Hari H Pilpres 2019 (Tulisan-5)

Perang Badar di Media Sosial

Jakarta, law-justice.co - Perhelatan pesta demokrasi tahun ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan beberapa pemilihan umum (pemilu) terdahulu. Selain pelaksanaan Pemilu Presiden (Pilpres) dan Legislatif (Pileg) yang untuk pertama kalinya dilakukan secara serentak, penggunaan teknologi internet, terutama melalui media sosial, pun semakin masif selama periode masa kampanye yang berlangsung 6 bulan.

Dalam rentang waktu itu, media sosial menjelma menjadi corong utama—bersama dengan kampanye konvensional—untuk mengiring dan meyakinkan pemilihdengan berbagai cara. Mulai dari yang paling standar, yaitu melalui pemaparan visi dan misi program yang diusung hingga penyebaran konten-konten yang kontroversial, berupa ujaran kebencian dan berita bohong (hoaks). 

Strategi yang disebut terakhir membuat masyarakat terbelah dan berada dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Pasalnya, konten-konten semacam ini tidak menghadirkan diskursus kritis, tapi bertujuan untuk menyerang dan menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Walhasil, polarisasi tidak saja terjadi di kalangan warganet, tetapi juga masyarakat secara umum.

Sejak saat itu, istilah cebong—dari kata kecebong—dan kampret pun lahir. Bila cebong merupakan sebutan untuk para pendukung calon presiden dan wakil presiden petahana Joko Widodo-Maaruf Amin, kampret untuk pendukung penantangnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Politik Praktis dan Media Sosial

Sebenarnya, relasi antara dunia politik dan internet bukan fenomena baru. Menurut Merlyna Lim (2003), teknologi ini sudah dipakai sebagai instrumen perlawanan yang dilakukan kelas menengah pada tahun-tahun akhir kekuasaan Soeharto. Ia juga menyebut Partai Keadilan—kini bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS)—menjadi organisasi politik pertama yang menggunakan internet sebagai alat kampanye pada  Pemilu 1999.


Perang tagar. (Infografis oleh Christopher AA Mait/Law-justice.co)

Sementara dalam Pemilu 2004 dan 2009, internet telah menjadi bagian dari kampanye yang dilakukan oleh partai politik, calon presiden dan wakil presiden. Meskipun begitu, penggunaan media sosial baru dilakukan setidaknya pada 2012, ketika Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta berlangsung. Sementara dalam Pemilu Presiden 2014, peran media sosial kian penting dalam kampanye politik (Lim, 2017).  Kecenderungan ini terus berlanjut, kian kompleks, dan memuncak menjelang dan saat Pemilu 2019.

Kombinasi antara jumlah pengguna internet yang tinggi, ragam media sosial yang tersedia, dan iklim demokrasi di Indonesia menjadi alasan untuk menjelaskan maraknya aktivitas di sosial media, termasuk ranah politik begitu populer. Menurut laporan Digital 2019 Indonesia, pada Januari lalu setidaknya terdapat 150 juta pengguna internet, serupa dengan pengguna media sosial. Mereka tersebar di Youtube (88%), Facebook (81%), Instagram (80 %), dan Twitter (52%).

Dengan demikian, berdasarkan laporan yang sama, lebih dari separuh (55%) penduduk Indonesia merupakan pengguna internet dan media sosial. Hal ini memerlihatkan seberapa besar pontensi media sosial sebagai medium untuk memengaruhi dan memobilisasi massa dalam perhelatan akbar yang melibatkan hampir seluruh masyarakat Indonesia, seperti Pemilu 2019. 

Namun potensi besar pengguna media sosial ini kerap kali berkelindan dengan polarisasi yang terjadi dalam masyarakat karena pilihan politik yang berbeda. Akibatnya, kerap kali terjadi pertempuran antara dua kubu di media sosial. Tak jarang pertikaian itu dipicu oleh pembuat opini yang datang dari sosok-sosok berpengaruh, seperti elit partai politik dan selebritis media sosial.

