Mereka yang di "Bully" Hanya Karena Beda Pilihan Politik

Jakarta, law-justice.co - Kontestasi politik di tahun Pemilu yang kian meruncing telah menyebabkan hubungan antar personal yang tadinya dekat jadi berjarak. Beberapa orang lainnya bahkan sampai menderita, karena menjadi korban doxing data pribadi.

Hubungan sosial Harris Lee (56), dengan para tetangganya kini tidak lagi sama seperti dulu. Sebelum tahun 2012, kata Harris, orang-orang sering mampir ke rumahnya untuk sekedar bercerita atau meminta pendapat. Sebaliknya, ia pun sering nimbrung jika melihat ada tetangganya yang sedang berkumpul bersama.

Baca juga : Pesan Habib Rizieq: Boleh Beda Pilihan Tapi Jangan Saling Mengkafirkan

“Kalau sekarang, bertemu di jalan pun sering tidak saling menyapa. Kalaupun menyapa, sudah pakai elu gue. Padahal, dulu mereka sering panggil saya abang,” kata Harris kepada law-justice.co, saat ditemui di kediamannya, di Kampung Duri Selatan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Situasi seperti itu terjadi setidaknya dimulai sejak Pilkada DKI Jakarta, 2012 lalu. Harris dengan terang benderang menyatakan dukungan kepada salah satu calon gubernur DKI Jakarta. Sementara hampir semua warga di kampungnya menjatuhkan pilihan kepada calon yang berbeda.

Harris merasa, sejak saat itu, mulai tumbuh benih-benih kebencian terhadap dirinya. Perasaan seperti itu semakin kuat saat Pemilihan Presiden tahun 2014. Harris lagi-lagi menjatuhkan pilihan kepada calon yang tidak didukung oleh mayoritas orang di kampungnya. Beberapa orang menyatakan bahwa Harris telah salah memilih calon.

“Waktu itu saya tidak ladeni. Saya masih menganggapnya sebagai ekspresi perbedaan pilihan yang biasa terjadi,” ujar Harris.

Tapi tiga tahun kemudian, ketika tiba waktunya warga DKI Jakarta memilih kembali gubernurnya, tindak kekerasan dan intimidasi mulai dialami Harris. Suatu hari, rumahnya digeruduk sekelompok orang pada pukul 01.15 WIB, karena dianggap memecah belah umat dan pendapat ulama.

Ceritanya, saat Pilkada DKI Jakarta 2017, Harris mendukung salah satu calon yang berlatar belakang non muslim. Saat itu, di kampungnya sedang marak ajakan untuk menolak calon pemimpin non muslim. Sebagai seorang simpatisan, Harris menyebarkan selebaran yang menyatakan pendapat berbeda dari tokoh-tokoh muslim lainnya.

“Enggak banyak, cuma dua lembar. Itu pun enggak ke sembarang orang. Saya kasih ke orang yang memang saya kenal baik. Tapi saya dituduh memecah belah pendapat ulama,” ucap Harris.

Sebagai seorang non muslim keturuan Tionghoa, Harris dianggap tidak pantas melakukan hal seperti itu. Karenanya, Harris dituntut untuk meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Tapi Harris melawan, karena menilai desakan tersebut bersifat intimidatif. Sejak saat itu, julukan “Cina Kafir” mulai melekat pada Harris dan keluarganya.

Harris mengaku, ia bukan tipikal orang yang bisa memendam pendapat berbeda, termasuk mengenai pilihan politik. Setiap Pemilu, ia orang yang suka dengan terang-terangan menyatakan mendukung salah satu calon atau partai tertentu.

Begitu pula dengan Pemilu 2019 yang berlangsung 17 April lalu. Harris lagi-lagi menjagokan calon presiden yang berbeda dengan pilihan sebagian besar tetangganya.

Namun, tahun ini, Harris lebih berani dalam merayakan perbedaan. Ia sengaja memasang spanduk calon presiden, partai, beserta calon anggota legislatif di halaman rumahnya.

Saat ditanya, apakah Harris tidak mempertimbangkan hal itu matang-matang? Ia menjawab, “Saya tidak mendukung orang terlarang. Saya mendukung warga negara yang punya hak untuk dipilih dan memilih. Partainya juga bukan partai terlarang. Hati kecil saya enggak bisa memaksa saya untuk jadi bunglon.”

Karena kenekatannya itu, Harris mengalami kejadian yang paling tidak mengenakan. Tepat sehari sebelum pemungutan suara, halaman rumahnya dilempari kotoran manusia. Pukul 07.00 WIB, anak perempuannya menemukan tinja berceceran tepat di depan pintu rumah mereka.

