Hari H Pilpres 2019 (Tulisan-6)

Ujaran Kebencian dan Hoaks yang Berujung Perkara Hukum

Jakarta, law-justice.co - Pertempuran antara 2 pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden di media sosial berlangsung sengit  selama masa kampanye Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Situasi ini kian memanas karena perang di dunia maya itu diwarnai dengan penyebaran ujaran kebencian (hate speech) dan kabar bohong (hoaks) untuk menyerang dan menjatuhkan salah satu pasangan calon.

Dalam catatan  Masyarakat Anti Fitnah Indonesia ( Mafindo), misalnya, terdapat 977 hoaks yang telah diverifikasi dari Juli 2018 hingga Januari 2019, 488 di antaranya (49,4 %) menyangkut isu politik terutama Pemilu.  Dari pertengahan hingga akhir tahun lalu, setidaknya terdapat 259 hoaks, sementara pada Januari 2019, terdapat 109 kasus hoaks yang terdeteksi.

Baca juga : Penyidik KPK Terima Laporan Dugaan Pungli Bupati dan ASN Boyolali

Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Jokowi-Maaruf Amin dan Prabowo-Sandi termasuk yang terpapar oleh berita bohong semacam ini. Dalam laporan yang sama, pada Juli-Desember 2018,  terdapat 75 berita bohong yang dipakai untuk menyerang pasangan 01 dan 54 hoaks untuk mendiskreditkan pasangna 02. Sementara, pada Januari 2019, Jokowi-Maaruf Amin terpapar  19 hoaks dan Prabowo-Sandi diserang oleh 21 berita bohong.

Meskipun begitu, hanya segelintir saja kasus-kasus ujaran kebencian dan berita bohong yang diproses pihak berwajib:  Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kepolisian. Berikut beberapa kasus yang berlanjut ke jalur hukum.  

Baca juga : Setop Konser Gaspoll Ahmad Dhani, Bawaslu Surabaya: Terancam Penjara

  1. Ujaran Kebencian Bupati Boyolali pada Prabowo

Bermula dari pernyataan Prabowo dalam sebuah pidato yang menyebut tampang orang-orang Boyolali yang miskin pada 4 November lalu, tuturan itu membuat penduduk daerah itu berang, termasuk Bupati Boyolali, Seno Samodro pun  merespon dengan keras. Dalam sebuah video yang diunggah ke akun Youtube dalam  aksi bela `tampang Boyolali` di gedung Balai Sidang Mahesa, Boyolali, Minggu (4/11) , ia menyebut Prabowo dengan sebutan asu—artinya anjing.

Makian itu pun membuat para petinggi Partai Gerindra segera berekasi keras. Salah satunya adalah Yandri Susanto. Dia menyebut perkataan Bupati Seno itu sebagai ujaran kebencian terhadap Prabowo. Dalam pandangannya, makian itu lebih tendesius daripada pidato yang diucapkan sang calon presiden dan mengancam akan melaporkannya ke pihak yang berwajib.

Baca juga : Al dan El Perkuat Squad Milenial Gerindra

 

Di hadapan petugas TPS. (Foto: Clausewitz `Che` Doli Nalagu Sirait)

Belakangan ancaman itu pun mewujud. Advokat Pendukung Prabowo pun membuat laporan ke Bawaslu karena ucapan itu dianggap sebagai ajakan untuk membenci calon presiden nomor urut 02 itu. Sementara seorang warga bernama, Ahmad Iskandar juga melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri dengan tuduhan bentuk penghinaan berat. Namun sampai saat ini kedua laporan  ini masih diproses.

  1. Berita Bohong 7 Kontainer Berisi Surat Suara Tercoblos

Isu ini pertama kali dihembuskan oleh Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief. Melalui akun Twitternya,  ia meminta KPU untuk mengecek langsung perihal keberadaan tujuh kontainer berisi surat suara tercoblos dari China di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dalam cuitan yang sama, ia menyebut informasi ini telah  beredar luas di kalangan politisi.

Cuitan itu pun segera direspon oleh KPU dan Bawaslu. Pada malam hari yang sama ketika cuitan itu muncul,  KPU dan Bawaslu melakukan inspeksi mendadak ke tempat kejadian perkara, namun tidak menemukan bukti apa-apa.  Segera setelah itu, KPU mengumumkan  bahwa isu itu adalah kabar bohong.  Kedua lembaga ini kemudian melaporkan kabar bohong ini ke Bareskrim Polri.

Salah satu orang yang kemudian ditangkap karena diduga menyebarkan kabar bohong ini adlah seorang guru berinisial MK. Pasalnya, sosok yang mengaku pendukung pasangan calon 02 ini, mengunggah kabar hoaks itu ke akun Twitternya. Setelah melakukan pengejaran ke Majalengka, dia ditangkap di Cilegon pada  6 Januari 2019.

