Benarkah Ada Neo Komunis Dibalik Isu Pelanggaran HAM?

Jakarta, law-justice.co - Tiba tiba saja Presiden Jokowi menyampaikan pidato yang berisi pengakuan dan penyesalan Presiden atas serangkaian pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) berat masa lalu di Istana Negara, Rabu (11/1/2023).

Pengakuan tersebut disampaikan Presiden Jokowi sebagai tindak lanjut atas laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM  berat di masa lalu yang sebenarnya publik rata rata sudah mengetahuinya.

Baca juga : Presiden Jokowi Harus Dimakzulkan Apapun Putusan Hakim MK

Karena pada dasarnya rekomendasi perihal pengakuan atas adanya kejahatan kemanusiaan itu sudah sejak tahun 1999 yang lalu sebagaimana pernah disampaikan oleh  Komnas HAM kepada Presiden yang saat itu berkuasa.

Yang menarik dari pidato Presiden Jokowi yang mengungkap adanya 12 jenis pelanggaran HAM berat masa lalu itu disebut diantaranya adalah soal Peristiwa 1965-1966 tanpa menyebutkan jenis peristiwa apa yang terjadi pada kurun waktu itu sehingga disebut ada pelanggaran HAM berat disana.

Baca juga : Respons NasDem soal Jokowi dan Paloh Hangat di Nikahan Anak Bamsoet

Apakah pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh PKI terhadap para santri, kyai, tokoh tokoh masyarakat dan ulama atau pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh penguasa Orba terhadap orang orang PKI pasca gagalnya pemberontakan PKI tahun 1965 ?.

Tetapi orang langsung paham bahwa mungkin yang dimaksud dengan peristiwa pelanggaran HAM barat yang terjadi pada kurun waktu 1965-1966 itu adalah terjadinya pembunuhan besar besaran yang konon hingga jutaan orang yang menimpa kalangan PKI dan keluarganya.

Baca juga : MK, Pilpres 2024, dan “Kentut Inkonstitusional” Presiden Jokowi

Mungkin dari sinilah kemudian muncul dugaan bahwa pengakuan dan rasa sesal Presiden Jokowi juga dialamatkan kepada mereka yang telah menjadi korban peristiwa 1965-1966 dimana mereka perlu untuk di santuni dan di pulihkan hak haknya.

Munculnya pidato Presiden Jokowi yang berisi pengakuan dan penyesalan atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memasukkan peristiwa 1965-1966 telah menimbulkan tafsir yang bermacam macam dikalangan pengamat hingga rakyat jelata.

Salah satunya adalah adanya dugaan pidato pengakuan dan penyesalan itu merupakan rangkaian dari upaya perjuangan neo PKI untuk lebih eksis lagi dalam kancah politik di Indonesia.

Kalau memang demikian asumsinya maka pidato Presiden Jokowi tersebut telah memunculkan keingintahuan publik soal pergerakan neo PKI di Indonesia dimana sebagian orang menilai sudah tidak ada tapi masih banyak juga yang menilai tetap eksis keberadaannya.

Lalu gerakan itu dianggap masih ada maka apa sesungguhnya upaya upaya yang telah dilakukan oleh Neo PKI ini dalam rangka menguatkan eksistensinya di Indonesia?

Apakah komunis itu sudah biasa mendompleng kekuasaan untuk mencapai tujuan perjuangannya? Benarkah mereka itu berlindung dibalik isu kesamaan dibidang hukum dan Hak Azasi Manusia? Bagaimana sebagai anak anak bangsa menyikapinya?

Upaya Sistematis

Pasca tumbangnya pemerintah Orde Baru (Orba), memang sangat terasa sekali betapa kelompok yang diduga neo PKI telah berusaha untuk bangkit dengan mengupayakan serangkaian kegiatan untuk memperjuangkan kepentingannya.

Mereka sangat lantang menyuarakan tuntutan agar TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia dicabut keberadaannya.

Dengan dalih meluruskan sejarah mereka melakukan propaganda memutarbalikkan fakta. Pasca reformasi 1998, Gerakan Neo PKI dibantu oleh beberapa LSM Liberal dengan dalih Pengungkapan Kebenaran dan Penegakkan HAM melakukan propaganda pemutar-balikkan Fakta Sejarah PKI dengan memanipulasi data sejarah melalui berbagai media cetak maupun sosial media.

Mereka membuat berbagai jenis buku, propaganda melalui media massa cetak, televisi, internet, film, musik, diskusi-diskusi, politik, dan selebaran-selebaran, yang pada intinya menempatkan orang-orang PKI dan organisasi sayapnya seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Pemuda Rakyat (PR), Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), Barisan Tani Indonesia (BTI), SOBSI, dan lain-lain, sebagai korbannya.

Cara-cara demikian tujuannya untuk mendapatkan simpati publik sekaligus mengubah paradigma kesesatan Komunisme menjadi kebenaran ideologinya. Fakta kekejaman PKI diubah menjadi kekejaman TNI dan ormas Islam yang menjadi musuh bebuyutannya.

Para anggota neo PKI dan organisasi sayapnya beramai-ramai membersihkan diri dengan pengakuan-pengakuan palsu seperti tertera pada buku ”Suara Perempuan Korban Tragedi 65” yang ditulis Ita F. Nadia dan diterbitkan Galang Press, sebuah penerbit di Yogyakarta.