“Lumayan banyak. Sekantong plastik yang (berukuran) sedang. Halaman rumah saya jadi sangat bau dan kotor,” kenang Harris.

Merasa sudah berlebihan, Harris melapor ke Polsek Tambora. Hingga kini, tidak jelas siapa pelaku dan motif tindakan tersebut. Kejadian pelemparan tinja sempat viral di media sosial pada 17 April 2019.  

Harris meyakini, kejadian tersebut karena perbedaan pilihan politik. Selama ini, ia mengaku tidak pernah terlibat masalah dengan siapapun di lingkungannya. Harris mengatakan, ia sudah tinggal di Kampung Duri sejak tahun 1961, tapi hubungannya dengan orang-orang sekitar selalu kurang baik ketika perhelatan Pemilu tujuh tahun terakhir.

“Sejak muda saya sudah jadi simpatisan partai. Semua orang di sekitar sini tahu itu. Dulu tidak ada masalah. Tapi akhir-akhir ini kok jadi masalah,” keluhnya.

Harris sangat menyayangkan situasi yang seperti ini. Ia merindukan kondisi yang rukun dan damai seperti sebelum adanya perbedaan politik yang kian memanas pada Pemilu akhir-akhir ini. Namun ia sendiri tidak yakin rekonsiliasi bakal menyelesaikan masalah. Beberapa orang yang pernah terlibat masalah dengannya, dugaan Harris, juga enggan berdamai.

Harris merasa, persoalan seperti ini muncul karena tidak adanya kedewasaan dalam berpolitik. Nuansa toleransi dan saling menghormati perbedaan pilihan politik sudah semakin hilang di masyarakat.

“Harapan saya, walaupun mungkin enggak seakrab dulu, say hello nya tetap ada. Orang enggak ada apa-apa kok awalnya. Dulu saya saling gaul di sini, walaupun saya non muslim,” ujar Harris.

***

Apa yang dialami oleh Harris mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan yang menimpa Susy Rizky (53) dan Kennedy Jennifer Dhillon (30). Kedua perempuan itu sama-sama menjadi korban kekerasan seksual berbasis online. Nomor telepon dan identitas pribadi keduanya dipajang di situs-situs prostitusi oleh seseorang yang tidak suka karena pilihan politik keduanya.

Kepada law-justice.co, Susy bercerita, pada 14 September 2017 sore, seorang penelepon dengan mode private number menghubunginya sebanyak lima kali secara beruntun. Belum sempat ada percakapan, si penelepon sudah memutuskan sambungannya.

Kejadian seperti itu berlanjut hingga malam hari. Susy ditelepon oleh ratusan nomor tidak dikenal.

“Pada nanyain tarif, caranya BO (booking order), dan ngomong yang jorok-jorok,” ujar Susy.

Karena kesal, keesokan harinya, pukul 08.00 WIB, Susy melapor ke Polres Bekasi Selatan. Mengadukan bahwa nomor telepon pribadinya telah dipajang di akun-akun prostitusi online. Namun ia disarankan untuk membuat laporan ke Reskrimsus Polda Metro Jaya, karena alat deteksi kejahatan cyber hanya ada di sana. Tanpa menunggu lagi, Susy langsung menuju pusat kota Jakarta.  

Susy bercerita, laporannya sempat diragukan. Polisi belum bisa menangkap kerugian apa yang dialaminya.

Ndilalahnya, pas mereka menolak, telepon saya berbunyi lagi. Private number. Saya angkat di depan polisi biar mereka dengar sendiri. Lima kali ditelepon, baru polisi percaya,” ucapnya.

Susy sempat disarankan untuk ganti nomor telepon. Namun ia menolak dan berkeyakinan bahwa itu bukan solusi. Tidak ada jaminan bahwa teror itu akan berhenti begitu ia mengganti nomor telepon tersebut.

Tidak lama berseleng, kasusnya dilimpahkan ke Polres Bekasi Selatan. Alasannya, agar lebih dekat dengan wilayah domisili Susy. Tapi selama berbulan-bulan tidak ada titik terang tentang pelaku yang membuat akun-akun palsu atas nama Susy Rizky. Berbulan-bulan pula, Susy berhadapan dengan peneror yang tidak ada habisnya.

“Saya sampai stres. Sering marah-marah kalau ada yang telepon. Anak saya trauma setiap malam kalau ada yang telepon,” tutur Susy.

Pada tanggal 24 April 2018, kejadian serupa menimpa Kennedy. Awalnya, ia ditelepon oleh seseorang yang terang-terangan menanyakan jasa “pijit plus-plus”. Sontak Kennedy kaget dan mengatakan bahwa orang tersebut telah salah sambung.