Sementara itu gerah dianggap sebagai biang keladi isu kasus ini, Andi Arief melaporkan ke Bareskrim Polri sejumlah pendukung pasangan  01. Dalam laporannya, politisi Partai Demokrat ini menganggap telah terjadi pencemaran nama baik kepada dirinya yang dilakukan oleh Ali Mochtar Ngabalin , Arya Sinulingga, Guntur Romli, Hasto Kristianto, dan Ade Irfan Pulungan. Namun sampai saat ini kasus ini masih mangkrak di kepolisian .

  1. Hoaks Penganiayaan Ratna Sarumpaet

Salah satu kasus yang menyedot perhatian publik yang luas adalah kebohongan yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet. Pemain teater dan sosok aktivis senior ini, mengaku kepada sejumlah pihak telah dianiaya oleh sekelompok orang di Bandung sehingga menyebabkan wajahnya lebam.  Pada 2 November 2018,  informasi ini beredar di Facebook dan menyebar secara masif melalui Twitter.

Beberapa politisi pendukung Prabowo-Sandi  pun ikut menyebarkan  konten ini dan mengecam tindak kekerasan itu. Pihak kepolisian kemudian memeriksa kebenaran informasi ini. Dalam proses itu terungkap pada saat kejadian Ratna tidak sedang berada di Bandung, tetapi di RS Bina Estetika, Menteng untuk melakukan operasi plastik. Belakangan akhirnya Ratna pun mengakui kebohongan itu.

Dalam sebuah konferensi pers, ia mengatakan hal itu dilakukan untuk membohongi anak-anaknya. Namun ketika lembam itu hilang, Ratna masih mengaku  wajahnya dipukul kepada sejumlah politisi, seperti Fadly Zon. Hal inilah yang menyebabkan Prabowo Subianto sempat menggelar konferensi pers untuk mengencam pelaku tindakan itu. Belakangan, setelah terungkap, Prabowo pun meminta ma’af dan meminta Ratna untuk mundur dari Badan Pemenangan Nasional (BPN).

Segera setelah itu, para politisi  pendukung Jokowi-Maaruf Amin melaporkan Ratna ke polisi atas tuduhan menyebarkan berita bohong. Salah satunya adalah Farhat Abbas. Tak hanya itu, ia ikut melaporkan 17 politikus lain karena isu ini dipakai untuk menyerang pasangan 01. Belakangan polisi pun menangkap Ratna kala hendak bertolak ke Chile di Bandara Soekarno-Hatta untuk menghadiri sebuah acara. Kini kasus ini pun  telah sampai di pengadilan.

Sebagai respon atas tindakan Farhat, pengacara lain Egi Sudjana juga melaporkan balik ihwal tuduhan itu ke Bareskrim Polri karena  Farhat dituduh memelintir informasi tentang kasus ini. Namun sayangnya, pihak kepolisian tidak mau menerima laporan itu dengan alasan kasus Ratna Sarumpaet belum jelas duduk perkaranya.

  1. Ujaran Kebencian “Vlog Idiot” Ahmad Dhani

Kasus ini bermula ketika Ahmad Dhani hendak menghadiri deklarasi acara #2019Ganti Presiden di Surabaya pada 26 Agustus 2018. Namun Ahmad Dhani yang ketika itu menginap di Hotel Majapahit tidak bisa keluar karena dihadang massa penentang acara itu.  Pada saat terjebak itulah, ia membuat sebuah video  yang berisi permohonan maaf karena tidak bisa menghadiri acara itu dan menyebut massa yang menghadangnya itu dengan ucapan idiot.

Merasa terhina, massa yang menyebut dirinya Koalisi Bela NKRI melaporkan pentolan grup musik Dewa 19 itu ke Polda Jatim.  Ia dipanggil polisi untuk pertama kalinya pada 1 Oktober, namun membantah telah mengatakan para pendemo dengan umpatan idiot. Bantahan itu tak banyak berguna karena polisi menetapkan politisi Partai Gerindra itu sebagai tersangka dalam kasus itu.

Kurang dari tiga bulan kemudian, pada Januari 2019, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menyatakan berkas kasus itu telah rampung. Ia pun diajukan ke pengadilan setelah sebelumnya divonis bersalah dalam kasus lain dan dipenjara di Cipinang. Dhani pun dipindahkan ke Rutan Medaeng, Surabaya  karena harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri Surabaya mulai  7  Februari lalu. Saat ini proses persidang telah sampai di tahap penuntutan yang akan dibacakan jaksa pada 23 April mendatang.

*Kontribusi berita: Teguh Vicky Andrew