Salah satu akar dari perang di media sosial yang masif dalam Pemilu 2019 muncul pada Februari 2018. Ketika itu, dalam sebuah acara televisi, politisi PKS Mardani Ali Sera mengatakan presiden akan berganti pada 2019 untuk mematahkan wacana politik “Dua Periode” yang sedang digaungkan pendukung Presiden Jokowi.  Setelah itu, dalam acara televisi lainnya pada 3 April 2018 , ia menggunakan gelang dengan tulisan “#2019GantiPresiden” yang kemudian mendadak populer dan tersebar luas di media sosial.  

Hampir satu bulan berselang, tagar ini menjelma menjadi sebuah gerakan bertajuk “#2019Ganti Presiden” yang dideklarasikan pada 6 Mei 2018 di Lapangan Monas. Deklarasi serupa bermunculan di banyak kota. Tagar semacam ini juga muncul di berbagai produk fisik, mulai dari baju, topi, syal, spanduk, pin, gambar tempel, dan lagu.  Sejak saat itu, deklarasi pertempuran politik di media sosial sesungguhnya telah ditabuh.

Perang Tagar

Seperti telah diprediksi sebelumnya, perang tagar (hastag/#) menjadi sangat intens pada masa kampanye Pilpres 2019. Beberapa tagar populer pun bermunculan. Mulai dari tagar lama, seperti #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi, hingga deretan tagar baru yang bermunculan sepanjang periode ini, terutama pasangan hastag yang saling berseberangan. Sebut saja  #KoalisiPraBOHONG vs #BapakHoaxNasional dan #VisiMisiJokowiMenang vs #HaramPilihPemimpinIngkarJanji.

Intensitas tinggi perang tagar di media sosial dapat terlihat dari popularitas hastag resmi Pemilu 2019. Seperti yang dilaporkan Twitter, sepanjang  2018 setidaknya terdapat 2 tagar yang masuk deretan hastag populer di tahun ini. Bila #2019TetapJokowi berada di peringkat ke-5, #2019PrabowoSandi duduk di posisi ke-6. Kedua tagar ini hanya kalah dari #BTS dan #Exo—keduanya grup musik asal Korea, #AsianGames2018 dan #WorldCup.

Sementara laman droneemprit.id membuat pemeringkatan khusus untuk tagar resmi Pilpress 2019 sepanjang 2018. Hasilnya, dari pihak Jokowi-Maaruf Amin, #2019TetapJokowi disebut 1,1 juta kali, #01IndonesiaMaju disebut 383 ribu kali, dan #01JokowiLagi  disebut 322 ribu kali. Sementara, dari Prabowo-Sandi, #2019GantiPresiden disebut 6,6 juta kali, #2019PrabowoSandi disebut 1, 4 juta kali, #2019PrabowoPresiden disebut 823 ribu kali, dan #AdilMakmur disebut 523 kali.

Meskipun pertempuran sengit terjadi di media sosial, terutama Twitter, banyak pihak yang menganggap peperangan itu dilakukan oleh mesin, baik berupa bot atau buzzer. Mereka menggunakan akun-akun fiktif untuk menggaungkan tagar-tagar politik dalam Pemilu 2019. Namun dugaan itu dibantah oleh laporan lembaga Indonesia Indicator pada Oktober 2018, yang menyebut pelaku perang tagar di media sosial hampir semuanya adalah manusia, bukan mesin.  

Laporan itu, misalnya membedah #2019PrabowoSandi. Hasilnya, terdapat 138.357 cuitan dari 19.030 akun. Dari analisis yang dilakukan, hanya  6,9 % akun yang terdeteksi robot, sementara 93,1 % adalah akun manusia. Hal serupa juga ditemukan dalam #2019TetapJokowi. Dari 168.322 cuitan yang dilakukan oleh 20.518 akun, 92,2 persen di antaranya dilakukan oleh manusia.

