Indonesia Sibuk Pemilu, Harga Minyak Dunia Meroket

Jakarta, law-justice.co - Harga minyak Brent yang menjadi patokan pasar Eropa dan Asia diam-diam menanjak hingga menembus level US$ 72/barel atau tertinggi sejak November 2018.

Kenaikan harga ini terjadi pada perdagangan Rabu ini (17/4/2019), saat perhatian masyarakat Indonesia sedang tertuju pada hasil quick count atau hitung cepat pemilihan presiden 2019.

Baca juga : Cek Syaratnya, Adaro Minerals Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan SMA-S1

Penyebab utama melesatnya harga minyak dunia adalah sinyal-sinyal pertumbuhan permintaan yang makin kuat.

Pada pukul 20:00 WIB, harga minyak Brent bertengger di posisi US$ 72,05/barel, atau naik 0,46% dari posisi penutupan perdagangan Selasa kemarin (16/4/2019). Adapun harga minyak jenis light sweet (WTI) terdongkrak 0,55% ke posisi US$ 64,4/barel.

Baca juga : Permainan Mengagumkan, Timnas Indonesia U-23 Dapat Bonus Rp23 Miliar

Salah satu sentimen global ialah data ekonomi Negeri Tirai Bambu. Pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 (annualized) yang dibacakan di posisi 6,4% ternyata melampaui ekspektasi pasar. Pasalnya konsensus yang dihimpun Reuters memprediksi capaiannya hanya sebesar 6,3%.

Fakta ini menghapus bayang-bayang perlambatan ekonomi yang telah terjadi sejak tahun lalu. Kala ekonomi masih bisa tumbuh, lebih besar dari yang diharapkan, maka potensi peningkatan permintaan minyak juga membesar.

Baca juga : DPR RI Tolak Normalisasi Indonesia-Israel

Seakan sudah dikonfirmasi sebelumnya, produksi kilang pengolahan minyak China naik hingga 3,2% YoY pada bulan Maret menjadi sebesar 53,04 juta ton atau setara 12 juta barel/hari. Fakta tersebut diungkapkan Biro Statistik Nasional China (National Bureau os Statistics/NBS).

Bahkan peningkatan produksi kilang terjadi di tengah masa perawatan beberapa kilang utama. Diketahui, sepanjang Maret, kilang Huizhou dan Changling ditutup karena masuk jadwal perawatan.

Penyebabnya adalah adanya kilang baru milik swasta, Hengli Petrochemical di Dalian yang telah beroperasi secara penuh. Kilang tersebut memiliki kapasitas produksi 400.000 barel/hari, membuat produksi olahan minyak China meningkat.

"Faktor dari sisi permintaan berbalik [menguat] karena rilis data China, dan menggiring harga minyak ke atas karena pertumbuhan ekonomi global membaik," ujar Stephen Innes, Kepala Perdagangan SPI Asset Management, mengutip Reuters.

Hal yang serupa juga terjadi di AS. Lembaga independen, American Petroleum Institute (API) mengatakan bahwa inventori minyak mentah AS berkurang 3,1 juta barel di minggu yang berakhir pada 12 April. Itu menandakan permintaan terus tumbuh di saat pasokan makin ketat.

Sebagai informasi, sejak awal tahun 2019 pasokan minyak global sudah berkurang karena adanya kesepakatan antara Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk mengurangi produksi hingga 1,2 juta barel/hari.

Terlebih, hasil minyak Iran sulit untuk dilepas ke pasar akibat adanya sanksi dari AS. Reuters melaporkan ekspor minyak Iran pada April kurang dari 1 juta barel/hari dan merupakan yang paling rendah di tahun ini.

Kombinasi antara optimisme peningkatan permintaan dan pasokan yang makin ketat sudah tentu akan membuat harga minyak terangkat.

Namun untuk Indonesia, sebetulnya kenaikan harga minyak bukan berita yang terlalu baik. Pasalnya hingga saat ini NKRI masih merupakan negara net-importir minyak untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

Sebagaimana yang dilansir dari CNBC, kenaikan harga minyak tentu akan membebani neraca perdagangan, yang membuat defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) makin sulit dihapus.