Tinggal Sebulan Lagi Pilpres (Tulisan-2)

Membaca Ulang Putusan MK Tentang Hak Disabilitas Mental

Jakarta, law-justice.co - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan bahwa orang dengan disabilitas mental akan terdata dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dengan begitu, hak mereka akan terjamin dalam Pemilihan Umum 2019. Semua itu bermuara pada putusan MK, 13 Oktober 2016 lalu.

Isu tentang hak penyandang disabilitas mental dalam Pemilu mencuat dengan adanya aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal 57 ayat (3) huruf a menyatakan, "Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya."

Baca juga : Berkas Lidik Korupsi SYL Bocor, KPK Bakal Lacak Pelakunya

Menurut sebagian orang, aturan itu berpotensi menghilangkan hak penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak pilihnya pada setiap pesta demokrasi. Padahal, Undang-undang Pemilu menegaskaan, setiap warga negara Indonesia yang sudah berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah, memiliki hak suara dalam Pemilu.

Setiap aturan yang bersinggungan dengan penyandang disabilitas mental, yaitu UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan UU Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,  menegaskan bahwa mereka memiliki hak politik yang sama sebagai warga negara Indonesia.

Baca juga : Kasus Firli Mandek, Kejaksaan Sebut Polda Belum Lengkapi Berkas

Selain itu, ada juga UU Nomor 19 tahun 2011 tentang ratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Melalui pengakuan terhadap konvensi itu, Indonesia telah menyetujui bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas (baik fisik maupun mental) merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Negara harus menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan, termasuk partisipasinya dalam politik.

Karena itu, tiga lembaga yang getol memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas kemudian mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK), terhadap Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 tahun 2015. Ketiganya adalah Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat, dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Mereka mendatangi MK pada 20 Oktober 2015, dan permohonan tersebut teregistrasi dalam perkara nomor 135/PUU-XIII/2015.

Baca juga : Politisi Demokrat Ajak Seluruh Pihak Bersatu Membangun Bangsa

Ketua PJS Yenni Rosa Damayanti mengatakan, gugatan itu mereka ajukan karena hak pilih setiap warga negara harus dijamin. Dalam sebuah negara demokrasi, hak memilih pemimpinnya tidak bisa direnggut dengan alasan apapun.

"Memilih adalah hak dasar warga negara," tegas Yenni saat ditemui Law-justice.co di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis (4/3/2019).

Menurut dia, ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015 bersifat diskriminatif bagi warga negara yang mengidap psikososial atau disabilitas dengan gangguan mental. Karena tidak terdaftar dalam DPT, aturan itu terlalu dini menghilangkan hak memilih setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam Pemilu.

Mereka berkeyakinan bahwa disabilitas mental bukanlah penyakit yang muncul terus menerus dan setiap saat. Orang yang mengalami psikososial bisa muncul pada saat-saat tertentu, namun bisa juga hilang atau sembuh pada saat yang lain.

Deputi Direktur Program Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menjelaskan, disabilitas mental adalah kondisi yang bersifat periodik dan tidak tetap.  Tidak ada yang bisa memastikan kapan penderita disabilitas mental akan kambuh, dan kapan pula akan hilang gejalanya. Dengan begitu, kehadiran Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015 dianggap tidak relevan.

“Kalaupun dia sedang gaduh dan gelisah, itu tidak akan berkepanjangan. Jika dia minum obat secara rutin, enggak akan ada masalah. Dia bisa beraktivitas seperti biasa,” kata Khoirunnisa saat ditemui Law-justice.co di kantornya, Jumat (8/3/2019).

Ia memahami, bahwa keinginan para pengguat telah disalahpahami oleh sebagian orang, seolah-olah mereka mendorong orang dengan gangguan jiwa untuk mencoblos pada hari H Pemilu. Khoirunnisa menegaskan, menjaga hak memilih dan proses pemilihan merupakan dua hal yang berbeda.

“Siapa sih yang menyuruh mereka memilih? Memilih itu kan hak setiap orang,” tegas dia.

Masalahnya, kata perempuan yang kerap disapa Ninis itu, Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015 telah menyamaratakan semua orang yang mengalami gangguan jiwa atau gangguan ingatan. Padahal, orang dengan gangguan jiwa memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Penyamarataan itu berdampak pada hilangnya hak warga negara untuk terdata dalam DPT.

“Ada yang cuma bipolar atau skizofrenia. Bukan berarti orang yang gangguan mental di jalan-jalan itu kami suruh datang ke TPS untuk memilih. Kami hanya ingin negara tidak menghilangkan hak mereka dalam memilih,” ujar dia.

Salah satu bentuk keterjaminan hak pilih warga negara adalah terdata dalam DPT. Ninis menegaskan, hak penyandang disabilitas mental untuk terdaftar di DPT sama dengan hak orang pada umumnya. Dengan kata lain, negara wajib mendata setiap orang yang memiliki hak pilih tanpa memandang apakah yang bersangkutan seorang dengan disabilitas mental atau bukan.

“Terlepas nanti mereka bisa milih atau enggak. Itu sudah menjadi isu yang berbeda. Orang yang tidak disabilitas mental juga kadang-kadang bilang ‘Aduh, gue salah pilih ini’. Artinya, orang biasa juga punya masalah dengan kemampuan memilih. Jadi, tidak ada tolak ukur yang bisa digunakan apakah mereka nantinya bisa memilih dengan benar atau tidak,” tutur Ninis.

Menyikapi permasalahan yang diajukan oleh para pemohon Judicial Review Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015, sembilan hakim MK berkesimpulan bahwa pokok persoalannya terletak pada hak orang untuk terdata dalam DPT. Dalam salinan putusan perkara nomor 135/PUU-XIII/2015, MK menyatakan, hak terdaftar menjadi DPT dan hak memilih merupakan dua hal yang berbeda.