Semakin malam, lebih dari 100 orang terus mengganggunya tanpa henti. Ada yang menghubungi langsung atau sekedar mengirim pesan via WhatsApp. Sebagian besar dari mereka to the point menuduh Kennedy sebagai seorang pekerja seks komersil.

Sejak itu, Kennedy sadar bahwa kontak pribadinya telah dicantumkan pada akun-akun palsu oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tapi ia masih mencoba untuk bersabar. Berharap teror itu mereda seiring waktu.

Namun, semakin dibiarkan, telepon genggamnya tidak pernah berhenti dihubungi orang tak dikenal. Saking banyaknya nomor telepon yang masuk, Kennedy tidak bisa lagi membedakan orang yang berniat baik dengan orang yang berniat mesum.

“Ada satu penelepon yang marah-marah. Katanya dia sudah transfer Rp3 juta dan minta dilayani,” kata Kennedy.


Kennedy Jennifer Dhilon (kedua dari kiri) dalam sebuah diskusi tentang kekerasan seksual di Komnas Perempuan (law-justice.co/ Januari Husin)

Tidak tahan dengan teror tersebut, Kennedy langsung membuat pernyataan klarifikasi di akun media sosialnya. Ia meminta kepada siapun agar jangan percaya dengan kabar miring yang beredar bahwa ia seorang pekerja seks. Dari curhatan di media sosial itu pula Kennedy dipertemukan dengan Susy. Mereka bersama-sama kembali memproses teror tersebut ke polisi.

Butuh waktu yang cukup lama bagi polisi untuk menangkap pelakunya. Kabar baik baru datang pada tanggal 5 November 2018. Selama berbulan-bulan itu, Kennedy mengaku sudah memblokir 4.200 nomor telepon yang menerornya.

Polisi berhasil menangkap pelaku yang saat itu sedang berdomisili di Malang, Jawa Timur. Seorang laki-laki yang belum berkeluarga, berusia 30 tahunan, dan berasal dari Nusa Tenggara Barat. Polisi menyita beberapa unit komputer jinjing dan telepon genggam yang digunakan pelaku untuk beraksi. Dari hasil pemeriksaan lanjutan, dia adalah pelaku yang sama untuk kasus yang menimpa Susy Rizky.

Sebelum pelakunya tertangkap, baik Susy maupu Kennedy hanya bisa menerka-nerka tentang motif pelaku melakukan aksinya. Kini semuanya menjadi jelas. Saat bertemu langsung dengan Kennedy, pelaku mengakui bahwa alasan utama melakukan kejahatan itu karena ia tidak suka dengan haluan politik kedua korbannya.

Susy menerima teror setelah ia aktif mengumpulkan dukungan untuk meminta penangguhan penahanan terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Begitu juga dengan Kennedy, diteror sesaat setelah mengumumkan bahwa ia tengah menggarap film dokumenter tentang Ahok.

Susy mengatakan, apa yang ia dan Kennedy alami adalah sebuah ancaman terhadap demokrasi dan perbedaan politik. Khusus bagi perempuan, perbedaan politik semakin rentan karena kekerasan seksual menjadi sangat ampuh untuk meneror seseorang.

“Saya lebih senang kalau kasus ini dilihat sebagai teror terhadap perempuan yang berpolitik. Ini sangat jelas, penyebabnya karena perbedaan pilihan politik,” kata Susy.

Nabilah Saputri dari Safenet mengatakan, Susy dan Kennedy tidak sendirian. Pihaknya juga mengadvokasi beberapa perempuan yang mengalami teror kekerasan seksual berbasis online, yang sampai saat ini pelakunya belum tertangkap.

“Mereka (para pelaku) itu niat dan memang terstruktur kerjanya. Motifnya kebanyakan memang karena perbedaan pandangan politik,” kata Nabilah.

Bermuara Pada Elit

Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan, menyampaikan pandangan politik di muka umum adalah hak warga negara Indonesia yang dilindungi oleh Undang-undang. Ekspresi politik seseorang berkaitan langsung dengan hak politik yang dijamin oleh UUD 1945 dan hak menyampaikan pendapat di muka umum yang diatur dalam UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Hanya saja, kata Anam, menyampaikan pandangan politik di muka umum menjadi rumit karena ada proses politik praktis yang membaur. Dalam hal ini, masyarakat tidak menjadi aktor tunggal. Ada elit-elit politik yang juga terlibat secara tidak langsung memperuncing masalah di akar rumput.

