidak bisa berkelit bahwa anak perusahaan BUMN, tidak sama dengan BUMN. Banyak yurisprudensinya. Sebagaimana disampaikan tim kuasa paslon 02, MK dan Mahkamah Agung sudah pernah membuat putusan. Anak perusahaan BUMN, bahkan dana pensiun BUMN adalah BUMN.

Begitu juga dengan pelanggaran sumbangan pribadi Jokowi, dan beberapa perusahaan untuk dana kampanye paslon 01. Data yang dilaporkan janggal, bahkan absurd.

Para buzzer hukum itu sangat diperlukan untuk mempengaruhi opini publik dan majelis hakim di MK.

Mereka mendorong agar MK menolak perbaikan permohonan dan mengadili sengketa pilpres hanya sebatas angka-angka, alias selisih suara yang dipersoalkan. Medan pertempuran ini secara kalkulatif akan lebih mudah dimenangkan.

Celakanya wacana menjadikan MK sebagai mahkamah kalkulator ini sangat ditentang oleh Yusril Ihza Mahendra yang kini menjadi ketua tim kuasa hukum paslon 01.

Saat menjadi saksi ahli yang menangani sengketa pasangan Jokowi-JK melawan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014, Yusril mendorong MK untuk melakukan terobosan hukum.

“MK dalam menjalankan kewenangannya sudah harus melangkah ke arah yang lebih substansial dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pemilihan umum, khususnya dalam hal ini perselisihan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, ” ujar Yusril seperti dikutip Teuku Nasrullah anggota tim kuasa hukum Prabowo-Sandi.

Yusril mencontohkan, Mahkamah Konstitusi Thailand yang dapat menilai apakah pemilu yang dilaksanakan itu konstitusional atau tidak, sehingga bukan persoalan perselisihan mengenai angka-angka belaka.

Menurut Yusril, masalah substansial dalam pemilu itu sesungguhnya adalah terkait dengan konstitusionalitas dan legalitas dari pelaksanaan pemilu itu sendiri.

Dengan demikian, MK harus memeriksa apakah asas pelaksanaan pemilu, yakni langsung, umum, bebas, dan rahasia, jujur, dan adil, telah dilaksanakan dengan semestinya atau tidak, baik oleh KPU maupun oleh para peserta pemilihan umum, penyelenggara negara, penyelenggara pemerintahan, dan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilu.

Begitu juga terkait dengan prosedur pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar. “Ada baiknya dalam memeriksa perkara PHPU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kali ini, Mahkamah Konstitusi melangkah ke arah itu,” ujar Nasrullah saat membacakan pendapat Yusril.

Kutipan pernyataan yang disampaikan oleh Nasrullah pada sidang perdana sengketa Pilpres 2019 itu membuat Yusril dalam posisi dilematis.

Dia tidak mungkin membantah argumennya sendiri untuk mematahkan pokok permohonan dari tim kuasa hukum Prabowo-Sandi. Karena itu para pakar hukum tata negara yang berperan sebagai buzzer sangat diperlukan. Dia tinggal terima bersih.

Bukan hanya Yusril yang menghadapi dilema. Anggota majelis hakim Saldi Isra juga punya problem serupa. Ketika masih menjadi guru besar di Universitas Andalas Saldi pernah menyatakan, “jika ada pelanggaran yang bersifat terstruktur sistematis dan massif (TSM), maka batasan yang dibuat UU terkait minimal selisih suara yang dapat digugat ke MK dapat diterobos.”

Saldi menjadi hakim MK atas usulan Presiden Jokowi. Dia menggantikan Patrialis Akbar yang terjerat kasus suap. Apakah dengan latar belakangnya seperti itu Saldi berani dan mau mengambil keputusan yang akan merugikan Jokowi?

Kini konsistensi dua pakar hukum itu diuji ketika posisinya mereka sudah berbeda. Apakah posisi dan jabatan mempengaruhi pendapat akademis mereka? Publik yang akan menilai.

Seperti dikatakan Charles Lamb (1775-1834) seorang penulis asal Inggris yang dikutip pada awal tulisan, “Seseorang tidak bisa disebut sebagai pengacara, bila tidak bisa mengambil (peran) pada dua sisi“.