Selain buku tersebut, fakta mengabarkan bahwa pasca reformasi 1998 memang marak penerbitan dan peredaran buku-buku yang berisi pembelaan terhadap PKI, antara lain : “Aku Bangga Jadi Anak PKI dan Anak PKI Masuk Parlemen” keduanya karya Ribka Tjiptaning Proletariyati, “Gerwani” karya Amurwani Dwi Lestariningsih, “Kabut G30S” karya Mohammad Achadi, “Palu Arit di Ladang Tebu” karya Hermawan Sulistyo, “Penghancuran Gerakan Perempuan” karya Saskia Eleonora Wieringa dan lain lainnya.

Selain buku, pasca reformasi 1998, juga marak pembuatan dan peredaran film yang berisi pembelaan terhadap PKI, antara lain : “Jagal dan Senyap” keduanya disutradarai Joshua Oppenheimer dan diapresiasi oleh Komnas HAM & LSM-LSM Liberal, “Sang Penari” disutradarai Ifa Isfansyah dan dibintangi Prisia Nasution & Oka Antara, “Gie” disutradarai Riri Riza dan dibintangi Nicolas Saputra & Sita Nursanti, “Jembatan Bacem” disutradarai Yayan Wiludiharto dan sebagainya.

Inti dari semua Buku dan Film tersebut di atas adalah sama yaitu menumbuhkan simpatik penonton terhadap PKI . Dalam semua buku dan film tersebut digambarkan penderitaan keluarga PKI yang menyedihkan dan memilukan, karena hidup dalam penindasan rezim penguasa.

 PKI diposisikan sebagai korban yang terzalimi, sehingga tak satu pun episode kekejaman dan kebiadaban PKI yang diangkat dalam cerita. Pelan tapi pasti, semua buku dan film tersebut akan menggerus sikap ANTI PKI yang selama ini sudah terlembagakan dalam kepribadian Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Hasil dari semua itu  mulai terbentuk opini di tengah masyarakat bahwa sebenarnya PKI adalah pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, bahkan merupakan motor penggerak revolusi kemerdekaan Indonesia. Lalu PKI pun diposisikan sebagai pihak yang difitnah dan dizalimi oleh Orba untuk menarik simpatik masyarakat Indonesia.

Akhirnya PKI seolah olah dijadikan sebagai pahlawan, sementara lawan-lawan PKI seperti TNI dan NU serta MASYUMI sebagai penjahatnya yang telah melakukan kezaliman dan kebiadaban terhadap mereka.

Mereka juga bergerak di bidang Pendidikan dengan upayanya untuk menghapus kurikulum tentang sejarah pengkhianatan partai komunis di Indonesia.

Seperti diketahui, sejak Tahun 1966 s/d 1998, dalam Kurikulum Pendidikan Sejarah Kemerdekaan Indonesia selalu dicantumkan tentang Sejarah Pengkhianatan PKI, baik pemberontakan PKI tahun 1948 mau pun Pemberontakan G30S PKI Tahun 1965.

Dalam rentang waktu tersebut, setiap warga negara Indonesia yang pernah mencicipi pendidikan formal mulai dari tingkat dasar hingga menengah, selalu mendapatkan informasi yang lengkap tentang PKI, sehingga sikap ANTI PKI terlembagakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, setelah Orba tumbang, sejarah Pengkhianatan PKI mulai hilang dari kurikulum Pendidikan kita.

Seiring dengan itu, serangan informasi yang memposisikan PKI sebagai Pahlawan dan Pejuang Kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga banyak generasi muda yang tidak lagi mendapatkan informasi tentang Pengkhianatan PKI dalam kurikulum Pendidikan mereka.

Sebagai upaya pemerintah untuk mengingatkan betapa bahayanya ancaman PKI maka setiap tahun sejak tahun 1985, tepatnya setiap tanggal 30 September, TVRI sebagai televisi nasional selalu memutar ulang Film Pengkhianatan G30S / PKI yang diproduksi pada tahun 1984, sehingga informasi tentang bahaya PKI tersebar di seluruh Indonesia.

Namun pasca reformasi 1998 pemutaran Film Pengkhianatan PKI mulai dihentikan penayangannya. Dalam kaitan ini sepertinya memang ada tangan-tangan terselubung yang bermain untuk menghapus ingatan rakyat dari Pengkhianatan PKI terhadap bangsa Indonesia.

Sejak reformasi pula para Narapidana PKI melalui YPKP 65/66 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 / 1966) terus mencari cara untuk “PEMUTIHAN DOSA PKI”, salah satunya adalah dengan terus mendesak pemerintah agar mengajukan RUU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

YKPPI 65/66 dimana-mana selalu mengkampanyekan bahwa PKI adalah ”KORBAN KEJAHATAN” bukan ”PELAKU KEJAHATAN”, sekaligus memutar-balikkan Fakta dan memanipulasi data serta melemparkan semua kesalahan kepada pemerintah ”Orba”.

Dengan menempatkan posisi PKI sebagai korban mungkin nanti bisa dijadikan alasan untuk mencabut TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia.

YKPPI menyatakan : ”Target Advokasi HAM YPKP 65/66 adalah bahwasanya pengungkapan kebenaran melalui KKR merupakan pintu masuk paling halus namun berkekuatan besar untuk mengembalikan posisi ekonomi, politik dan sosial PKI”, sebagaimana dimuat diYPKP6566.Blogspot.com pada tanggal 12 September 2010.

Komnas HAM dan LSM-LSM Liberal tercatat sebagai pihak yang paling sigap dan paling sibuk dalam mendesak dan menekan pemerintah dan DPR RI agar mengesahkan RUU KKR menjadi UU, sehingga di tahun 2004 Pemerintah RI secara resmi mengajukan RUU KKR ke DPR RI untuk dibahas, meskipun pada akhirnya RUU KKR tersebut hingga kini belum jelas kelanjutannya.