 

Gambar pilihan di TPS tadi. (Foto: Clausewitz `Che` Doli Nalagu Sirait)

Temuan semacam ini diperkuat dengan munculnya, tagar-tagar Pilpres 2019 yang hampir selalu terkait dengan peristiwa-peristiwa yang aktual dan mendapat perhatian luas publik. Mulai dari debat calon presiden dan wakil presiden hingga kampanye akbar yang dilakukan, baik oleh Jokowi-Maaruf Amin maupun Prabowo-Sandi.

Dalam debat perdana, misalnya, para pendukung Jokowi-Maaruf Amin menggaungkan #Debat01Jokowi yang cenderung netral. Sementara simpatisan Prabowo-Sandi mempopulerkan #RakyatSudahMuak yang menyerang pasangan petahana karena dianggap tidak memenuhi janji-janji politik selama berkuasa. Tagar ini bahkan sempat masuk dalam jajaran trending topik pada 17-18 Januari 2019.

Sementara dalam debat kedua, perang tagar kembali terjadi. Dua tagar yang diusung pendukung Prabowo-Sandi, yaitu #NewEraPrabowoSandi dan #PrabowoMenangDebat masuk jajaran trending topic. Sementara dari pihak pendukung Jokowi-Maaruf Amin, hanya terdapat #DebatPintarJokowi yang tercatat dalam daftar yang sama.

Di luar itu terdapat beberapa tagar lain yang bermunculan. Mulai dari #2019PrabowoPresidenRI #MenolakLupaJanji2014 yang diusung pendukung pasangan 02 hingga #2019TetapJokowi #01JokowiLagi #JokowiOrangnyaBaik yang digaungkan simpatisan pasangan 01.

Dalam kampanye akbar di Gelora bung Karno yang dilakukan oleh Prabowo-Sandi pada 7 April lalu, mulai pagi hingga siang hari, perang tagar juga terjadi. Ketika itu muncul #TheGreatCampaignOfPrabowo dan #AkalSehatPutihkanGBK yang digaungkan oleh pendukung pasangan 02. Kedua tagar ini, bahkan sempat duduk pada peringkat ke-1 dan ke-3 dalam daftar trending topic pada hari itu.

Sementara pada sore harinya, pasangan Jokowi-Maaruf melakukan kampanye di kawasan ICE BSD, Tangerang, Banten. Pada saat itu muncul tagar #KarnivalIndonesia01 yang digaungkan pendukung pasangan 02 untuk mengangkat acara ini, sekaligus menyaingi kampanye akbar yang dilakukan oleh pasangan Prabowo-Sandi. Tagar ini kemudian menjadi penyeimbang kedua hastag yang digaungkan oleh pendukung pasangan 02 itu.

Dari Dunia Nyata ke Dunia Maya

Sebagian besar isu di dunia maya merupakan dampak langsung atas kejadian di dunia nyata. Pasukan medsos kedua pasangan Capres dan Cawapres cenderung berperang dengan cara merespon langsung kejadian yang sekiranya mampu mengangkat elektabilitas jagoan mereka, atau justru menjatuhkan lawannya.

Minggu lalu, Kamis (11/4/2019), Menara Digital Network merilis big data tentang percakapan di media sosial selama periode 11 – 24 Maret 2019 dan 25 Maret – 9 April 2019. CEO Menara DIgital Network Anthony Leong mengatakan, pihaknya telah menyortir semua akun-akun bot, baik yang ada di Facebook, Twitter, Instagram, maupun Youtube.

 

Mereka yang bergairah menunggu giliran di Tps, tadi. (Foto: Karl BAM Sirait)

“Kami mengambil semua percakapan, baik itu di postingan status maupun di kolom komentar,” kata Anthony, yang juga berstatus sebagai anggota pemenangan pasangan Prabowo-Sandi.

Dari hasil analisis big data atas percakapan yang terjadi selama masing-masing dua pekan itu, Menara Digital mengumpulkan total percakapan tentang kedua Paslon. Untuk periode pertama, 11 – 24 Maret 2019, total ada 6.034.878 percakapan di media sosial yang membicarakan kedua Paslon. Persentase keduanya hampir seimbang, hanya saja Paslon Prabowo-Sandi sedikit lebih banyak dibicarakan dengan persentase mencapai 50,2%.