“Konteks politknya hari ini dibangun seperti apa? Kedewasaan politik kita saat ini tidak dirawat dengan benar. Banyak kampanye politik saat ini yang basisnya identitas, hoaks, bahkan dibumbui dengan ujaran kebencian,” kata Anam.

Kondisi politik yang dibangun oleh elit, menurut Anam, menentukan emosi para simpatisannya ketika berhadapan dengan orang yang memiliki pilihan politik berbeda. Kabar bohong yang sering disematkan pada calon-calon tertentu, membuat masyarakat mudah marah jika ada orang yang memilih calon tersebut.

“Satu orang dengan orang yang lainnya sudah panas duluan. Ketika dia menyatakan dukungannya terhadap calon tertentu kepada orang yang beda pilihan, yang ada ya malah berkelahi. Kalau sejak awal elit politiknya bisa mengerem yang beginian, enggak mungkin akan meruncing di masyarakat,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Khoirunnisa Nur Agustyati, Deputi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Kepada Law-justice.co, Nisa mengatakan, proses demokrasi di Indonesia dewasa ini memang lebih rumit karena merebaknya berita atau kabar bohong yang disertai dengan ujaran kebencian.

“Boleh saja orang menunjukkan keberpihakan poltiknya di muka umum. Cuma masalahnya, ada bumbu-bumbu berita bohong. Ketika seseorang masuk dalam kelompok berbeda, dia akan dikucilkan,” ujarnya.


Deputi Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati (law-justice.co/ Januardi Husin)

Nisa meyakini, elit secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap politik “idola” yang terbangun di masyarakat saat ini. Politisi terkadang turut memprovokasi pendukungnya untuk berekspresi secara berlebihan ketika berjumpa dengan pendukung lawan politik mereka.

“Elit-elit partai punya peranan yang sangat besar. Bagaimanapun juga, masyarakat itu melihat elitnya seperti apa. Kalau elitnya memprovokasi, mereka bisa bergerak,” ucap Nisa.

Sejak UU Pemilu disahkan pada 2017 lalu, Perludem sudah memprediksi bahwa perpecahan di masyarakat bisa kian meruncing jika hanya ada dua calon yang maju dalam kontestasi Pilpres.

Perludem beserja jaringan masyarakat sipil lainnya telah berulang kali mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang peraturan ambang batas pencalonan Presiden atau presidential threshold. Jika tidak ada calon alternatif, kata Nisa, Pemilu 2019 pada akhirnya menjadi puncak pertarungan yang belum selesa sejak lima tahun lalu.

“Kita sudah punya pengalaman pada 2014. Sebetulnya kami tidak mau itu terjadi lagi. Harapan kami, masyarakat punya calon alternatif sehingga masyarakat tidak terpecah dua seperti ini,” tutur Nisa.

Selain karena elit politik, Anam dan Nisa juga menyoroti tingkat literasi masyarakat Indonesia yang masih sangat minim. Simpatisan politik yang mudah termakan kabar bohong menandakan bahwa tidak ada tradisi untuk mengecek fakta. Informasi hoaks yang menguntungkan calonnya cenderung ditelan mentah-mentah tanpa ada budaya literasi.

“Dari segi penegakan hukum, juga memang masih terkesan tebang pilih. Ini juga berkontribus pada kemarahan publik. Misalnya, ada banyak poster yang mencerminkan intolerasi dan mengajak kekerasan, tapi enggak segera diturunkan,” tutur Anam.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sendiri, tambah Nisa, tidak bisa menjerat kampanye hitam yang dilakukan oleh orang-orang di luar struktu kampanye. Saat ini, hampir semua narasi berita bohong dan politik identitas dimainkan oleh simpatisan politik yang tidak masuk dalam struktur kepengurusan tim kampanye.

“Karena kalau di peraturan kampanye, dia mengikatnya kepada tim kampanye yang didaftarkan. Sementara ini kan orang perorang yang tidak masuk dalam struktur. Dia Cuma bisa bisa dijerat dengan UU ITE,” imbuh Nisa.  

Keduanya berharap, baik itu elit politik, aparat penegak hukum, maupun pemerintah mampu ambil bagian untuk menciptakan Pemilu yang damai dan saling menghormati perbedaan. Mereka percaya, konflik yang terjadi di masyarakat karena perbedaan politik bisa mereda jika para elit memberikan contoh yang baik bagaimana bersikap dalam setiap pesta demokrasi.

“Kalau sudah begini mereka yang bisa menenangkan gejolak di masyarakat. Tapi sepertinya hal itu baru bisa dilakuan setelah putusan MK nanti,” tambah Nisa.

Ditulis oleh Januardi Husin.