Sebagai bagian dari perjuangannya untuk meneguhkan eksistensinya, neo PKI sempat pula mengusulkan agar KTP yang dimiliki warga negara Indonesia di hapus kolom Agamanya.

Usulan untuk penghapusan kolom agama di KTP itu disambut dengan gegap gempita oleh kalangan Liberal dan kelompok-kelompok berhaluan kiri beserta pendukungnya.Jika kolom agama dihapuskan maka kalangan neo PKI yang anti Agama dengan leluasa bisa memiliki KTP tanpa agama.

Pasca reformasi 1998 kita juga sering  mendengar berita aneka Seminar dan Lokakarya untuk Pembelaan terhadap PKI, begitu juga sering diadakan Reuni dan Temu Kangen Keluarga Besar PKI dan pendukungnya.

Bahkan tidak jarang Komnas HAM dan berbagai LSM Liberal terlibat dalam aneka pertemuan seperti ini, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di zaman Orba.

Anak anak keturunan PKI saat ini juga sudah menikmati hak hak politiknya dengan leluasa.Dulu pada masa Orba, setiap warga negara yang akan menjadi pejabat negara, baik di lingkungan Eksekutif dan Legislatif mau pun Yudikatif, diwajibkan mengikuti LITSUS yaitu Penelitian Khusus yang sangat ketat dan cermat serta teliti dan mendalam terhadap setiap calon pejabat untuk memastikan bahwa ia tidak ada kaitan apa pun dengan gerakan PKI.

Karenanya, kader-kader muda dari sisa Gerakan Bawah Tanah PKI tidak pernah punya kesempatan untuk menyusup ke dalam pemerintahan di zaman Orba berkuasa.

Ketika reformasi 1998, Litsus dihapuskan dengan alasan penegakan Hak Asassi Manusia (HAM), sehingga kini kader-kader muda berpaham kiri yang punya kaitan erat dengan neo PKI dengan mudah bisa melenggang jadi pejabat tanpa hambatan apapun jua.

Dengan adanya pencabutan Litsus, tentu ada tangan-tangan yang bermain untuk membuka pintu kembali bagi neo PKI agar bisa masuk dalam lembaga-lembaga negara.

Penghapusan Litsus  telah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada Putra Putri Keturunan PKI untuk aktif di berbagai Partai Politik, sehingga mereka pun dengan mudah masuk ke berbagai Lembaga Kenegaraan termasuk menjadi tentara.

Panglima TNI Andika Prakasa telah membuka peluang ini untuk mereka yang menjadi anak keturunan PKI masuk tentara.

Tentu kita tidak bisa dan tidak boleh melimpahkan kesalahan PKI kepada anak keturunannya. Dan tentu hak-hak POLEKSOSBUD (politik, ekonomi, sosial dan budaya) anak keturunan PKI memang sudah semestinya diakui dan diberikan kepada mereka.

Namun, anak keturunan PKI harus tahu diri, bahwa pemulihan hak-hak mereka jangan disalah-gunakan untuk menghidupkan kembali ideologi PKI dan jangan lagi membangkitkan kembali paham komunisme, serta mereka tidak perlu membuka luka lama dengan memposisikan diri sebagai Korban kejahatan Orba melalui pemutar balikkan Fakta dan manipulasi Data seolah Ulama dan Umara, khususnya NU dan TNI, adalah pelaku kejahatannya.

Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka tetap ngotot berjuang untuk memposisikan PKI sebagai korban sehingga harus mendapatkan pengakuan dan santunan dari negara. Hasilnya, Melalui SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM) berat 1965, yang dikeluarkan KOMNAS HAM.

Dengan SKKPH, eks-PKI telah direhabilitasi statusnya yaitu berstatus sebagai korban, dan telah pula memperoleh kompensasi dari anggaran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) berkat upaya pemutar balikkan fakta yang dilakukannya.

Sementara itu anak anak keturunan PKI semakin merajela memamerkan identitas aslinya seperti yang dicontohkan oleh Ribka Ciptaning yang menjadi anggota DPR RI melalui PDIP, bahkan menjadi ketua salah satu Komisi di DPR RI, secara demonstratif dan provokatif menulis dua buku yang masing-masing berjudul : ”Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan ”Anak PKI Masuk Parlemen”.

Tentu tak dapat dipungkiri, masuknya putra-putri keturunan PKI ke dalam berbagai Partai Politik dan Instansi Negara, dengan tetap mengusung Ideologi PKI yang dibawa oleh orang-orang tua mereka merupakan sesuatu yang sangat membahayakan eksistensi negara Pancasila.

Salah satu buktinya ketika ada usulan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila. RUU yang di inisiasi oleh partai penguasa itu tidak mencantumkan TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme sebagai dasar pertimbangannya. Pada hal TAP MPR itu masih berlaku di Indonesia.

Bukan hanya itu, Prof Yudian Wahyudi Kepala BPIP pernah menyebut bahwa agama menjadi musuh terbesar Pancasila.

Para pejuang neo PKI juga gencar menyampaikan tuntutannya agar pemerintah yang sedang berkuasa meminta maaf kepada mereka.Wacana permohonan maaf Presiden RI atas nama Negara RI kepada PKI pertama kali muncul di zaman Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berkuasa.

Namun tidak terjadi karena saat itu gelombang penolakan dari Kelompok Islam sangat besar, khususnya FPI yang sempat menurunkan 10.000 Laskar mengepung Istana Presiden dalam Aksi Anti PKI di Jakarta.