Persentase percakapan tentang Prabowo-Sandi meningkat untuk periode kedua, 25 Maret – 9 April 2019, yang memiliki total percakapan 8.966.935. Anthony mengatakan, percakapan di seluruh media sosial yang membicarakan Prabowo-Sandi meningkat sedikit menjadi 51,3%.

“Secara keseluruhan, selama empat pekan, Prabowo-Sandi unggul dari segi percakapan di media sosial, yakni 50,8%,” ujar Anthony.

Selain itu, Menara Digital juga merilis data tentang sentimen warganet mengenai kedua Paslon. Anthony menjelaskan, pihaknya menggunakan kata kunci yang tersebar di status dan komentar warganet tentang kedua Paslon. Kata kunci dipilih berdasarkan kejadian nyata yang terjadi selama periode 11 Maret – 9 April 2019.

Hasilnya, perbedaan sentimen kedua kubu cukup mencolok. Untuk Paslon Jokowi-Ma’ruf Amin, ada 51,1% sentimen positif, 27,2% sentimen negatif, dan 21,6% sentimen yang cenderung bersifat netral. Sementara untuk Paslon Prabowo-Sandi, ada 63,4% sentimen positif, 17,3% negatif, dan 19,3% sentimen netral.

Sentimen positif dan negatif dipengaruhi oleh beberapa kata kunci yang berdampang langsung pada popularitas kedua Paslon di jagat maya. Kata kunci tersebut berasa dari topik-topik yang berkembang tentang kedua Paslon.

Beberapa topik yang berdampak positif bagi palon Jokowi-Ma’ruf Amin di antaranya adalah Kartu Prakerja, Kartu Sembako Murah, Kartu Indonesia Pintar, dan MRT Jakarta. Sedangkan topik-topik yang berdampak negatif bagi Paslon nomor urut 01 di media sosial adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) Romahurmuziy, TOL Langit, E-KTP WNA yang masuk DPT, Amplop Serangan Fajar, Pengerahan BUMN, dan Apel Kebangsaan 18 Miliar.

Sementara untuk topik-topik yang berdampak positif pada Paslon Prabowo-Sandi di antaranya adalah E-KTP Multifungsi, Penghapusan Ujian Nasional, Rumah Siap Kerja, Kampanye Akbar, Rumah Siap Kerja, dan 100 Hari Turunkan Harga Listrik. Sedangkan yang sentimen negatif kepada Prabwo-Sandi adalah Prabowo Marah, Oke OCE Gagal, TNI Rapuh, dan Prabowo Buka Baju.

“Berdasarkan pengalaman kami di Pilkada DKI, Pilkada Jateng, dan Pilkada Jabar, dari hasil analisis big data ini, kami prediksi hasil pemilu akan dimenangankan oleh Paslon Prabowo-Sandi 55,6 persen,” kata Anthony.

Menyikapi hal itu, Anggota tim ahli ekonomi Tim Kampanye Nasional (TKN) Benny Pasaribu membenarkan hasil rekapan big data tersebut. Ia mengatakan, apa yang dipaparkan oleh Menara Digital merupaka kerja mesin yang cenderung sama dengan hasil kerja dari tim TKN.

“Hasil big data ini bisa kami terima. Tidak debatable, karena itu dikerjakan oleh mesin. Tapi kalau sudah bicara analisis dan kesimpulannya, itu menurut saya masih bisa diperdebatkan. Masak tiba-tiba Prabowo menang?” kata Benny, mengomentari kesimpulan akhir dar Anthony yang memperkirakan Paslon Prabowo-Sandi bakal menang di pilpres 2019.

Bagaimanapun juga, menurut Benny, hasil rekapan big data percakapan di media sosial tidak bisa menjadi tolak ukur siapa Paslon yang bakal menang. Karena warganet tidak ditanya langsung tentang pilihan mereka pada pemilu mendatang.