Walaupun terlihat identik dan saling berkaitan, MK mengatakan, pendaftaran di DPT adalah proses administratif yang dilakukan oleh KPU untuk kepentingan pendataan dan penyediaan logistik pada saat hari H Pemilu. Dengan begitu, hak pilih seseorang tidak semerta-merta gugur jika yang bersangkutan tidak terdata dalam DPT.

Kendati demikian, terlepas dari perbedaan tersebut, pada prinsipnya MK setuju bahwa setiap orang yang memiliki hak pilih, seharusnya juga terdata dalam DPT. Dengan begitu, Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015 menjadi relevan untuk dipersoalkan.

“Secara umum, gangguan jiwa dari perspektif medis memiliki beberapa jenis yang lebih spesifik. Berdasarkan durasi gangguan, ada yang permamen atau kronis. Namun ada pula yang bersifat sementara, tidak permanen, atau episodik,” kata hakim Wahiduddin Adam, saat membacakan salinan putasannya di gedung MK.

Hal itu yang tidak dipahami oleh masyarakat secara umum ketika berbicara tentang orang dengan gangguan jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari, orang dengan gangguan jiwa sering disebut sebagai “orang gila”. Padahal keduanya berbeda jika dilihat dari tingkat keseriusan dan rentang waktu gejalanya.

Penggunaan kata “orang gila” lebih tepat ditujukan kepada orang dengan gangguan psikosis yang memiliki ciri-ciri antara lain hidup menggelandang, bersifat asosial, dan tidak menyadari keberadaan dirinya. Terhadap orang-orang seperti itu tidak bisa menjadi subjek hukum dan tidak perlu diatur oleh undang-undang seperti UU Pemilu.  

“Kerancuan persepsi itu harus diluruskan agar tidak terjadi perlakuan yang tidak tepat terhadapat orang dan gangguan jiwa / gangguan ingatan. Putusan pengadilan memiliki posisi yang penting untuk menghilangkan stigma,” ujar Wahiduddin.

Karena itu frasa dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015 harus benar-benar diuji. Apakah betul ada poltensi penghilangan hak seseorang dengan diberlakukannya ketentuan tersebut.

Pada intinya, MK menjelaskan bahwa frasa “sedang” dalam pasal tersebut sudah mencerminkan sifat kesementaraan. Artinya, orang yang tidak bisa terdata dalam DPT hanyalah orang-orang yang sedang atau tengah terganggu jiwanya. Bukan orang dengan gangguan jiwa yang sudah dinyatakan pulih.

Masalahnya, ada rentang waktu yang cukup signifikan antara proses pendataan DPT dan hari H Pemilu. Seseorang yang memiliki hak untuk memilih, biasanya didata jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan Pemilu.

Dengan begitu, jika mengacu pada aturan tentang syarat terdata di DPT, ada potensi hilangnya hak-hak orang dengan gangguan jiwa. Padahal, bisa saja dalam rentang waktu antara pendataan dan hari H Pemilu, yang bersangkutan sudah tidak lagi memenuhi syarat untuk digugurkan dalam proses administrasi DPT.

Hakim MK memandang, pokok persoalan sebetulnya terletak pada ketiadaan aturan yang menjelaskan tentang kriteria orang-orang dengan gangguan jiwa. Pasal 1 UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, misalnya, hanya menjelaskan mengenai definisi orang dengan gangguan jiwa. Namun tidak menjelaskan secara detail mengenai karakterisasi orang dengan gangguan jiwa.

Padahal, Pasal 148 dengan tegas mengatakan, "Penderita gangguan jiwa memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Hak-hak itu melingkupi semua aspek kehidupan, kecuali yang diatur dalam UU lainnya."

Karena tidak ada aturan yang bisa dirujuk untuk menjelaskan kategorisasi orang dengan gangguan jiwa, MK menilai Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015 telah menyamakan konsekuensi bagi semua penderita gangguan jiwa. Pada taraf ini, ketentuan tersebut berpotensi untuk menghilangkan hak-hak orang dengan gangguan jiwa.

Pertanyaannya kemudian, apakah pasal tersebut harus dibatalkan?

MK punya pertimbangan lain, bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015 adalah regulasi yang diperlukan oleh KPU untuk membangun database pemilih. DPT diperlukan agar proses Pemilu bisa terlaksana dengan lancar tanpa adanya hambatan-hambatan saat hari H Pemilu.

Terkait dengan hak para penyandang disabilitas mental yang terlanggar dalam pasal tersebut, menurut MK, hanya diperlukan analisis mendalam tentang kategorisasi orang dengan gangguan jiwa. Analisis tersebut tidak bisa dibebankan kepada penyelenggara Pemilu seperti KPU, melainkan harus diberikan kepada ahlinya, yaitu dokter spesialis gangguan jiwa.

Analisis mendalam itu perlu dirumuskan dalam bentuk peraturan-peraturan teknis lainnya. Aturan teknis itulah yang nantinya akan menjadi acuan petugas untuk menentukan mana orang dengan gangguan jiwa yang tidak memenuhi syarat untu terdata dalam DPT. Tentu saja, dengan acuan yang jelas, bahwa yang bersangkutan juga tidak memiliki peluang untuk bisa menggunakan hak pilihnya pada hari H Pemilu.

Terkait acuan pokok persoalan yang digugat oleh para pemohon Judicial Review Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8 tahun 2015, Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "terganggun jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “Mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut porfesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam Pemilu".

Laporan: Winna Wijaya