Wacana tersebut kembali muncul di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab disebut SBY, namun lagi-lagi gagal karena mendapat penolakan keras dari Ormas dan Orsospol Islam di DPR RI.

Hal yang sama terjadi juga pada masa Presiden Jokowi yang sekarang berkuasa. Kelompok-kelompok kiri dan berbagai LSM Liberal yang terindikasi kemasukan paham neo PKI telah meminta kepada Presiden Jokowi untuk meminta maaf kepada PKI.

Namun, Jokowi menegaskan jika ia tidak akan melakukannya. "Permintaan maaf ke PKI. Tahun lalu sudah saya sampaikan, bahwa tidak ada rencana dan pikiran sama sekali mau minta maaf," ujar Jokowi di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (27/6/2016).

Meskipun Jokowi menolak untuk meminta maaf kepada PKI, namun ada jargon Jokowi tentang revolusi mental yang ada aroma komunisnya.

Adalah Karl Marx sebagai Bapak Komunis Dunia berpandangan bahwa agama adalah belenggu dan Tuhan adalah penjajah, sehingga manusia yang beragama dan bertuhan tidak memiliki kebebasan, karena jiwanya terbelenggu dengan aturan agama.

Oleh karena itu menurut Karl Marx harus ada Revolusi mental yang membebaskan dan memerdekan jiwa manusia dari belenggu agama.

Sejak dulu hingga kini, kalangan neo Komunis memang selalu mengkampanyekan Revolusi mental, termasuk PKI di Indonesia era 1945 hingga 1965, untuk menjauhkan umat manusia dari agama. Kini, di Indonesia semenjak Jokowi menjadi Presiden RI, justru sang Presiden yang meneriakkan Revolusi Mental. Lalu ada apakah kiranya ?!

Belum lagi pernyataan aneh yang baru baru ini disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Ia menyatakan bahwa peristiwa 1965 bukan kasus PKI. PKI menjadi bagian dari korban peristiwa berdarah tersebut sehingga pemerintah akan memberi ganti rugi dan rehabilitasi kepada mereka, begitu katanya.

Kalau para korbannya sudah direhabilitasi dan dikompensasi maka pada saatnya nanti bisa saja PKI sendiri sebagai Lembaga akan diperlakukan serupa. Pada gilirannya ia bisa disahkan sebagai partai politik baru yang boleh berkompetisi di Indonesia. Apakah memang ini yang menjadi targetnya ?

Sejarah Pendomplengan

Seperti diketahui, melalui  TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 telah dinyatakan bahwa PKI dibubarkan dan dilarang penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia.

Namun meskipun sudah dinyatakan bubar, mereka tetap berupaya untuk kembali eksis dalam kancah perpolitikan nasional melalui aksinya yang pandai menyusup, berkamuflase dan menyembunyikan gerakan politisnya.

Upaya sistematis yang dilakukan oleh anasir anasir neo PKI untuk menunjukkan eksistensinya pasca reformasi 1998 sebagaimana dikemukakan diatas mengingatkan kita pada sejarah perjalanan PKI yang selalu tampil kembali meskipun sebelumnya sudah dilarang di Indonesia.

PKI memang berbahaya bukan semata-mata karena ideologinya yang cenderung  anti anti agama tetapi juga karena ideologi bunglonisme (munafik, oportunis, hipokrit) yang sulit dideteksi keberadaannya.

Seperti bunglon, ia bisa berubah warna tergantung di tempat mana ia menempatkan dirinya.Lentur menyesuaikan diri dalam beragam situasi dan lingkungan yang ada. Ia bisa bermanis-manis dengan kelompok nasionalis, sosialis, bahkan agama.

Ia bisa bertahan puluhan tahun di bawah tanah untuk kemudian menemukan momen yang tepat buat come back, dengan cara paling halus, samar, nyaris tak terbaca oleh orang awam pada umumnya.

Betapa licinnya pola gerak PKI, setidaknya dapat kita telusuri berdasarkan sejarah perjalanan PKI sejak sebelum Indonesia merdeka. Seperti ditulis oleh  MD Aminudin, alumni PII dan novelis Tembang Ilalang terbitan ProU Jogja, sebelum Indonesia merdeka tepatnya tahun 1914, ada Henk Sneevliet, seorang komunis warga negara Belanda.

Dia mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), dengan tujuan untuk memecah konsentrasi gerakan nasional yang menggeliat sejak awal abad 19 (Budi Utomo, Muhammadiyah, Syarekat Islam dan yang lainnya).

Snevlet tahu ISDV tak akan berkembang cepat kalau tidak mendompleng  (menumpang) ke organ lain yang sudah ada. Maka Sarekat Islam (SI) jadi sasaran untuk dijadikan kuda tunggangannya.

Snevlet memilih SI karena punya massa besar mengakar hingga rakyat bawah, anggotanya menyebar di antero Nusantara . Selain itu, SI lumayan terbuka-demokratis dibandingkan organisasi lainnya yang ada. Kalau SI bisa diobok-obok maka lebih mudah untuk pecah belah pergerakan Indonesia.

Banyak anggota SI yang kemudian kepincut ide-ide revolusioner gadungan ala Snevlet, antara lain: Semaoen, Alimin, Darsono dkk. Di bawah bimbingan Snevlet, ketiganya terus memasukan ide-ide komunisme di kalangan anggota SI Semarang dan sekitarnya.

Usaha itu berhasil, SI pecah jadi 2 blok: Sarekat Islam Putih (SI Putih) pimpinan Hos Cokroaminoto & Abdoel Moeis (kelak juga dikenal sebagai sastrawan) berpusat di Yogya, dan SI Merah pimpinan Semaoen berpusat di Semarang.