“Kalau dari hasil survei kan jelas, karena pertanyaan itu langsung. ‘Kalau Pilpres sekarang ini, Anda pilih siapa?’ Jawabannya juga jelas. Itu yang dicatat. Kalau ini kan hanya sekedar percakapan dan tidak ada pertanyaan,” ujar Benny.

Walau begitu, Benny tidak membantah tentang beberapa topik yang berdampak negatif bagi Paslon Jokowi-Ma’ruf Amin. Ia sepakat bahwa beberapa topik bisa berdampak buruk di media sosial bagi Paslon tertentu. Namun, kata dia, sebagian besar dari topik-topik tersebut berasal dari kabar bohong atau terlalu dikait-kaitkan dengan petahana Jokowi.

“Sekarang ini, ada banyak isu yang terlalu dikait-kaitkan dengan Jokowi. Seolah-olah yang salah Jokowi. Ada anak mencuri uang orang tuanya, yang salah Jokowi,” kata Benny.

Polisi partai Hanura itu mencoba untuk meluruskan beberapa isu negatif yang menurut dia terlanjur disematkan kepada Jokowi dan Ma’ruf Amin. Misalnya pernyataan tentang kasus E-KTP WNA yang masuk dalam DPT, menurut Benny, hal itu tidak ada kaitannya dengan Jokowi karena kesalahan terjadi di tingkat desa atau kelurahan. Sama halnya dengan isu pengerahan karyawan BUMN untuk mendukung Paslon No. 01, Benny menegaskan bahwa hal itu adalah hoaks. Begitupun dengan pernyataan Ma’ruf Amin tentang TOL Langint yang banyak disalah mengerti.

“TOL Langit itu maksudnya internet dengan kecepatan yang tinggi. Tapi bahwa semua itu kemudian berdampak negatif bagi Jokowi di media sosial, ya iyalah. Hanya saja, signifikansinya itu yang harus diluruskan,” kata Benny.

Di Instagram, #TollangitJokowi sampai sampai saat ini sudah mencapai angka 1.771 postingan. Sebagian besar postingan tersebut berisi video atau foto sindiran terhadap pernyataan Ma’ruf Amin pada Februari lalu. Namun ada juga beberapa unggahan yang mencoba untuk meluruskan program TOL Langit Jokowi.

Sementara mengenai isu OTT Romahurmuziy, Benny menilai, terlalu berlebihan jika menganggap hal itu akan berdampak langsung pada elektabilitas Paslon jagoannya. Ia mengatakan, terlalu jauh jika mengaitkan kasus OTT Romahurmuziy dengan petahana. Hastag #OTTRomahurmuziy sendiri menjadi salah satu yang poluler di Twitter, terutama pasca Debat ketiga antar para Cawapres.

Juru Bicara milenial TKN, Ivan Riansa, menimpali, pihaknya memang sedikit kewalahan dalam merespon isu-isu yang dapat berdampak pada elektabilitas Jokowi-Ma’ruf Amin. Tapi khusus untuk kasus Romy, ia menegaskan bahwa hal itu tidak menjadi beban TKN dan koalisi besar bersama Partai Persatuan Pembangunan.

“Itu justru membuktikan bahwa di koalisi TKN ini tidak ada bagi-bagi jabatan. Bahwa pak Jokowi tidak pernah melindungi orang-orang terdekatnya. Kami semua fokus bekerja untuk menang,” kata Ivan saat dihubing Law-justice.co, Jumat (12/4/2019).

Pemilu, pada akhirnya memang ditentukan oleh perolehan suara di TPS. Tapi ada dimensi lain meramaikan pesta demokrasi. Tempat dimana semaua orang saling berbeda pandangan, saling berdebat, saling caci maki, bahkan saling ancam. Dimensi itu adalah media sosial, dan senjata yang paling ampuh adalah perang hastag (#).

*Kontributor tulisan: Junaedi Husin.