Namun dengan licik mereka tidak memproklamirkan diri sebagai organisasi komunis, tapi tetap memakai nama SI sebagai organisasi perjuangannya. Sabab jika terburu-buru memproklamirkan komunisme pasti akan terjadi penolakan oleh rakyat pada umumnya.

Dalam perkembangannya, pimpinan dan anggota SI ideologis menolak ide-ide komunisme yang diusung Semaoen dkk. Mereka tahu Semaoen hanyalah kepanjangan tangan Snevlet seorang komunis warga negara Belanda.

Pada akhirnya Keputusan Kongres SI di Madiun pada 17-20 Februari 1923 resmi mendepak Semaoen dkk sebagai bagian dari usaha SI untuk memutus pengaruh komunis di dalam tubuh organisasinya.

Tidak terima disingkirkan, kelompok Semaoen menggelar kongres tandingan pada Maret 1923 di Bandung.Keputusannya; semua cabang SI di Indonesia yang mendukung Semaoen berganti nama menjadi Sarekat Rakyat.

Inilah cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didirikan kelak pada tahun 1924 dengan Semaoen sebagai ketua pertamanya.

Setelah menimbang bahwa akar-akarnya sudah lumayan kuat, pada 1926, PKI memutuskan untuk memberontak pada pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan itu justru banyak disokong oleh orang-orang Islam yang tertipu oleh janji-janji manis PKI yang katanya berjuang demi kemerdekaan Indonesia.

Pemerintah Hindia Belanda saat itu berhasil menumpas pemberontakan itu dan orang orang PKI banyak yang ditangkap untuk kemudian di buang ke Digoel, Papua.

Para tokoh pendiri bangsa yang dibuang termasuk para ulama Banten, seperti Tubagus KH Achmad Chatib, Tubagus H Abdulhamid, KH Mohammad Gozali, Tubagus KH Abdul Hadi, Puradisastra, Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman.

Sementara itu tokoh tokoh komunis seperti Semaoen, Alimin dan Musso sendiri malah lari ke mancanegara, mengemis suaka ke komunis internasional yang berpusat di Moskwa.

Sejak gagalnya pemberontakan itu, PKI tiarap untuk sementara.Pada 1935 Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanahnya. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia, lalu balik kucing lagi ke Moskwa.

Pada tahun 1940, datang seorang belanda ke kamp Digoel di Papua. Namanya Charles Olke van der Plas. Waktu itu menjabat sebagai Gubernur Jatim hingga kelak kedatangan Jepang pada 1942.

Charles merayu para Digoelis untuk membentuk front anti fasis berbasis di Australia. Singkat cerita pimpinan PKI Digoel menerima tawarannya.

Selain kelompok yang dibentuk Musso dan eks Digoelis, Van der Plas juga mendekati Amir Syarifuddin penganut komunisme , seorang ambtenar (priyayi atau pegawai pemerintah) di Departemen Ekonomi Batavia.

Pada 1940, Amir Syarifuddin ditangkap Belanda. Ia disuruh memilih dibuang ke Digoel atau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Namun Amir memilih pilihan kedua.

Van der Plas kemudian memberinya 25.000 gulden sebagai modal menyusun gerakan bawah tanahnya.Sampai di sini bisa kita simpulkan PKI mau berkongsi dengan bangsa yang menjajah Indonesia.

Dengan uang modal dari Belanda itu, PKI Amir Syarifuddin mulai membangun kekuatan bawah tanah, ‘bersetubuh’ dengan organ perjuangan Indonesia, membentuk organisasi Gerakan anti-Fasis (Geraf). Saat Amir ditangkap Jepang pada 1943, estafet Geraf dilanjutkan oleh Widarta, sang sekretaris,sebagai pemimpinnya.

Pada masa inilah ia berkolaborasi dengan DN Aidit, pemuda yang baru berumur 20 tahun, seorang Marxis anggota Komunis Internasinal (Komintren).

Mereka masuk ke kelompok-kelompok pemuda, merekrut kader untuk dibina menjadi kadernya Pada era inilah nama DN Aidit dan MH Lukman mulai  dikenal seorang seorang komunis Indonesia. Dua orang ini yang kelak memimpin PKI hingga jadi partai terbesar ke 4 pada Pemilu 1955.

Menjelang Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, kader-kader komunis seperti DN Aidit, Sidik Kertapati dan Wikana terlibat aktif dalam peristiwa Rengasdengklok yang terjadi menjelang 17 Agustus 1945.

Dalam hal ini ada catatan menarik yang diungkap Soe Hok Gie dalam Orang-orang Kiri di Persimpangan Jalan. Menurut Soe Hok Gie, pada saat itu, antara kaum komunis dan nasionalis melebur dalam satu semangat dan gerakan yang sama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia tanpa membawa embel-embel ideologi yang di usungnya.

Mr Soebarjo misalnya tidak tahu jika Wikana adalah kader PKI. Mungkin ini juga strategi kaum komunis agar diterima dalam gerakan kemerdekaan yang heterogen warnanya. Proklamasi 1945 pada akhirnya memberi panggung mewah kepada para aktivis PKI.

Tokoh-tokoh komunis veteran seperti Alimin, Setiadjid, Wikana, Maruto Darusman diangkat jadi menteri. Amir Syarifuddin sendiri kelak naik tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri sekaligus menteri pertahanan (3 Juli 1947-29 Januari 1948).

Jabatan srategis ini tak disia-siakannya. Amir menggalang penuh kekuatan sayap kiri dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan dengan mempersenjatai laskar-laskar kiri seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) hingga menjadi salah satu laskar bersenjata terkuat di masanya.

Pada 1947, kelompok kiri berhasil memasukkan 50 kadernya di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP-cikal bakal Parlemen Indonesia) dimana diantaranya ada nama  Aidit dan Nyoto. Dua sosok inilah yang kelak menjadi orang yang paling sering disebut sebagai otak pemberontakan PKI 1965.

Ada fragmen menarik yang ditulis Ahmad Masyur Suryanegara dalam Api Sejarah Jilid-2, tentang pertemuan PM/Menhan Amir Syarifuddin dengan Van Mook (mantan Wakil Gubernur Hindia Belanda) pada 14 Juli 1947. Sepekan kemudian, 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer ke-1.

Van Mook memang punya ikatan erat dengan kelompok komunis sejak sebelum kedatangan Jepang. Van Mook-lah yang memindahkan tahanan Digoel ke Australia dan membiayai kelompok PKI Sibar pimpinan Sardjono. Juga dengan uang Van Mooklah Amir Syarifuddin menggerakkan komunis bawah tanah selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Patut menjadi pertanyaan, apakah gerakan komunis pada masa itu—dan mungkin masa setelahnya—juga atas sponsor pihak Belanda? Ada sejumlah analisis mengenai keterlibatan van Der Plas (tangan kanan van Mook) dalam mensponsori gerakan kiri di Indonesia hingga terjadinya pemberontakan G30S/PKI pada 1965.

Secara psikologis ini bisa dipahami alasannya. Karena sejak diakuinya pemerintahan RI, Belanda telah merugi banyak dengan hilangnya sumber keuangan setelah seluruh perusahaannya di Indonesia dinasionaliasi oleh pemerintah Indonesia.

Sebagai pihak yang merasa dirugikan secara ekonomi tentu saja Belanda, atau oknum-oknumnya yang selama ini menikmati kue kekuasaan di Indonesia tak mau begitu saja melepas tanah jajahannya.

Maka mereka memerlukan kepanjangan tangan untuk merebut kembali sumber uangnya. Dan kelompok yang paling mudah diajak kerja sama adalah PKI, bukan nasionalis apalagi kelompok agama.

Kebetulan saat itu Amir Syarifuddin sebagai tokoh komunis menjadi Perdana Menteri/Menhan sehingga sangat menguntungkan pihak Belanda. Alhasil ketika terjadi sengketa antara Indonesia dengan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, diselenggarkanlah perundingan Renville pada 18 Desember 1947-17 Januari 1948.

Indonesia (diwakili PM Amir Syarifuddin) dan Belanda (diwakili Abdulkadir Widjojoadmodjo). Hasil perjanjian ini segera jadi awal malapetaka bangsa Indonesia.

Perjanjian Renvile dinilai sangat merugikan Indonesia sehingga membuat Panglima Besar Jenderal  Sudirman sendiri amat kecewa karenanya. Partai-partai nasionalis-agamis juga menolaknya.

Karena kecewa, Masyumi dan PNI akhirnya menarik diri dari kabinet Amir Syarifuddin yang membuat tokoh komunis yang dua kali menjabat perdana menteri itu kehilangan legitimasinya.

Akhirnya berakhirlah pemerintahan sayap kiri yang berlangsung sejak November 1945 sampai Januari 1948. Soekarno menunjuk Hatta sebagai perdana menteri menggantikan Amir Syarifuddin dari kursinya.

Amir yang terdepak dari kabinet mulai galang kekuatan ekstra parlementer. Kelompok-kelompok kiri seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), PKI, Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Sosialis, SOBSI kemudian digabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada Februari 1948 yang bergerak di bawah garis Stalin, diktator komunis Rusia.

Tujuan utama bergabungnya sayap kiri dalam FDR adalah menggoyang Kabinet Hatta yang didominasi Masyumi, lawan utama kelompok komunis dimasanya.Di akar rumput terjadi gejolak hebat dimana muncul aksi-aksi kerusuhan, pemogokan, perampokan, penculikan & sabotase terjadi di Delanggu, Solo dan sekitarnya.

Sementara itu FDR terus mendesak Hatta untuk dapat mendudukkan wakilnya di parlemen. Hatta tentu saja menolak karena tuntutan FDR dinilai sangat mengada ada: FDR menginginkan separuh kursi parlemen diserahkankan kepada mereka. Upaya kaum kiri untuk comeback di pemerintahan gagal mencapai tujuannya.

Dalam situasi kacau seperti inilah, pada 11 Agustus 1948, datang Soeripno (komunis) wakil RI di Praha bersama “sekretasi”nya, Soeparto, di Yogyakarta, yang untuk sementara menjadi pusat pemerintah Idonesia. Tiga hari kemudian keduanya bertemu Soekarno. Barulah kemudian publik tahu, Soeparto tak lain adalah tokoh veteran PKI, Musso.

Sementara itu Tan Malaka yang baru dibebaskan dari penjara Madiun (dipenjara sejak sd 17 Agustus 1948) mulai menunjukkan konfrontasi dengan Musso dkk. Mula-mula ia dan pengikutnya membongkar kebobrokan PKI sayap Amir dkk.

Dalam sebuah rapat umum, Rustam Effendy (eks PKI Australia) membongkar borok Setiadjid dan Maruto Darusman yang disebut sebagai orang yang bersepakat di belakang layar dalam mendirikan Uni Indonesia Belanda.

Setiadjid dan Maruto adalah kawan Rustam sesama eks Digoel dan Australia. Jadi tentu saja Rustam tahu betul sepak terjang keduanya. Rahasia ihwal Amir pernah menerima 25 ribu gulden dari van Der Plas pun juga dibongkarnya.

Aib tersebut mengejutkan banyak pihak. Muka Amir dkk seperti dicoreng tinta hitam. Amir dkk dianggap penghianat atas cita-cita proklamasi 45. Amir dkk sebagai arsitek Linggar Jati & Renville dicap sebagai agen pemerintah Belanda di Indonesia.

Sementara itu Musso terus menjalankan agenda Stalin-nya. Kedatangannya pada Agustus itu memang bukan ujung-ujug, tetapi sudah direncanakan, setidaknya sejak awal tahun 1948. Selama masa itu ia terus berkonsultasi dengan Soviet, hingga disusunlah protokol yang kemudian disebutnya Djalan Baru PKI di Indonesia.

Dengan demikian pulangnya Musso ke Indonesia bukannya tanpa agenda. Ia membawa mandat dari Stalin untuk menyelaraskan haluan gerakan komunis di Indonesia dengan jalan baru Kominform (organisasi komunis sedunia dibentuk 1947, setelah bubarnya Komintern 1943).

Selama masa pergolakan kemerdekaan RI ia terus memantau perkembangan Indonesia dan mengabarkannya ke induk semangnya, Stalin di Moskwa.

Agenda utama kepulangan Musso adalah mendirikan Republik Soviet Indonesia sesuai amanat Stalin, yang kemudian diproklamirkan pada 18 September 1948 di Madiun. Pemberontakan PKI Madiun 1948 pada akhirnya terbukti gagal mencapai tujuannya.

Gara-gara Peristiwa Madiun, PKI tercerai-berai dan kehilangan pucuk-pucuk pimpinannya. Selain Musso, pemimpin PKI seperti Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, dan Sarjono juga tewas di hadapan bedil tentara. Sementara tokoh-tokoh FDR senior lainnya seperti Alimin, Tan Ling Djie, dan Wikana dijebloskan ke penjara.

Namun, ibarat pepatah “mati satu tumbuh seribu”, Madiun Affair justru membuka peluang politik bagi kelompok muda PKI yang berhimpun di sekitar trio Aidit-Njoto-Lukman. Kelak berkat mereka PKI tumbuh menjadi salah satu kekuatan politik utama di Indonesia.

Pasca peristiwa Madiun, PKI bangkit dengan dipimpin oleh DN. Aidit. Strategi yang dijalankan oleh Aidit selama Demokrasi Liberal disesuaikan dengan strategi komintern dan disesuaikan dengan kondisi sosial politik yang ada di Indonesia.

PKI menggunakan strategi front persatuan nasional untuk mencari dukungan massa yang besar guna bersaing dengan partai-partai lain selama Demokrasi Liberal berlaku di Indonesia.Keberhasilan PKI menerapkan strategi front persatuan nasional dapat terlihat dalam perolehan suara pada Pemilu tahun 1955.

Selama masa Demokrasi Terpimpin PKI menggunakan strategi ofensif manipolis dan ofensif revolusioner dimana strategi tersebut dilakukan setelah PKI memiliki pendukung yang lumayan besarnya.

Strategi tersebut ditujukan untuk menghadapi lawan utama PKI selama Demokrasi Terpimpin, yaitu Angkatan Darat dan kelompok partai islam umumnya. Perjuangan PKI berakhir ketika terjadi periwtiwa G30S, dimana PKI dituduh sebagai dalangnya. Penumpasa PKI oleh Angkatan Darat menandai berakhirnya eksistensi PKI di Indonesia.

Berlindung dibalik Hukum dan HAM ?

Pasca kegagalan PKI memberontak di tahun 1965, banyak pihak yang menganggap PKI sudah tidak ada lagi di Indonesia. Banyak pernyataan yang dianggap menipu generasi muda seperti : komunisme sudah mati, Uni Soviet sudah bubar, tembok Berlin sudah runtuh, komunisme di Eropa Timur sudah tidak ada.

Bahkan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo pernah meminta agar isu PKI tidak digunakan untuk meningkatkan popularitas. 

"Sudah saatnya bangsa ini menjadi dewasa dan tidak menjadikan isu ini mainan politik," katanya seperti dikutip media Kamis, 30 September 2021. Benarkah demikian kenyatannya ?

Menurut Prof Aminuddin Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Komunisme, Marxisme, Leninisme dan Sosialisme, tidak akan pernah hilang, suatu saat pasti reborn dengan berbagai cara.  “Itu semua dirty tricks communism—siasat licik komunis– untuk mempengaruhi generasi muda, agar mereka tidak lagi percaya neo-komunis di Indonesia bangkit kembali,”tegas Prof. Amin (sapaan akrabnya).

Jadi meskipun pemberontakan PKI gagal di tahun 1965 sepertinya mereka tidak mati begitu saja. Mereka tetap waspada untuk mencari peluang bangkit kembali di Indonesia dengan berbagai cara.

Mereka menggunakan narasi narasi  kesamaan dibidang hukum dan pemerintahan serta persamaan dibidang hak azasi manusia sebagaimana diatur dalam pasal 27 dan 28 Undang Undang Dasar 1945.

Seperti diketahui, dalam Pasal 27 UUD 1945 dinyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sementara pasal 28 mengatur tentang Hak Azasi Manusia.

Para pejuang neo PKI sering menggunakan sandaran dua pasal tersebut untuk dasar legitimasi perjuangannya. Dengan alasan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, mereka menuntut agar negara memulihkan hak hak politiknya termasuk menjadi pejabat negara dan masuk tentara.

Pada hal di negara yang katanya dinilai paling demokratis sekalipun seperti Amerika Serikat, yang namanya politik apartheid itu tetap saja ada.

Misalnya sikap Pemerintah Amerika terhadap Al-Qaeda berbeda dengan warga negara Amerika lainnya. Begitu juga Belanda pada masa penjajahan, menggunakan penggolongan penduduk untuk menentukan kebijakan politiknya.

Menjadi pertanyaan kemudian adalah apa makna dari persamaan didepan hukum yang dimaksud oleh pemerintah kalau dikaitkan dengan perlindungan hak azasi manusia.

Apakah betul negara dianggap membatasi hak tertentu demi keselamatan bangsa itu disebut sebagai melanggar hukum dan membatasi hak azasi manusia? Pada hal seperti PKI misalnya sudah jelas jelas pernah berkali kali memberontak untuk mengganti ideologi Pancasila?

Lagi pula perlu dipertanyakan, apakan negara kita saat ini memang betul betul menegakkan prinsip persaman di depan hukum dan perlindungan hak azasi manusia dengan sebenar benarnya?

Bagaimana halnya dengan persamaan dibidang hukum untuk anggota FPI atau HTI misalnya? Apakah mereka juga mendapatkan perlakuan yang sama  pada hal belum jelas apa kesalahannya?

Jadi jangan sampai kalau bagi mereka yang berkepentingan, alasannya harus equal di bidang hukum tapi begitu lawan politik yang berkepentingan maka nanti dulu realisasinya. Karena itu perlu dicermati betulkan negara kita menerapkan persamaan dibidang hukum untuk siapa?

Yang jelas yang tidak bisa dibatasi itu adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, hak untuk tidak diperbudak dan sebagainya. Sementara hak untuk dipilih dan hak untuk masuk ke instansi itu bisa dibatasi sedemikian rupa meskipun situasional sifatnya.

 Ketika sebagian publik menilai, ada indikasi neo PKI akan bangkit kembali ditandai dengan ciri ciri tertentu, maka negara seharusnya berhati hati menyikapinya. Jangan kemudian malah dibuka peluang lebar lebar seolah olah semuanya demi kesamaan dibidang hukum dan hak azasi manusia.

Apalagi untuk memasuki pertahanan negara terutama di TNI yang sensitif sifatnya. Kalau ini dibuka lebar lebar untuk mereka yang diduga neo PKI maka ini sama saja membuka peluang bagi mereka untuk melakukan seperti apa yang dilakukan oleh para pendahulunya.

Nanti kalau sudah di kooptasi bisa ambyar negara yang konon klaimnya sebagai negara nasionalis religius yang berKetuhanan Yang Maha Esa  seperti tercantum di sila Pertama Pancasila.

Dalam kaitan ini Pemerintah perlu menyadari bahwa ajaran komunis itu bertentangan dengan agama, dengan sila Pertama Pancasila. Pemerintah perlu mencermati politik hukumnya sebagaimana yang tertuang dibagian konsideran Tap MPRS No. 25/1966. Karena bagaimanapun juga TAP MPR itu masih berlaku di Indonesia.

Secara historis juga jelas bagaimana pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965. Dimana tergambar kesadisan dan kengerian yang ditimbulkannya. Jangan sampai kejadian seperti itu terulang kembali menimpa anak cucu kita.

Karena dengan adanya pelonggaran kebijakan terhadap mereka yang menjadi anasir anasir neo PKI akan membuat mereka bisa berkonsolidasi untuk tampil kembali menjadi penentu jalannya kebijakan negara. Apakah memang itu yang dimaui pemerintah yang sekarang berkuasa ?

Yang jelas ketika kita berbicara soal komunis pada saat ini maka pola pikir  masyarakat harus diubah sedemikian rupa. Bahwasanya bukan lagi pada ancaman keberadaan komunis seperti yang terjadi pada tahun 1965 atau sebelumnya.

Tetapi  bagaimana Neo Komunis memasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana ruh dan semangat ideologi tetap komunis tetapi mengambil bentuk dan warna yang berbeda dalam tampilan formalnya.

Perlu dicermati bahwa para penganut ideologis komunis kini telah bertransformasi menjadi kaum nasionalis hingga agamis dengan melepas keinginan membangkitkan PKI secara formal seperti gerakan pendahulunya.

Mereka mengambil gerakan kuasai negeri dengan masuk keberbagai posisi sebagai pengendali negara. Saat ini diduga para kaum Neo Komunis ini sudah mulai masuk istana, partai Nasionalis, tentara, polisi hingga menjadi pemuka agama.

Ciri cirinya mereka diantaranya suka sekali  mengklaim dirinya sebagai pihak yang paling Pancasilais, paling bhineka, paling NKRI hingga paling benar tindakannya.Pada hal kenyataannya apa yang mereka sampaikan hanya sebatas di bibir saja tidak ada bukti konkritnya

Sebaliknya pihak pihak yang tidak sejalan dengan keinginanya dibilang paling tidak pancasilais, tidak bhineka hingga tidak benar perilakunya. Pola pola inilah yang patut diwaspadai sebelum bangsa ini menyesal pada akhirnya.

Dengan adanya tanda tanda geliat neo PKI sebagaimana digambarkan diatas, kiranya tidak berkelebihan kalau dikatakan bahwa neo PKI telah menjadi penunggang gelap isu isu pelanggaran HAM berat yang sedang dimunculkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa.